“Apa itu penting untuk di jawab?” tanya Satya.
“Sangat, aku butuh jawaban kamu,” jawab Aletta cepat.
“Kita akan bahas nanti kalau udah sampai,” kata Satya membuat Aletta tak lagi bertanya.
Wanita itu memilih untuk mereka tiba di apartement miliknya. Begitu sampai di apartement Satya meminta Aletta untuk mandi terlebih dahulu begitu juga dengannya. Saat sudah selesai mandi Aletta sudah melihat Satya sudah duduk di sofa menunggunya sambil menikmati cemilan serta film yang terputar di hadapannya. Tak lupa ada botol alkohol di atas meja yang sudah habis setengah.
“Tumben kamu minum,” kata Aletta sambil duduk di samping Satya. Biasanya Satya akan minum saat ia yang mengajak, kali ini Satya langsung minum sendiri.
“Lagi butuh,” jawab Satya cepat. “Kamu harus menahan diri untuk nggak minum sampai kamu selesai melahirkan. Bahkan saat kamu masih memberi ASI kamu juga nggak boleh minum ini,” kata Satya menjelaskan. Aletta tak mengatakan apapun lagi, wanita itu ikut menikmati cemilan yang sama seperti Satya.
“Semua orang pasti pernah jatuh cinta termasuk aku. Bukankah wajar jika seseorang jatuh cinta? Justru akan menjadi pertanyaan besar kenapa seseorang tak bisa jatuh cinta. Setidaknya manusia pernah mengalami jatuh cinta minimal sekali. Kenapa kamu tiba-tiba tanya itu? Apa kamu sedang jatuh cinta?” tanya Satya membuat Aletta akhirnya menoleh menatap pria itu.
“Aku hanya bertanya, apa itu salah?” tanya Aletta balik.
“Pertanyaanmu aneh. Apa kamu belum pernah jatuh cinta?” tanya Satya lagi.
“Mungkin sudah, aku tidak tahu pasti. Seperti apa jatuh cinta? Apa itu cinta? Bagaimana jatuh cinta? Terkadang aku sulit untuk mengartikan hal itu. Apa bedanya jatuh cinta dan suka? Aku tidak tahu apakah benar-benar pernah jatuh cinta atau tidak,” ungkap Aletta membuat Satya tersenyum lalu meneguk minuman yang ada digelasnya sampai tandas lalu menuangkannya kembali ke dalam gelas miliknya.
“Saat kamu takut kehilangan orang itu, kamu jatuh cinta. Di saat kamu merasa sakit melihatnya dengan orang lain dan kamu rasanya kehilangan akal saat dikecewakan olehnya kamu sudah jatuh cinta. Di saat kamu merasa nyaman, bahagia dan ingin terus bersamanya maka kamu juga sudah jatuh cinta. Itu yang pernah kurasakan, bagaimana? Apa kamu sudah pernah merasakannya?” tanya Satya dan Aletta terdiam memikirkan hal itu. “Apa kekasihmu Leon waktu itu membuatmu sampai merasakan hal itu?” tanya Satya lagi dan Aletta mengedikkan bahunya.
“Kamu bilang kamu pernah merasakan hal itu, berarti kamu sudah pernah jatuh cinta. Apa dia juga jatuh cinta sama kamu? Kenapa kalian tidak bersama sekarang? Apa dia mengecewakanmu?” tanya Aletta serius membuat Satya tertawa.
“Ketika kita jatuh cinta tidak semua hasilnya bisa menyenangkan. Tidak semua orang yang saling mencintai bisa berakhir bahagia, mungkin aku adalah salah satu orang itu. Kisah cintaku tak seperti orang pada umumnya. Tapi aku pikir hal itu wajar, semua orang pasti pernah minimal jatuh cinta dan patah hati sekali saja.”
“Coba ceritakan kisahmu,” kata Aletta penasaran.
“Kalau kamu jadi aku, apa kamu menceritakan hal yang paling menyakitkan dalam hidup kamu?” tanya Satya lekat menatap Aletta.
“Apa itu sangat menyakitkan?” tanya Aletta pelan dan Satya menganggukkan kepalanya.
“Rasanya menyakitkan dan ingin mati,” tegas Satya.
“Maaf, aku nggak tahu kalau rasanya seperti itu. Apa itu masih membekas sampai sekarang dan buat kamu trauma? Karena itu kamu belum menikah sampai sekarang?” tanya Aletta lagi dan Satya menghela napasnya kasar.
“Aku merokok sebentar, jangan ikut keluar. Asap rokok nggak bagus untuk kamu,” kata Satya tiba-tiba sambil bangkit berdiri.
Pria itu berjalan menuju balkon, setelah membukanya pria itu menutupnya agar asap rokok tersebut tak masuk ke dalam. Aletta menghela napasnya kasar karena sepertinya ia salah bertanya pada Satya sampai membuat pria itu menghindar. Seharusnya ia bisa menahan diri untuk tidak bertanya lebih lanjut agar tidak menyakiti pria itu.
Setelah maenghabiskan tiga batang rokok, Satya kembali masuk ke dalam dan Aletta masih duduk di tempat yang sama. Namun kali ini wanita itu sudah berbaring di sofa sambil menonton. Ketika Satya masuk, Aletta langsung saja bangkit untuk duduk kembali.
“Kalau kamu mau tidur, kamu bisa pindah ke kamar,” kata Satya dan Aletta menggelengkan kepalanya.
“Aku masih belum bisa tidur, kamu mau tidur?” tanya Aletta.
