Debat

2163 Kata
Diba kembali ke masa ketenangan tanpa di ganggu lagi oleh anak BEM. Dia sudah banyak mendapat ilmu yang luar biasa asing. Diba juga di beri amanah untuk menjadi ketua kelas. Menjadi ketua kelas bukan atas dasar keinginan nya, melainkan hanya karena teman sekelas bekerja sama untuk menjadikan dirinya ketua kelas. Wow bukan? Dari banyaknya kaum adam di kesal, kenapa harus dirinya yang ribet sendiri? Bagaimana Diba tidak berpikir Ribet karena kenyataan pahit yang harus ditelan adalah ketua harus lebih dulu datang untuk mempersiapkan segala keperluan perkuliahan seperti menghidupkan AC, menghidupkan proyektor, mengecek sistem absen apa masih berfungsi atau tidak. Ketua kelas juga paling terakhir keluar kelas. Kenapa? Ya tentu karena dia harus mematikan AC, proyektor, serta jika ada keperluan tugas oleh dosen maka dia harus siap siaga tanpa keluhan. Diba masih ingat dengan jelas bagaimana semua teman satu kelas berkonspirasi untuk menjadikan dirinya ketua kelas. Padahal saat itu Diba hanya mengenal sebagian saja, namun kenapa seluruh teman kelasnya yang berkonspirasi. Diba mencurigai Abel dan Kamil sebagai sponsor mereka. Membahas sponsor seperti membuka kisah tentang yang lagi viral yaitu siapa sponsor demo yang dilakukan kalangan mahasiswa dan buruh serta anak-anak STM. Seiring berjalannya waktu, Diba sampai juga pada pertengahan semester. Dia mulai mengerti beberapa hal terkait mata kuliah yang asing menurut pemikirannya dulu. Namun ya namanya kuliah tidak berjalan mulus seperti kebanyakan orang, Diba juga tidak mengerti beberapa hal. Haha Bukan beberapa hal melainkan banyak hal. Dia harus mengulang dari awal untuk bisa memahami sesuatu. Dulu pemahaman Diba tentang jurusan yang berbaur komputer hanya tenang Microsoft office saja. Ternyata pemikiran itu salah besar. Mungkin jurusan itu tidak ada mempelajari Microsoft office pada beberapa perguruan tinggi. Tergantung kurikulum dari kampus tersebut. Pagi hari tepatnya jam 10 lewat 25 menit, Diba sudah kelinglungan seperti orang yang tidak tahu arah hidup. Setelah mata kuliah selesai tepatnya pukul 10 tepat, Diba bersama Zaki dan Ridho mendadak pusing tujuh keliling. Mereka mempunyai tugas mata kuliah dasar pemograman yaitu mengimplementasikan fungsi If pada pemograman C++. Sekilas info, dasar pemograman adalah mata kuliah yang memperlajari tentang sebuah program, dan bahasa pemograman pada semester satu yaitu bahasa C++. Tugas yang diberikan oleh dosen sebenarnya tidak terlalu sulit jika mengerti. Mereka sudah mengerjakan beberapa code. Namun karena mencari sumber referensi dari internet membuat mereka terlibat kesalahan, sehingga ketika sudah error maka mereka tidak mengerti bagian mana yang menjadi penyebab keerroran itu. "Dib program nya udah mau jalan?" tanya Ridho. "Kagak mau, error." Diba meringis memperlihatkan layar leptop. "Mampus kita Dib, serius udah semalaman gue ngerjain tapi nggak mau jalan." Ridho menyerah Karena kepalanya sudah mau pecah. Bayangkan saja ada hampir 100 baris program dan dia harus mengecek satu-satu untuk mencari error. "Gue juga udah nyoba malah tambah kacau. Mata gue juga udah sakit karena cek apa ada tanda titik koma atau apa gitu yang ketinggalan atau kelebihan," curhat Diba. "Tanya sama seniorlah," usul Zaki. "Ide bagus tu, sana tanya Do," Suruh Diba tanpa rasa bersalah. "Gila lo nyuruh gue, gue aja nggak pernah berbaur sama senior." Ridho