Sepersekian detik Celyn masih tak percaya. Ia pun beranjak dari posisi duduknya, lalu merapikan mukena yang ia telah digunakannya. Celyn coba bersikap tenang, meski ia begitu gugup.
"Halo," jawab Celyn.
"Ini aku, Arvan. Besok aku tunggu di Gedung Sanse!" ucap pria itu memberi perintah. Tak ada jawaban, Arvan melihat layar ponselnya yang masih terhubung, tetapi Celyn tak juga bicara.
"Celyn, kamu masih ada di sana, kan?"
"Ah iya, maaf. Besok jam berapa?" tanya Celyn setelah cukup lama diam karena sebenarnya enggan bertemu dengan Arvan.
"Jam makan siang. Save nomorku karena mungkin aku akan sering menghubungimu!" jelas Arvan mematikan panggilannya sepihak.
“Ba–”
Celyn hanya menatap layar ponselnya, ia membuka pesan yang masuk dari Arvan. Perlahan Celyn membaca satu persatu pesan yang dikirim oleh mantan yang tak sempat jadian itu.
"Apa yang harus aku lakukan?" gumam wanita itu merasa bingung.
Notifikasi pesan terus berdering di ponsel Celyn, sedangkan pemiliknya sedang sibuk dengan pekerjaannya. Setelah menyelesaikan pekerjaannya Celyn melihat sebentar pesan yang masuk. Terlihat nama ibu tirinya yang mengirimkan pesan. Barulah Celyn kembali teringat jika Niko sedang berada di rumahnya. Celyn pun bergegas keluar dari kamar untuk melihat Niko.
"Kak, ayo makan!" ajak Niko yang tidak sopannya mengambil makanan milik Celyn.
"Setelah makan sebaiknya kamu pulang! Ini masih jam setelah tujuh, masih banyak kendaraan yang lewat di sini," ucap Celyn dengan ketus.
Mendengar perkataan sang kakak, Niko seketika berhenti mengunyah makanan yang ada di mulutnya, lalu ia mulai menatap Celyn dengan raut wajahnya yang berubah sendu. "Kak, apa Kakak nggak suka kalau aku tinggal di sini?"
Suara Celyn tercekat, bukannya ia tidak suka Niko tinggal bersamanya. Hanya saja Mira juga pasti akan mengikuti Niko dan tinggal bersama Celyn. Hal itulah yang paling ia hindari. Selama tujuh tahun ia berjuang sendiri untuk menghidupi dirinya tanpa bantuan ibu tiri, yang hanya tahu soal uang dan bagaimana menghabiskannya.
"Pulanglah, ibumu mencarimu!" Celyn kembali memberi perintah, lalu beranjak dari posisi duduknya tanpa menunggu jawaban dari Niko.
Niko pun hanya bisa menatap punggung kakaknya yang kembali masuk ke dalam kamar. Bukannya pergi, Niko malah menginap di sana dan mengabaikan permintaan Celyn.
***
Suara azan menjadi alarm terbaik bagi Celyn, selesai salat ia bergegas mempersiapkan desain untuk pernikahan Arvan. Ia pun tertegun saat melihat foto pria itu bersama calon istrinya. Sesaat ia teringat ketika Arvan menyatakan cinta untuknya 7 tahun yang lalu.
"Apa kamu yakin tidak akan melanjutkan kuliah?" tanya seorang wanita yang merupakan guru Celyn di SMA.
"Tidak, Bu," jawab Celyn.
"Padahal kamu itu pintar, mengajukan beasiswa pun sepertinya akan mudah untuk kamu."
Celyn hanya tersenyum menanggapi ucapan gurunya itu. Tidak ada yang tahu tentang bagaimana miskinnya keluarga Celyn. Mereka masih mengira jika hidup Celyn baik-baik saja meski ayahnya sudah meninggal.
"Celyn," sapa Arvan yang berdiri di depannya saat Celyn keluar dari ruang guru. Celyn pun melihat pria yang menyapanya.
"Bisa kita bicara?"
Tak menjawab, Celyn hanya mengikuti langkah siswa tersebut dan berhenti di belakang sekolah. Celyn hanya bergeming, menunggu siswa tersebut membuka mulutnya.
“Haruskah aku ungkapkan sekarang,” batin Arvan yang sebenarnya masih merasa ragu untuk mengatakan isi hatinya pada Celyn.
"Iya, ada apa?" Celyn menatap siswa laki-laki yang kelihatan gugup di depannya. Meski ia selalu bersikap dingin, tetapi Celyn tahu jika Arvan menyukainya.
"Celyn, kamu mau jadi pacar aku?"
Kaki Celyn mundur satu langkah, ia tak menyangka jika cintanya tak bertepuk sebelah tangan. Celyn begitu gugup sampai ia ragu untuk menjawab pernyataan cinta dari siswa paling populer di sekolahnya.
"Maaf Arvan, aku nggak bisa nerima kamu," jawab Celyn yang sempat diam karena terkejut, lalu gadis dengan kuncir dua di rambutnya itu berlalu meninggalkan Arvan begitu saja.
Tangan Celyn terkepal dengan sempurna, air matanya pun mengalir deras hingga membasahi kedua pipinya. Ia terlalu takut jika menerima cinta Arvan, akan ada banyak masalah yang mungkin akan ia hadapi. Sementara, beban hidupnya saja, sudah cukup membuatnya stres.
Hari berganti hari, sikap Arvan berubah setelah pengakuan cinta saat itu. Ia selalu mengabaikan Celyn, bahkan menganggapnya tidak ada, meski mereka berdekatan.
Sikap dinginnya itu membuat Celyn semakin menyesali apa yang sudah ia perbuat. Namun, ia bisa apa. Semua sudah terjadi dan tidak akan merubah apa pun dalam hidupnya.
"Sadarlah Celyn, kalian tidak akan pernah bersama," batin gadis cantik itu, meratapi penyesalan yang begitu menyakitkan dalam hati.
Dering ponsel menyadarkan Celyn dari lamunannya, ia melihat panggilan masuk dari Deril yang tak lain atasan merangkap menjadi kekasihnya.
"Halo, Ril. Ada apa?" tanya Celyn.
"Jam berapa kamu pulang kerja?"
"Entahlah, masih belum bisa dipastikan. Kenapa, apa kamu mau menjemputku?"
"Iya, kabari aku. Aku akan menjemputmu," jelasnya mengakhiri panggilan.
Sudut bibir Celyn terangkat, seketika bayangan tentang Arvan menghilang digantikan Deril. Pria yang kini mengisi relung hatinya dan selalu ada untuknya.
Pukul sebelas, Celyn sudah berada di depan gedung Sanse. Ia sengaja datang lebih awal karena menggunakan angkutan umum dan tidak mau mengecewakan kliennya. Waktu berjalan begitu cepat, tak terasa sudah satu jam lebih Celyn menunggu kedatangan Arvan. Tidak ada pesan atau panggilan dari Arvan. Celyn pun mengambil ponsel yang berada di dalam tasnya lalu mengirimkan pesan ke Arvan.
Celyn: Selamat siang, Pak. Bagaimana dengan meeting kita, saya sudah menunggu anda dari waktu yang anda tentukan kemarin.
Sementara itu di tempat lain, Arvan tersenyum mendapat pesan dari Celyn. Ia sengaja belum datang, menunggu Celyn yang menghubunginya lebih dulu. Arvan mengabaikan pesan dari Celyn kemudian kembali fokus dengan makan siangnya.
"Sayang, kemarin sudah bertemu dengan WO kita? Jadi, apa mereka bisa memenuhi apa yang kita minta?" tanya Mita.
"Hm, aku sudah menemui mereka. Mereka bilang akan memberikan yang terbaik untuk pernikahan kita," jawabnya sembari menyunggingkan senyum.
"Terima kasih, Sayang. Aku yakin dengan pilihanmu," goda Mita sembari mengusap jemari kekasihnya.
Selesai makan, Arvan mengantar Mita ke kantornya. Sepuluh menit berlalu mobil yang dikemudikan Arvan sampai di depan Bank Swasta, tempat Mita bekerja.
"Terima kasih makan siangnya, Sayang, bye."
Mita mendaratkan kecupan di pipi Arvan kemudian keluar dari mobilnya. Kaki Arvan kembali menginjak pedal gas, menuju kantornya.
***
Celyn mengetuk-ngetukkan sepatunya ke tembok karena merasa kesal. Bagaimana tidak, ia sudah menunggu sampai empat jam lamanya, tetapi pria itu tak kunjung datang. Namun, walau sudah menunggu lama, Celyn tak berniat mengirimkan pesan pada Arvan, karena pesan sebelumnya saja belum dibalas oleh pria itu.
"Butuh tumpangan?" Celyn tersenyum melihat Deril yang berada di dalam mobilnya. Ia lalu membuka pintu dan masuk ke dalam mobil.
"Apa kamu sudah makan?"
"Belum … aku lapar," lirih Celyn seperti anak kecil.
"Ah miskin sekali pak Arvan sampai kamu tidak ditawarinya makan. Jadi, kamu mau makan apa?" tanya Deril.
Celyn terdiam, ia tidak memberi tahu Deril jika Arvan tidak datang ke tempat itu. "Aku ingin makan mie aceh kesukaan kamu," jawab Celyn.
"Oke, berangkat!" seru Deril.
Celyn menyunggingkan senyum, ia begitu menikmati perjalan menuju Kedai Mie yang biasa mereka kunjungi.
***
Jam menunjukkan pukul empat sore, awalnya Arvan berniat untuk cuti. Namun, atasannya menyuruhnya untuk menyelesaikan sketsa proyek baru mereka. Setelah menyelesaikan semua pekerjaannya. Arvan lalu membereskan semua pekerjaannya. Namun, netranya menangkap selebaran brosur Wedding Organizer.
"Oh s**t, Celyn.”
Arvan mengambil ponsel dalam sakunya berniat menghubungi Celyn, tetapi panggilannya dialihkan. Arvan kembali menghubungi Celyn dan hasilnya tetap sama. Akhirnya, ia mengirimkan pesan untuk Celyn.
Arvan : Di mana kamu, aku menunggumu di gedung Sense.
Arvan bergegas keluar dari kantornya, berniat mendatangi Gedung Sense. Ia kembali menghubungi nomor Celyn, tetapi kali ini ponselnya mati. Merasa kesal, Arvan akhirnya menghentikan mobilnya di bahu jalan, kemudian menghubungi Kiki.
"Halo, saya ingin membatalkan kerja sama kita," ucap Arvan begitu panggilan teleponnya terhubung.
"Loh, kenapa Pak? Bukannya Celyn sudah menjelaskan semuanya."
"Menjelaskan apa, dia saja tidak datang ke tempat yang sudah ditentukan. Pecat saja karyawan seperti itu, tidak bertanggung jawab!" sarkas Arvan mematikan panggilannya tanpa memberi kesempatan bagi Kiki untuk bicara.
"Kamu lihat saja Celyn, aku akan membuatmu menderita!" Arvan mengepal tangannya kuat-kuat, lalu memukul kemudi beberapa kali, meluapkan rasa kesalnya. Sorot matanya tampak begitu tajam saat wajah Celyn terbayang jelas dalam pikirannya.