“Apa yang kamu lakukan?” tanya asisten rumah tangga yang ada di ruma Regan itu pada Satya.
“Nona Aletta sakit, saya sedang membuat bubur untuknya,” jawab Satya.
“Biar saya saja yang buatkan buburnya,” kata wanita paruh baya itu.
“Tidak perlu Mbok, nona Aletta meminta saya yang membuatnya langsung. Saya sudah biasa membuatkan bubur untuk nona Aletta kalau sakit. Jadi biarkan saya saja,” kata Satya sambil tersenyum.
“Pasti masakan kamu enak, makanya nona Aletta minta langsung kamu yang membuatkannya. Apa kalian sangat dekat? Sepertinya begitu.” Satya hanya tertawa saja tanpa harus menjawab. Tak lama suara bel kembali terdengar, membuat wanita paruh baya itu ke depan untuk membuka pintu. “Apa kamu mengenalnya?” tanya wanita paruh baya itu pada Satya.
“Hai Mas Satya,” sapa Gladys yang baru saja datang.
“Oh hai nona Gladys. Dia temannya nona Aletta, apa nona mau bertemu dengan nona Aletta? Nona Aletta ada di atas sedang beristirahat, nona bisa langsung ke atas,” kata Satya mempersilahkan.
“Mas Satya lagi apa?” tanya Gladys penasaran.
“Buatkan bubur untuk nona Aletta, nona Aletta sedang sakit,” jawab Satya.
“Aletta sakit lagi?” tanya Gladys terkejut dan Satya menganggukkan kepalanya. Asisten rumah tangga Regan itu pamit undur diri dan meninggalkan mereka. “Aletta sakit apa Mas?” tanya Gladys penasaran.
“Masih sama kayak sebelumnya, mual,” jawab Satya sambil memotongi buah lalu meletakkannya di dua tempat yang berbeda. Satu lagi diberikannya pada Gladys dan satunya lagi akan diberikannya nanti pada Aletta. “Silahkan di makan,” kata Satya mempersilahkan.
“Makasih Mas,” ucap Gladys sambil tersenyum senang dan memakan buah tersebut. “Mas Satya kenapa harus repot-repot mau buatin bubur untuk Aletta? Mas Satya bisa minta bibi yang tadi untuk buat atau beli, kan?”
“Nona Aletta yang minta saya untuk buat langsung, katanya bubur buatan saya enak.” Gladys tertawa.
“Aletta yang bilang gitu? Nggak biasanya dia muji masakan orang lain,” kata Gladys sambil tertawa. “Oh iya, aku ada bawain kue buat Mas Satya. Ini juga hasil buatan aku, mudah-mudahan Mas Satya juga suka ya,” kata Gladys sambil memberikan kotak kue.
“Terima kasih kuenya,” kata Satya sambil menerima kue tersebut.
“Gimana Mas sama masakan aku waktu itu, enak?” tanya Aletta.
“Kata Aletta enak,” jawab Satya cepat membuat Gladys mengernyitkan keningnya bingung.
“Kata Aletta? Kenapa kata Aletta?” tanyanya bingung.
“Iya, yang makan kerangnya Aletta. Saya nggak makan,” jawab Satya.
“Kenapa Mas Satya nggak makan? Semua dihabiskan Aletta?” Satya menganggukkan kepalanya. “Emang ya Aletta, paling nggak bisa lihat orang senang. Padahal itukan buat Mas Satya, kenapa dihabisin sama dia. Aletta emang ha—“
“Saya yang minta nona Aletta untuk habisin, karena saya memang nggak makan kerang. Dari pada harus dibuang, lebih baik nona Aletta yang memakannya,” ungkap Satya membuat Gladys terdiam. Ia sudah sempat salah sangka pada Aletta.
“Jadi Mas Satya nggak makan kerang?” tanya Gladys memastikan dan Satya menggelengkan kepalanya. “Aku nggak tahu kalau Mas Satya nggak bisa makan kerang. Ada alergi Mas?”