memang terkenal susah bergaul dan kalem. Dia sama seperti Diba yaitu mahasiswa kupu-kupu. Mahasiswa yang hanya beraktivitas kuliah dan langsung pulang. "Lo aja Ki, kan lo anak Organisasi,” Diba memberikan usul. Zaki aktif di organisasi alam yang ada di kampus. Setiap 2 minggu sekali pasti Zaki sudah menjelajahi, entah itu hutan, air terjun, bukit atau bahkan gunung. Teman sekelas sering menyebut Zaki anak alam. "Senior di organisasi gue pada error otaknya Dib, bukannya program kita jalan malah tambah hancur," balas Zaki prihatin. Mereka hanya tahu tentang alam saja, pikir Zaki. Zaki, Diba dan Ridho sedang termenung. Tugas itu harus dikumpulkan pada jam 17.00, tidak boleh lewat. Jika lewat maka akan di anggap tidak mengerjakan tugas dan nilai zonk. Mereka berpikir keras bagaimana cara agar tugas itu selesai. “Teman sekelas ada yang udah kelar?” tanya Zaki.  Diba menggeleng tidak tahu, namun Ridho seperti memberikan sinyal bahwa dia tahu. “Kayaknya rombongan Zaza udah kelar, soalnya mereka main tunggal mulu,” oceh Ridho mendramatis. Diba menggelengkan kepala karena tidak mengerti jalan pikiran sang teman. Hanya karena main tunggal terus atau bisa dikatakan sering menyelesaikan tugas sendiri dan diam-diam membuat tingkat sentimen Ridho menaik tinggi. “Sentimen mulu lu Do,” balas Diba dengan sedikit bercanda. Ridho mengacuhkan Diba. Dia lebih memilih melihat deretan code pada leptop dari pada berujung perdebatan yang tidak ada untungnya. Ketika mereka mulai terlihat kacau, Ridho memilih untuk membeli cemilan di kantin untuk sedikit meredahkan stress yang mulai menjangkit. “Kemana?” tanya Zaki. Ridho menjawab bahwa dia akan ke kantin. “Nitip s**u banana,” ucap Diba. “Gue kopi satu,”ucap Zaki. Ridho tidak membalas tetapi dia sudah mendengar titipan yang di inginkan sang teman. Di pintu kelas, Ridho berpapasan dengan Abel yang tampak senang. Bagaimana Ridho tahu? Ya tentu saja dari mimik wajah Abel yang begitu sumringan seperti baru saja memenangkan sebuah lotre. "Dari mana Bel?" tanya Diba menyelidiki. Bisa jadi Abel baru saja memenangkan perlombaan kemudian mendapatkan uang. Ya jelas Dia tidak mau ketinggalan dalam menikmati hasil itu. Hahaha "Gue dari Kantin, “ balas Abel sedikit songong. Dia langsung mengambil leptop pada tas, kemudian membuka leptop tersebut. “Gue kira lo udah pulang,” timbal Diba memperhatikan. “Rencananya memang gitu, tapi Kamil tiba-tiba cerewet karena program kita ada yang error. Nggak jadi pulang deh,” ujar Abel santai. “Gue juga gitu,” adu Diba pura-pura menangis. Ridho dan Zaki malah muak dengan drama 2 perempuan cerewet yang mulai aktif dalam hidup mereka. “Tadaa… program kita selesai.” Abel memperlihatkan output program kelompok mereka yang sudah mencapai pucak hasil. "Wah serius lo, siapa yang bantu?" tanya heboh Ridho. Dia mengurungkan niat untuk pergi ke kantin. Program mereka lebih penting dari apapun. "Kak Zaid itu lo, anggota BEM.” Abel berujar heboh seperti menceritakan sosok idola. Dia mendengus kesal, dia anti sekali jika membahas BEM. “Kasihan banget kalian belum selesai Haha, jangan sampai ngulang tahun depan guys.” Diba cemberut karena kesal melihat sikap Abel, dia masih pusing dan Abel malah tersenyum sambil menakut-nakuti mereka. Sungguh sangat baik sekali. "Bel tolongin kelompok gue dong," pinta Diba. “Iyaa bel, tolongin kenapa?” Zaki ikut-ikutan membujuk Abel. "Gue mana bisa,” balas Abel. "Ya itu gue tahu. Lo bawa leptop ini ke tempat Kak Zaid. Ya ya?" Diba kembali berusaha membujuk Abel. "Ogah gue, dia itu susah. Cuek bener." Abel tidak mau harus berurusan dengan senior yang terkenal dengan keseriusan dan jadwal padat. Kalau bukan karena Kamil, Abel mana berani. Kamil memang sudah masuk dalam organisasi BEM. Anehnya Diba tidak sensi sedikitpun dengan Kamil. Dia malah mendukung asalkan sang teman berada pada jalan yang benar. Kamil yang bergabung dengan BEM membuat dia mengenal sosok Zaid. "Tolong dong Bel, Ntar Ridho beliin makan siang di kantin deh," tawar Diba. "Lah kok gue?" sanggah Ridho tidak terima. Dia jelas saja tidak mau mengeluarkan uang di akhir bulan ini untuk orang lain. Dompet menipis membuat dia berlaku pelit. "Iyain aja sih, lo mau tugas kita dapat nilai nol?” bisik Diba sedikit  mengancam.   “Kok malah gue si! Zaki ada noh,” cibir Ridho yang mendapat ketidakadilan. “Jangan bawa-bawa gue deh.” Zaki mengangkat tangannya. “Kok kalian pada berantam si?” omel Abel. Diba, Zaki dan Ridho hanya menyengir tanpa rasa bersalah. “Tolongin lah Bel,” bujuk Diba kembali. Dia sudah seperti anak kecil yang meminta dibelikan permen. “Untung gue orangnya baik, ayo!!!” Diba menggandeng tangan Abel menuju ke kantin. sedangkan Ridho dan Zaki seperti bodyguard yang berjaga-jaga di belakang. Mereka berempat sampai di pintu kantin. Begitu banyak orang berada di dalam kantin dan senior lebih mendominasi di area tersebut. Di meja pojok masih ada Kamil dan beberapa orang yang sama sekali tidak dikenal ole Diba kecuali Renal. Abel menelpon Kamil untuk menanyakan apakah sosok Zaid sibuk atau tidak dan jawaban Kamil sungguh membuat Diba ingin menelannya hidup-hidup. “Tanya aja sendiri,” ujar Kamil di seberang sana. Dengan tingkat kebutuhan yang besar dan menyangkut dengan proses penyelesaian semester awal mereka, Diba beserta teman satu kelompoknya bergegas untuk mendekat. Diba menatap tajam Kamil tanda peperangan di mulai. "Tumben kelompok lo belum kelar Dib," sindir Kamil yang sedang menahan tawanya. "Diam lo!!!" ancam Diba tajam. “Santai dek,” canda Renal. Dia memang sudah menganggap Diba seperti adik sendiri, apalagi mereka satu daerah dan juga adik Renal merupakan teman Diba. “Dia ngejek gitu Bang, “ adu Diba mencari perlindungan. Kamil kembali mengejek “Ngadu aja terus, hahaha.” “Jangan gituan adek gue Mil,”ucap Renal. Dia melempar Kamil dengan menggunakan bekas s**u kotak. “Cieee, adek-adekan ni ye!!!” canda Kamil. Renal malah bertambah brutal memukul Kamil. Renal kembali ke posisi semula, dia berdehem untuk menormalkan detak jantungnya. “Ada perlu apa dek?” tanya Renal ramah. “Program Diba error Bang,” curhat Diba memperlihatkan leptopnya. “Zaid tolongin adek gue dong,” ujar Renal. Dia mengambil leptop pada Diba dan memberikan kepada Zaid yang sedang memainkan game. Zaid menatap Renal untuk meminta penjelasan. Dia tidak tahu kenapa harus dirinya yang diberikan leptop. “Tolongin,” ulang Renal. “Untungnya buat gue apa?” tanya Zaid mulai membuka suara. Diba menggerutu kesal karena sang senior terlihat songong.  