“Tidak,” jawab Satya cepat. Aletta menepuk sofa yang disebelahnya. “Kalau kamu mau baring silahkan, mungkin itu lebih nyaman. Aku bisa duduk di sini saja,” kata Satya hendak duduk di sofa yang ada di sebelah Aletta.
“Jangan kamu duduk di sini aja,” cegah Aletta membuat Satya kembali berdiri diposisinya. Satya tampak berpikir sejenak lalu mendekati Aletta.
“Kamu baring aja, aku di sini,” kata Satya duduk di dekat kaki Aletta. Lalu mengangkat kaki wanita itu ke atas pangkuannya. Aletta hendak bangkit, namun Satya menahannya. “Aku mau pijatin kaki kamu, katanya Ibu hamil suka kalau kakinya dipijat. Apa lagi satu hari ini kamu banyak aktivitas menggunakan kaki, nanti kalau kehamilan kamu semakin membesar pasti akan mudah untuk kamu capek. Kaki kamu akan bengkak dan aku akan bantu kamu untuk pijat. Sebenarnya aku kurang suka tinggal di rumah itu, karena kamu harus naik turun tangga. Itu akan membahayakan kamu, makanya kamu harus hati-hati oke? Kalau kamu emang butuh sesuatu untuk hal-hal kecil yang nggak mengharuskan kamu naik turun, kamu bisa minta aku untuk melakukannya,” kata Satya sangat panjang dan bawel. Aletta tersenyum senang mendengarnya karena sikap bawel Satya sudah kembali.
“Aku suka kamu bawel seperti ini,” ucap Aletta pelan sambil tersenyum membuat Satya juga ikut tersenyum dan memulai pijatannya.
“Enak? Apa terlalu keras?” tanya Satya.
“Enak kok, kalau terlalu keras aku akan bilang,” jawab Aletta. “Satya,” panggil Aletta.
“Ya, kenapa? Butuh sesuatu?” tanya Satya.
“Enggak, waktu itu kamu menyebutkan diri kamu Ayah sama waktu bicara sama dia,” kata Aletta sambil mengelus perutnya. “Kenapa kamu mau dipanggil Ayah?” tanya Aletta membuat Satya terkejut karena ternyata Aletta ingin bertanya itu.
“Emang mau dipanggil apa lagi selain Ayah? Papa?” tanya Satya dan Aletta menganggukkan kepalanya. Satya menghela napasnya panjang. “Aku nggak suka, lagi pula aku panggil Bapak dan Ibu sama orangtua aku. Jadi aku mau yang berbeda dari mereka, sedangkan kamu udah panggil Papa dan Mama sama orangtua kamu. Kenapa? Kamu nggak suka kalau dipanggil Ayah dan Bunda? Emangnya kamu mau dipanggil apa?” tanya Satya balik.
“Bunda?” beo Aletta. Tak pernah terpikirkan olehnya panggilan tersebut untuknya.
“Iya Bunda, aku mau anak kita panggil orangtuanya Ayah dan Bunda. Gimana menurut kamu? Suka nggak kalau kita dipanggil itu sama anak kita?” tanya Satya membuat Aletta benar-benar speechless.
Aletta merasa bingung apa yang sedang dipikirkan Satya, bagaimana bisa Satya mudah mengatakan ‘anak kita’. Bahkan pria itu seolah-olah mengatakan bahwa mereka akan bersama nanti dengan anak tersebut. Padahal mereka saja belum menikah dan tidak tahu akan seperti apa ke depannya.
“Kamu nggak suka ya? Emang kamu mau dipanggil apa?” tanya Satya lagi karena Aletta belum menjawab. “Mami dan Papi? Terlalu western nggak sih? Kamu bukan orang luar, apa lagi aku. Ayahnya hanyalah orang desa yang kebetulan dapat pekerjaan di kota, jadi aku pikir Ayah dan Bunda adalah panggilang yang paling aman. Mungkin kamu tinggal di kota, tapi aku enggak. Dari dulu kalau aku punya anak, aku mau dipanggil Ayah. Tapi kalau kamu mau dipanggil yang berbeda juga gapapa, aku nggak akan paksa kamu.” Aletta terdiam sejenak, Satya tak mengatakan apa-apa lagi. Pria itu masih memijat kaki Aletta.
“Aku juga nggak masalah kalau kamu mau dipanggil itu. Menurutku Ayah dan Bunda tidak buruk,” jawab Aletta akhirnya membuat Satya tersenyum sambil menatap Aletta.
“Benarkah? Aku senang kalau kamu setuju,” jawab Satya cepat.
“Bagaimana dengan jenis kelaminnya? Kamu mau anak ini laki-laki atau perempuan?” tanya Aletta lagi membuat Satya berdecak.
“Aku nggak peduli dengan itu, apapun itu asalkan anak kita sehat aku akan menerimanya. Mau itu laki-laki aku hanya berharap dia bisa melindungi kamu dan tampan sepertiku. Jika dia perempuan, aku akan menjaganya sama seperti aku menjaga kamu dan dia juga cantik seperti kamu,” ucap Satya membuat Aletta kembali tertegun dengan jawaban Satya itu. Tiba-tiba Aletta merasa pasokan oksigen semakin menipis dan wajahnya sepertinya terasa panas. Aletta sampai harus memegang kedua pipinya. “Kamu kenapa?” tanya Satya bingung. Aletta menggelengkan kepalanya dengan cepat.
“Apa kamu pernah tidur dengan wanita lain sebelum bertemu denganku?” tanya Aletta lagi tiba-tiba membuat Satya langsung saja menatap Aletta dengan tajam dan menghentikan pijatannya.