“Tidak juga, hanya tidak makan saja karena saya memang kurang suka,” jawab Satya.
“Lalu bagaimana sama kue coklat? Mas Satya bisa makan, kan?” tanya Gladys dengan semangat.
“Kue yang kamu bawa kue coklat?” tanya Satya memastikan dan Gladys menganggukkan kepalanya.
“Saya tidak suka sama makanan manis, tapi bukan berarti nggak makan. Nanti saya coba kuenya, tapi maaf kalau tidak bisa memakan semuanya.”
“Gapapa Mas, Mas Satya mau coba makan aja aku udah senang banget. Jadi makanan kesukaan Mas Satya apa? Siapa tahu aku bisa masakin untuk Mas Satya nanti, aku bis—“ Handphone Satya berdering membuat Gladys menghentikan perkataannya.
“Hallo, iya kenapa?” tanya Satya. Gladys melihat bagaimana pria itu mendapat telepon. “Sebentar lagi selesai, sudah lapar?” tanya Satya lagi membuat Gladys paham bahwa yang menghubungi adalah Aletta. “Oke, sebentar lagi naik. Sudah ya.” Satya menutup teleponnya dan segera melihat bubur buatannya itu. Begitu selesai Satya meletakkannya ke dalam wadah dan menyiapkan segala keperluannya. “Kamu mau ikut naik? Ayo,” ajak Satya dan Gladys menganggukkan kepalanya.
“Hai,” sapa Gladys sambil berjalan masuk ke dalam kamar Aletta.
“Ngapain lo di sini?” tanya Aletta terkejut dengan kedatangan Gladys. Ia tak tahu jika sahabatnya itu datang.
“Ngelihat rumah lo yang baru tadinya, eh ternyata lo sakit. Kayaknya lo sakit mulu, mual terus setiap gue datang dan makannya bubur. Udah kayak orang hamil aja lo,” ejek Gladys membuat Aletta bungkam sambil menatap Satya. “Lo sakit apa sih sebenarnya, kenapa sakitnya sama terus. Lo nggak mau check ke rumah sakit aja apa?” tanya Gladys.
“Gue hanya telat makan aja, kayaknya asam lambung. Makanya bawaannya mual banget, jangan suka ngomong aneh deh lo,” balas Aletta tak suka.
“Bisa makan sendiri?” tanya Satya pelan sambil memberikan mangkuk yang berisi bubur tersebut. Aletta menganggukkan kepalanya merasa tak enak pada Gladys kalau Satya menyuapinya.
“Aletta udah besar kayak gini masa iya sih nggak bisa makan sendiri. Perlu disuapin? Sini deh gue suapin, kurang baik apa gue,” ejek Gladys sambil tertawa membuat Aletta berdecak.
“Gue bisa sendiri,” jawab Aletta ketus dan menyendokkan bubur tersebut ke dalam mulutnya. “Kerang lo waktu itu enak, pinter lo masaknya. Buatin lagi buat gue dong,” kata Aletta tiba-tiba mengingat kerang buatan Gladys.
“Waktu itu gue buatnya bukan buat untuk lo.” Hal itu membuat Aletta mengernyitkan keningnya.
“Iya, untuk Satyakan? Jadi gue nggak boleh coba gitu? Satya nggak bisa makan kerang, makan ikan aja pilih-pilih dia. Satya susah kalau soal makanan,” ejek Aletta. Gladys terdiam sejenak karena Aletta tahu banyak hal tentang Satya. “Tapi lo coba aja masak udang, Satya suka banget sama udang. Mau itu udang sambal balado, asam manis pakai tahu, dia suka banget. Gue yakin Satya makannya bakalan banyak, sayurnya coba aja pakai tumis kangkung sama goreng tempe di jamin makanannya habis semua,” lanjut Aletta lagi membuat Gladys cukup terkejut karena Aletta tahu sebanyak itu.