Dia harus menahan kekesalan agar semua berjalan sesuai rencana. “Emang tidak ada untungnya Kak, tetapi dengan membantu junior setidaknya kakak bisa mendapat pahala,” ujar Diba. Dia memasang raut wajah tersenyum walau di dalam hatinya sedang bergulat. “Nah iya dapat pahala lo Zaid,”celetuk Renal sambil bersorak heboh. “Pahala ya? Okey… gue dapat pahala kalau  gue ikhlas. Kalau kagak kan percuma,” cetus Zaid dingin. Diba naik pitam, “Makanya harus ikhlas kak, ikhlas kok susah banget.” “Terserah saya mau ikhlas atau tidak, kenapa meski kamu yang sewot?” “Saya tidak sewot Kak, hanya saja kenapa Kakak tidak ikhlas membantu? Apa membantu kelompok Kamil juga tidak ikhlas?” Suasana di pojokan kantin begitu menegangkan, tidak ada yang berani bersuara ketika terjadi perdebatan antara Zaid dan Diba. Renal juga makin pusing kerena Dia tidak pernah melihat Zaid adu mulut dengan orang. “Itu urusan Saya!” “Minta tolong doang susahnya minta ampun,” oceh Diba lagi. Dia menggerutu tidak jelas. “Saya tidak mau menolong orang seperti kamu, yang tidak menggunakan otak sebagaimana mestinya. Orang tua kamu bayar mahal-mahal agar kamu paham materi.” “Lah kenapa jadi bawa-bawa orang tua Saya? Kalau Kakak tidak mau membantu tinggal bilang. Jangan sokkan begitu,” Diba mengambil leptopnya dan menutupnya begitu saja. “Udah Zaid… diliatin orang.” Renal mulai tidak tenang, dia harus menghentikan situasi yang mendadak kacau. “Kapan saya sok-sokkan? “ Zaid bangkit dari tempat duduk. Dia menatap sosok junior tersebut dengan tatapan dalam dan tajam. “Lah Kakak kok nyolot ya?” ujar Diba. Renal langsung mengambil ahli perdebatan itu,”Jangan kayak bocah uii.” Zaid tersadar, dia langsung pergi meninggalkan kantin. Dia sangat kesal dan tidak tahu apa penyebabnya. Biasanya dia tidak seperti itu. “Dib lo tadi ngapain?” teriak heboh Abel. Dia baru sadar dari ketegangan yang baru saja terjadi. “Gue ngapain?” tanya balik Diba dengan wajah polos tanpa ada masalah. “Kawan lo Bel, Ya Allah!!!” Kamil tidak kalah linglungnya. Zaki dan Ridho malah sibuk makan. Mereka tidak terlalu memperdulikan perdebatan yang baru saja terjadi. Mereka berdua sudah pasrah jika harus mendapat nilai Nol dari tugas kelompok. “Gue kasih tahu ya Adiba Habibatul Mustofa… Lo baru aja ngajak gelut Kak Zaid!!!” teriak Abel dengan penuh penekanan dari setiap katanya. “Padahal tadi gue Cuma ngomong doang sama dia,” balas Diba. Renal menggelengkan kepala melihat tingkah Diba, “Ya udah…nggak usah dipikirin. Tugas Diba nanti biar di bantuin sama Kak  Andre, dia ada di labor kok” Diba tersenyum senang, begitupun dengan Ridho dan Zaki. Setidaknya mereka bisa sedikit lega karena di bantu oleh asisten labor. Andre merupakan asisten labor, dia juga teman dekat Renal dan Zaid. “Tadi Abang udah chat dia, katanya bisa kok kalau sekarang,” instruksi Renal. “Makasih Abang,” balas Dia senang. “Nanti malam datang ke kosan, biar Diba masakin hehe,” lanjut Diba lagi. Semua yang mendengar itu jadi melotot, ada hubungan apa Diba dan Renal? “Siap, nanti malam Abang ke sana.” Renal segera beranjak dari kantin dan pergi menyusul Zaid. Sedangkan Diba menatap tajam Ridho dan Zaki yang tengah asik dengan makanan mereka, “Lu berdua ya kagak ada usahanya.” “Sabar Dib, emosi mulu.” Ridho berbicara dengan suara tidak jelas karena masih ada makanan pada mulutnya. “Udahlah... gue sama Abel mau ke labor, awas aja lo berdua kagak nyusul,” ancam Diba. “Lah kok bawa gue? mau pulang ini.” Abel jadi terlibat, padahal tugas kelompok mereka sudah selesai. “Lo kawan gue bukan si?” tanya Diba yang di angguki oleh Abel. “Makanya ikut.” Abel pasrah saja ketika ditarik oleh Diba. Mereka berdua meninggalkan kantin untuk menuju ke labor.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN