Ricuh

2312 Kata
Dalam beberapa kali Diba merasa jenuh dengan jurusan yang dia tempuh. Dia sudah melewati semester 1 dan sekarang berada pada semester 2. Nilai yang di dapat pada semester 1 masih terbilang cukup baik karena terbantu oleh mata kuliah kalkulus dan fisika. Dia tidak akan tahu apa yang terjadi pada semester dua. Apakah nilai C menghiasi Kartu hasil study atau malah sebaliknya. Diba berharap ia bisa mendapat hasil yang baik. Semakin hari, dia semakin paham bahwa dunia perkuliahan berbeda dengan masa sekolah. Jika saat sekolah siswa dituntut untuk mengerti sedangkan saat kuliah semua tergantung dari individu sendiri. Jika mau untuk mengerti maka belajarlah dengan sungguh-sungguh namun jika sebaliknya maka anggaplah semua angin lalu. Hari ini suasana begitu terik membuat penghuni angkatan 16 IT C memilih untuk berada di dalam kelas. Mereka menikmati salah satu fasilitas kampus yaitu AC. Terkadang mereka saling berebut satu sama lain untuk selojoran di dekat AC. Berpikir apakah itu kekanak-kanakan? Sungguh mereka hanya menghabiskan hari dengan tingkah laku nyata bukan sebuah simulasi yang bisa saja tidak sesuai kenyataan. Seperti biasa tugas pengcodingan belum juga kelar dalam hidup mereka, dunia jurusan IT tidak akan lepas dari yang namanya coding. Pada semester 2, mereka masih kembali bertemu dengan mata kuliah coding yaitu pemograman web dasar. Jujur saja, Diba langsung syok jantung. Mereka harus mempelajari bagaimana pembuatan situs Web. Diba melihat dengan jeli layar monitor yang menampilkan deretan soure code yang berisi huruf, angka bahkan simbol-simbol yang membuat kepala hampir pecah. "Dib lo kenapa?" tanya Kamil penasaran. "Sakit kepala gue Mil, mau pindah jurusan. Nggak kuat gue di sini." Diba merasa dirinya terlalu sial. Bukan hal aneh jika penghuni kelas mengatakan ingin pindah jurusan. Bahkan ada yang sudah pergi entah ke mana. "Hahaha, santai santai. Nikmati aja kali, nggak usah terlalu dipikirkan." Kamil terkenal dengan orang yang paling aktif di kelas. "Gue nggak sepintar lo Mil, masih untung daspro semester pertama gue kagak dapat C. Lihat makul semester ini aja buat gue mual duluan," curhat Diba mendramatis. Jika di ingat, Diba memang mendapat nilai dasar pemograman B-. Lumayan, agar dia tidak mengulang mata kuliah itu lagi. "Lo nggak pulang Dib? ntar anak teknik pada mau demo di depan kantor dekan," Ucap Kamil yang memang mengetahui apa saja yang ingin dilakukan berbagai organisasi kampus. Demo adalah wujud dari memberi aspirasi atas kebijakan yang di buat salah atau ada kejanggalan dalam sebuah sistem atau juga ada kerugian yang dirasakan oleh yang mendemo. Seperti demo atau unjuk rasa yang dilakukan oleh fakultas teknik karena ada penyimpangan yang terjadi pada sistem organisasi fakultas. "Ih kagak ada kerjaan kalian demo gitu, buang-buang waktu dan tenaga," kesal Diba sambil menatap geram Kamil. "Lo natap kayak mau makan gue aja Dib, lihat ni bulu kuduk gue merinding." Kamil memperlihatkan lengan tangannya yang terlihat biasa saja. Dia memang sedikit lebay saja. "Iya kalian tu merusak sangat sangat merusak," teriak Diba yang tidak suka dengan aksi mereka. "Lo apain Diba si Mil? kok tanduknya keluar," ucap Ridho yang baru datang dari  ruang administrasi untuk mengambil surat keterangan aktif kuliah. "Haha niat gue baik buat nyuruh dia pulang cepat karena nanti anak-anak pada mau demo," jelas Kamil belagak menjadi seorang pahlawan kesiangan. "Masalah apa lagi? Perasaan tiap semester demo apa kagak bosan ya?" tanya Ridho sedikit penasaran. Dia bukan sosok seperti Diba yang selalu anti dengan BEM. "Biasalah, anggaran buat organisasi nggak seperti biasanya," jawab Kamil membocorkan informasi. Biasanya setiap awal semester setiap Organisasi selalu mendapatkan anggaran dari pihak