“Dari mana lo tahu semua itu?” tanya Gladys.
“Percuma dong setengah tahun ini Satya tinggal sama gue, kalau tentang itu aja gue nggak tahu,” balas Aletta sambil tertawa. Satya ikut tertawa kecil ketika Aletta mengatakan hal itu, entah mengapa ketika Aletta tahu tentangnya membuat pria itu cukup senang.
“Gue baru tahu kalau ternyata lo diam-diam memperhatikan dan tahu tentang itu. Biasanya lo nggak mau tahu sama apa yang terjadi di sekeliling lo,” sindir Gladys membuat Aletta tertawa.
“Apa iya? Kayaknya perasaan lo aja deh, kali ini lo bawa makanan apa untuk Satya?” tanya Aletta dengan semangat.
“Kue coklat,” jawab Gladys seperti tak yakin membuat Aletta tertawa.
“Satya nggak suka sama makanan manis, hanya kue klepon aja yang Satya mau makan untuk makanan manis. Dia lebih suka salad buah atau makanan sehat lainnya, lo harus buat itu kalau mau Satya makan banyak,” kata Aletta sambil tertawa. Gladys kembali diam, ia benar-benar merasa ada yang aneh dengan sahabatnya itu.
“Ceritanya nanti aja, makan dulu supaya cepat habis. Buahnya juga masih ada,” sela Satya sambil menyeka sudut bibir Aletta tanpa sadar.
Gladys yang melihat itu cukup tekejut karena Satya cukup berani melakukannya. Hal yang mengejutkan lainnya Aletta mengikuti apa yang dikatakan oleh Satya. Wanita itu seakan patuh, padahal Gladys sangat tahu bagaimana Aletta sangat tak patuh pada siapapun.
“Kalian terlihat sangat aneh,” kata Gladys tiba-tiba membuat Aletta berhenti makan.
“Aneh kenapa?” tanya Aletta bingung. Gladys menggelengkan kepalanya lalu bangkit berdiri.
“Gue balik aja deh kalau gitu, mungkin lain kali gue akan datang. Semoga cepat sembuh ya, jangan telat-telat makan lagi. Jangan mual terus, orang berpikir bisa salah sangka. Mikirnya hamil lagi, minta dibuatin khusus bubur lagi sama Mas Satya kayak orang ngidam aja,” ejek Gladys sambil tertawa. Namun Aletta menanggapi hal itu dengan cukup serius. “Lain kali aku akan masakin makanan kesukaan Mas Satya, semoga aku berhasil ya Mas,” ucap Gladys dengan semangat.
“Jangan repot-repot, saya nggak mau kamu repot karena itu. Saya nggak minta, jadi tidak perlu,” tolak Satya sopan.
“Nggak akan repot kok Mas, tenang aja. Yaudah aku pamit ya Mas Satya, gue pamit. Kabarin gue kalau udah sembuh, gue juga kangen buat kita jalan,” kata Gladys sambil menepuk bahu Aletta.
“Oke,” jawab Aletta cepat. Gladys langsung saja keluar dari kamar Aletta, sedangkan Satya langsung duduk di tepi ranjang.
“Emang iya aku kayak orang hamil? Kelihatan?” tanya Aletta pelan pada Satya.
“Enggak, hanya karena kamu mual aja. Gladys emang suka ngaco kalau ngomong, kan?”
“Mas Satya!” pekik Gladys tiba-tiba membuat Aletta dan Satya terkejut. Gladys sempat terdiam sejenak ketika melihat Satya duduk di tepi ranjang dekat dengan Aletta. “Mas Satya nggak mau antar aku sampai depan?” tanya wanita itu membuat Aletta bernapas dengan lega. Gladys melihat keduanya secara bergantian sehingga menimbulkan kesan aneh. Namun Gladys ingin menyimpannya sendiri.