Fakultas. "Bukan berkurang karena dipotong pihak kampus, Cuma atasan Lo aja yang motong kali," celetuk Diba dengan tidak bersalah. "Wah wah sejak kapan anak Teknik isinya gini ya." Suara yang ingin sekali Diba hindari. Dia tidak menyukai senior songong yang selalu saja memancing emosi. Dan yang paling mengejutkan kenapa harus masuk ke dalam kelas mereka. Sungguh orang yang selalu iku campur, pikir Diba. "Eh Bang, kapan mau mulai aksi?" tanya Kamil kepada Imran. Ya sosok yang baru datang itu adalah Imran. Sudah menjadi rahasia umum tentang Diba dan Imran yang selalu berdebat untuk hal-hal tidak penting. "Bentar lagi, suruh dulu tu kawan Lo yang selalu aja narik perhatian anak BEM buat pulang. Ntar liat kita demo langsung pipis celana lagi," ejek Imran sambil mencibir Diba. Diba sedikit geram, dia lebih memilih memfokuskan pandangan pada leptop dibanding pada sosok senior tersebut. “Masih musuhan aja lu Bang,” ujar Kamil yang selalu saja merasa senang melihat perdebatan itu. Hal itu bisa menjadi tontonan gratis yang mengasikkan. Kadang bukan hanya Kamil, teman kelas Diba yang lain juga merasakan hal yang sama. “Ih siapa yang musuhan dah Mil,” balas Imran menghindar. Dia juga tidak ingin citranya sebagai senior yang dingin harus pupus hanya karena berdebat dengan Diba. Dia tahu bahwa kadang juga merasa kekanak-kanakan, tetapi hal itu menjadi hoby tersendiri untuk Imran yang entah kenapa merasa enjoy saja. "Makasih udah baik banget Kak Imran," balas Diba dengan senyum yang dipaksakan.  Siapapun tahu itu bukan senyum tulus melainkan senyum palsu. Kamil teringat tentang Zaid yang belum diketahui keberadaannya di mana, padahal Zaid menjadi kordinator lapangan. Dia menjadi hal penting untuk menjadi seorang intruksi yang berada di lapangan."Bang Zaid ke mana Bang? dari tadi nggak ada." "Bentar lagi datang, dia ke Fakultas hukum bentar.” Imran mengarahkan pandangan pada Diba dengan sinis, “udah sana buruan Lo balik.” Dia bahkan dengan lancang menutup leptop Diba dengan spontan. Diba berteriak histeris karena terkejut, dia juga langsung menghunuskan pandangan dengan tajam. “Gue bantuin ini… biar Lo cepet pulang.” Imran memberikan cengiran polos. “Lo buruan pulang deh Dib.” Kamil langsung saja menyuruh Diba segera pulang dari pada meneruskan tingkah kekanak-kanakan mereka. “Yakin nggak mau gabung demo?” tanya Imran lagi. Diba diam dan tidak menanggapi. Jika terus saja di tanggapi bisa saja dia tidak pulang-pulang. Setelah dirasa semua perlengkapan di simpan di dalam tas, Diba segera beranjak pergi meninggalkan kampus. Dia tidak akan mau ikut sesuatu hal yang tidak ada manfaatnya sama sekali untuk dirinya. Ya itu pemikiran Diba yang sulit dimengerti. Sesampainya di kos, Diba merasa ada yang mengganjal. Dia membuka tas mencari apa-apa saja barang yang biasa dia bawa. Leptop oke Charger oke Mouse oke Hardisk oke Diba sekali lagi mengingat apa yang dia lupakan. Ponselnya. Diba mondar-mandir untuk mengingat dimana dia terakhir kali meletakkan ponsel tersebut. “Ingat Diba…ingat Diba!” ujarnya sendiri. “Kenapa sih?” tanya Caca yang baru pulang kuliah. Diba menyengir. Dia memberitahu bahwa ponselnya hilang dan tidak tahu ada di mana.Caca juga turut membantu dengan cara menghubungi ponsel Diba. Panggilan bordering tetapi tidak ada yang mengangkat maka mereka berdua berasumsi jika ponsel tersebut tertinggal di suatu tempat bukan di ambil orang. “Ca!!! punya nomor Kamil nggak? Dia kadang suka jail.” Caca menggeleng. Diba pusing sendiri, dia curiga jika Kamil yang mengambil ponsel karena biasanya Kamil melakukan hal itu kepada teman-teman yang lain. “Coba hubungi Bang Renal Ca,” pinta Diba. Caca mengangguk, dia segera menghubungi sang abang untuk mencari informasi. Beberapa menit Caca melangsungkan panggilan tetapi Caca memberikan isyarat yaitu menggeleng. Dia kembali terduduk di atas tempat tidur. Dia kembali mengingat di mana terakhir dia memegang benda persegi panjang tersebut. Ya Diba ingat, ternyata dia meninggalkan benda tersebut di laci laboratorium pemograman. Kepala mendadak menjadi berat karena memikirkan hal buruk yang mungkin terjadi. Jangan sampai dia kehilangan ponsel tersebut. Diba segera memasang kembali pakaian untuk menuju ke kampus tercinta. Sebelum itu, Dia sudah memberitahukan kepada Caca mengenai ponsel tersebut berada dimana. Diba berangkat ke Kampus, dia berlari menuju ke sana. Bahkan penjual nasi langganan Diba bertanya kenapa Dia berlari. Diba menjawab dengan sedikit berteriak agar ibu tersebut mendengar,“Nggak apa-apa Bu, ada urusan penting di kampus.” Suasana ricuh di fakultas teknik mulai masuk ke gendang telinga Diba. Dia hanya ingin masuk dengan baik-baik. Satu dua langkah akhirnya bisa dilakukan, namun ada perasaan ragu yang menyelimuti dirinya. Dia kembali membalikkan badannya untuk segera keluar kampus, akan tetapi terlambat. "Woi berhenti lo!!!" Diba terkaget melihat sosok laki-laki yang menutupi dirinya dengan masker dan topi berlari  melewatinya. Tanpa sengaja dia  menyenggol pundak Diba dan membuat Diba terjatuh. Diba berdiri dan kemudian membersihkan debu yang menempel pada gamis bagian bawah. Dia juga mengecek apakah bagian tubuhnya ada yang lecet ataupun tidak. "Ais...." Diba kaget karena teriakan orang yang begitu keras yang berada tidak jauh darinya. "Lo nggak apa-apa?" tanya dia. "Gue baik," jawab Diba segera pergi menjauh. Dia segera berlari menuju laboratorium progreming mobile yang ada di gedung D lantai 2. Dia membuka pintu labor dan di sana ada Andre. "Dib kok lo masih di kampus?" tanya Andre yang memang mengetahui ketidaksukaan Diba terhadap aksi yang dilakukan mahasiswa apalagi demo. "Handphone gue tinggal Kak, jangan sampai hilang dah," celetuk Diba. Dia berjalan melihat laci tempat dimana dia biasa duduk. Dia dapat bernapas lega karena smartphone nya masih utuh. "Dapat Dib?" "Alhamdulillah dapat Kak,” ujar Diba lega. Diba memperlihatkan benda persegi panjang yang hampir membuatnya terjebat dalam situasi yang tidak terduga sama sekali. Setelah itu Andre langsung mengusir Diba agar segera meninggalkan kampus. Dia melihat keadaan kampus semakin tidak kondusif dari lantai 2, “pulang buruan sana.” "Lah kenapa bisa gitu Kak? katanya demo minta keadilan," lirih Diba menyindir. Dia tersenyum senang seakan memang apa yang dipikirkan selama ini benar. "Ada penyusup yang buat demonya jadi nggak terarah, udah pulang sana!." Diba langsung pamit untuk segera keluar dari area Kampus. Percayalah bahwa kampus swasta yang menjadi tujuan Diba menuntut ilmu memiliki letak setiap fakultas yang dibatasi dengan gerbang. Dulu di kampus tersebut hanya terdapat 1 fakultas yaitu fakultas komputer, hanya saja beberapa tahun kebelakang ada hubungan kerja sama yang menjadikan kampus tersebut universitas swasta dengan 6 fakultas. Dan kebetulan fakultas teknik terletak di bagian depan universitas. Diba melihat pintu gerbang sudah tertutup rapat. Di sana terdapat banyak mahasiswa menjaga dan Diba tahu mereka senior yang selalu aktif dalam organisasi kampus. Diba dengan santai berjalan ke arah gerbang, banyak mata yang melihat ke arahnya. "Wah junior Aris ni," ledek salah satu senior. "Mau kemana adek?" tanya senior yang lain. "Saya mau balek Kak,” jawab Diba. Dia memasang wajah sedih, “bisa buka gerbangnya? Diba juga merasa risih dengan bau rokok yang menguap kemana-mana. "Wahh tidak bisa dong, kita harus berjuang bersama-sama menegakkan keadilan." "Saya mau pulang, Kakak nggak ada hak untuk melarang." Diba mulai kesal. "Wahh, luar biasa nyalinya." Tepuk tangan yang mereka lakukan malah membuat Diba bertambah kesal. Suara ricuh dari pengeras suara mulai bersaut-sautan di depan gedung dekan dan penjabat lainnya. Jujur kondisi semakin tidak tentu arah, ada beberapa lemparan batu yang terjadi dan itu membuat badan Diba sedikit bergetar. "Udah lo sana deh jangan ganggu tugas kita, lo bisa lihat banyaknya orang yang mau keluar tapi nggak kita bolehin. Meskipun lo ngemis pun nggak bakal kita bukain." Dengan langkah bergetar Diba sedikit menjauh dan mencari jalan keluar untuk bisa keluar area kampus. "Akhhh." Teriak Diba histeris ketika melihat kumpulan orang bermasker dan bertopi yang berlarian ke arah belakang gedung A. "Diam!!!" ancam mereka. Diba langsung terdiam. Kakinya tidak bisa bergerak lagi. Dia berdoa agar ada orang yang bisa menolong dirinya. Keadaannya mulai memburuk. Bibir pucat pasi disertai gengaman pada gamis yang dia pakai. "Gu-gue nggak ada hubungannya sama demo ini," ucap Diba gemetaran "Gue bilang diam ya diam!" suaran bentakan itu kian nyaring. Air mata Diba sudah sampai kepelupuk matanya. Dia benar-benar takut apalagi dia hanya perempuan seorang diri. "Ka-kamil tolongin gue!" teriak Diba spontan ketika melihat teman kelasnya yang berdiri tidak begitu jauh. "Gue bilang diam ya diam!” Diba langsung terdiam,  Kamil melihatnya dan Diba sedikit lega karena langkah Kamil menuju ke arahnya. Melihat itu, para rombongan laki-laki misterius langsung kabur dan mendorong Diba. Mereka melarikan diri dengan memanjat pagar belakang gedung. Kamil terlihat terengah-engah menghampiri Diba, "Dib, lo kenapa bisa di sini?" "Gue mau pulang Mil," lirih pelan Diba. Dia berusaha menghapus air matanya yang sudah keluar. "Lo tenang dulu Dib," Kamil berusaha menenangkan Diba yang masih syok luar biasa. Dia juga tidak bisa menyentuh Diba karena memang Kamil tahu bahwa sang teman tidak pernah bersentuhan dengan yang bukan muhrom. "Ini minum dulu…" Diba menerima uluran minum dari orang selain Kamil. Dia memberikan beberapa pembersih dan plaster luka pada Kamil, "Mil, Luka lo obatin dulu." "Makasih Bang," jawab Kamil sambil menerima kotak dari seniornya itu. "Mil gue mau pulang," rengek Diba. Kepalanya mendadak pusing. "Diba kenapa?" tanya Renal yang baru saja datang. Dia juga terlihat khawatir. Kamil menjawab seadanya karena dia melihat Diba tidak dalam kondisi baik “Panjang Bang, amanin dia dulu ni. Udah syok berat.” “Gimana ni Za?” tanya Renal kebingungan. Mereka tidak bisa keluar seenaknya. Kondisi tidak kondusif, siapapun bisa di anggap sebagai pengkhianat jika salah bertindak. “Suruh Adek lo ke Gerbang kantin belakang, biar kita antar dia ke sana.” Renal setuju, dia langsung menghubungi Caca agar bisa ke gerbang samping. “Lo udah baik?” tanya Zaid memastikan. Diba membalas dengan anggukan kepala. Zaid melihat kain lengan bagian bawah sang junior sedikit sobek. Dia membuka hoodie yang di pakai dan memberikan kepada Dia, “ni pakai.” Diba terlihat bingung, namun Zaid menunjuk kearah lengan Diba. Diba langsung berusaha menutupinya dan mengambil hoodie yang diberikan sang senior. Dia langsung memakainya. Di sisi lain Zaid tidak melepaskan pandangan dari Diba. “Caca udah di gerbang belakang, “ ujar Renal memberitahu. Hal itu memecahkan lamunan Zaid,” Oh iya…” Seketika kesadarannya kembali, “jangan semua yang ngantar ke gerbang kantin, takut yang lain curiga.” Renal dan Kamil setuju. “Biar gue aja yang ngantar ke sana,” ujar Renal. Dia mengantarkan Diba ke gerbang kantin belakang. Di sana banyak sekali mahasiswa yang berjaga. Renal hanya menyapa sebentar dan memberitahu apa yang tengah terjadi. Dia sudah melihat sang adik menunggu di sana dengan menggunakan helm. “Kenapa Diba Bang?” tanya Caca khawatir. “Dia lagi syok Dek, tenangin aja di kos ya.” Caca mengerti, dia langsung membawa Diba pulang ke kosan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN