Kecerobohan Diba

2103 Kata
"Jangan pulang dulu, nanti kita bakal diskusi sama kelas senior, " ucap Diba memberitahu teman-teman satu kelasnya. "Ah malas gue, " balas Zaki. "Gue juga, udah lah nggak usah ikut susah amat." "Iya benar tu, gue baca kalau nggak ikut cuma kena denda dong. Bayar ajalah. " "Setuju. " Diba menghela napas berat, tenyata tidak ada masa depan yang cerah di dalam kelasnya. Kebanyakan orang di dalam kelas 2 C adalah mahasiswa Kupu-kupu (kuliah pulang) sehingga mereka sangat malas untuk mengikuti kegiatan kampus. Dia yang awalnya ada semangat malah terpatahkan dengan orang-orang yang ada di kelasnya. Diba kembali duduk untuk bersantai. Kenapa dia yang meski repot dan cerewet padahal yang lain santai-santai saja. Diba menggaruk kepalanya yang tidak gatal, "Memang kelas bar-bar lo semua, ya udah! gue sih setuju aja kalau kita bayar denda. Yang jadi masalah, lo semua pada mau bayar kagak? " "Mau, berapaan dah? " tanya Ridho sambil bermain game online di ponsel. Diba merasa heran dengan salah satu temannya itu, bisa bermain di tengah keributan saat ini. Seperti otaknya ada 2. "Oke, tertulis di sini bagi kelas yang tidak ikut maka wajib membayar uang sanksi sebesar 500.000. Nah kita kan ada 40 orang ni, maka satu orang iuran 13.000 lah, " jelas Diba sambil membaca lembaran undangan yang diberikan panitian beberapa hari yang lalu. "Kelebihan Dib, 12.500 pun, “ protes Faris. Dia memang terkenal perhitungan. Untungnya dia pintar dalam hal berhitung sehingga tidak masalah. Diba memegang kepalanya sedikit mengumpulkan kesabaran, "Ih pelit amat dah, 500 perak susah buat dicari. Sisa nya ntar di simpan buat fotocopy modul." Akhirnya mereka menyetujui untuk tidak ikut event dan segera membayar uang iuran. Sebenarnya banyak pelajaran dan keuntungan mengikuti event fakultas. Apalagi bagi orang yang mempunyai jiwa pembisnis. Jelas saja di setiap stand kelas dibebakan untuk  berjualan apa saja kecuali barang haram. Diba yang menjadi sosok pemimpin dadakan beranjak sebentar dari kelas untuk pergi  ke mushola kampus. Dia ke sana bukan tanpa alasan melainkan untuk melaksanakan shalat duha. Dia memang sedikit berbeda, meskipun sedikit tomboy dan banyak bergaul dengan teman berjenis kelamin laki-laki tidak membuatnya melewati batas. Ya Diba selalu menjaga diri agar tidak berkhalwat ataupun bersentuhan. Semua teman-teman kelas paham dengan prinsip yang Dia pegang. Sejak zaman Madarasah dia sudah terbiasa menunaikan shalat Duha, sehingga jika tidak shalat ada perasaan mengganjal dalam dirinya. Dia sangat-sangat bersyukur. Setelah shalat, Diba segera mencari teman-temannya yang sudah nangkring di bawah pohon. Meskipun mereka tergolong junior bontot, tetapi tidak membuat mereka segan untuk duduk di taman belajar yang memang di sediakan pihak kampus. Ya karena mereka duduk bersama-sama. Kalau dalam keadaan sendiri mereka mana berani. "Bel udah uangnya? " tanya Diba yang baru datang. “Ciaa udah doain gue belum Dib?” goda Ridho. Diba malah tidak menanggapinya. "Belum semua, Erik sama Anton kagak datang. Gimana dong? " tanya balik Abel. "Ada yang mau nutupin dulu nggak? " Diba bertanya kepada rekan-rekannya yang lain "Yang tinggal sama orang tualah yang nutupi, jangan yang ngekos, " usul Ridho. Kamil akhirnya bersedia untuk menutupi iuran 2 orang teman kelas yang tidak datang. Sebenarnya dia tidak mau, tetapi karena desakan bahkan paksaan maka ia harus  membayar iuran tersebut. “KDK lo,” ujar Kamil sambil membenarkan kemejanya yang sudah berantakan. Napasnya ngos-ngosan karena di serbu oleh teman laki-laki. “Apaan dah tu?” tanya Ella penasaran. “Kekerasan dalam kelas,” balas Kamil sambil melempar sampah daun. Teman-teman pada tertawa. Mereka menikmati suasana pagi yang lumayan sejuk. Apalagi pohon rindang yang melindungi mereka. Mereka menunggu waktu untuk masuk mata kuliah pada jam 10 pagi. Sembari menunggu mereka bercerita-cerita, ada juga yang bermain games bersama, nonton anime, nonton drakor, selfie sana-sini, menjaili satu sama lain bahkan ada yang menjadi pelawak dadakan. Mata kuliah yang akan mereka masuki pada jam 10.00 pagi adalah Pemograman mobile I. Diba baru tahu bagaimana membuat sebuah aplikasi yang berada di smartphone Android. Pemograman mobile yang mereka pelajari adalah pemograman hybrid. Pemograman mobile hybrid adalah pencampuran antara pemograman bahasa PHP dan pemogaraman bahasa Java. "Almet lo mana Dib? " Diba langsung melihat isi tasnya, tenyata dia meninggalkan almamater kampus yang menjadi hal wajib ketika memasuki laboratorium. "Astagfirullah, ketinggalan di meja kamar gue. " Diba memukul kepalanya pelan. Keteledoran susah hilang pada diri Diba. Kamil menggeleng. Zaki mengejek bahkan Faris pun ikut menakut-nakuti. Ella menengahi, dia langsung mendorong Diba agar segera bergerak mencari almamater, "Buruan sana pinjem, 5 menit lagi masuk. " Diba sedikit bingung kepada siapa harus meminjam almamater, namun jika dia mengambil di kosan akan memakan waktu sekitar 15 menit. “Pinjam sama siapa?” tanya Diba kepada teman-temannya. “Sama siapa aja yang pakai almet Dib, atau mau gue temanin buat ngambil ke kos?” Zaki menawarkan diri. Diba menolakkan. Sayang sekali Abel dan Ella tidak membawa motor. Jika meminta tolong kepada teman cewek yang lain Diba merasa segan. Sungguh keadaan membuat Diba dilema. “Kalau lo diam gini nggak akan bikin keadaan tambah baik,” ujar Abel sambil menarik Diba. Mereka berdua berjalan mencari siapa yang terlihat memakai almamater. Biasanya mahasiswa memakai almamater apabila hari itu mereka ada mata kuliah di dalam labor, atau anak organisasi. "Itu Kak Zaid sama Kak Imran pakai almet, pinjam sana. " Abel mendorong tubuh Diba untuk segera mendekat ke arah seniornya yang tengah nongkrong di depan kantor jurusan. "Lo aja deh," tolak Diba merasa tidak enak. Apalagi dia selalu terlibat konflik yang tidak baik. Diba merutuki dirinya yang lupa mengembalikan hoodie Zaid. "Yang perlu juga lo kali Dib, udah lah gengsi ntaran aja. Bapak udah masuk lo!!!" Diba tidak bergerak sedikitpun. "Diba buruan, aduh ntar kita kagak boleh masuk lagi." Abel sudah terlalu kesal dengan Diba yang tidak bergerak-gerak. Diba memberani kan diri meminjam Almamater kepada seniornya. "Kak…," panggil Diba takut. "Lo manggil siapa? " tanya Imran cuek. "Boleh pinjam almetnya bentar Kak, " pinta Diba dengan suara pelan. "Emang kita sedekat apa sampai gue harus minjamin lo almet? " Pertanyaan yang membuat Diba sadar bahwa senior di depannya ini punya masalah pribadi dengannya. "Karena kakak itu senior saya." "Senior itu harus membantu junior kan Bel? " sambung Diba meminta dukungan dari temannya. "Eh iyaa benar banget Dib," jawab Abel terbata-bata. “Berani bayar berapa lo?” tanya Imran menantang. Padahal dia hanya bercanda saja. Sedangkan Zaid melangkah pergi karena namanya dipanggil oleh petugas administrasi jurusan. "Udah lah, pelit amat minjamin almet doang," ucap Diba cepat. Dia segera menarik tangan Abel untuk pergi menjauh. "Oi baperan lo, jadi pinjem nggak?" teriak Imran. "Kagak, makasih," balas Diba dengan suara kuat. “Itu Abang lo Dibaaa!!!” Abel teriak histeris melihat Renal yang sedang berbicara dengan seorang dosen muda. Diba sedikit lega, dia bisa meminta bantuan kepada Renal. Diba dan Abel menunggu Renal selesai mengobrol, namun karena tidak enak diba menyuruh Abel untuk masuk duluan ke dalam kelas, “Lo masuk duluan aja Bel, jangan karena gue lo malah kena marah nanti.” “Lo yakin?” tanya Abel memastikan. Dia tidak masalah jika dimarahi asalkan berdua, tidak sendiri. Diba menjawab mantap. Akhirnya Abel segera beranjak ke labor yang berada di lantai 2 gedung D. Diba menunduk dengan memainkan kaki untuk melepaskan kesunyian. Beberapa menit kemudian, dia melihat Renal berjalan ke arahnya. “Kenapa dek?” tanya Renal. Diba menceritakan situasi apa yang sudah dia alami, dan tanpa rasa sungkan dia meminta tolong kepada Renal untuk mencarikan almamater karena kebetulan Renal juga tidak membawa almamater. “Bantar ya, Abang pinjam teman dulu.” “Jangan sama Kak Imran, tadi udah minjem tapi dia kayak nggak mau gitu.” Renal mengangguk paham. Dia melihat sosok Zaid yang baru saja keluar gedung jurusan dengan memakai almamater. Diba melihat Renal berbicara sebentar dan mendapatkan almamater tersebut. Dia bersyukur. Seharusnya dari tadi dia menghubungi Renal agar masalah cepat selesai. “Ni!!! Buruan sana masuk labor.” Diba mengangguk senang, dia mengucapkan banyak terima kasih. Setidaknya absennya masih utuh pada mata kuliah pemograman mobile I. Baru beberapa langkah, “Jangan lupa kembaliin Dib.” Diba menyengir dari kejauhan. Dia malu sekali, apalagi yang mempunyai almamater mendengar apa yang diucapkan oleh Renal. Waktu bergulir, setelah mata kuliah selesai Diba langsung saja mencari Renal. Dia tidak berani mengembalikan sendiri. “Astagfirullah, kan gue ada ponsel.” Diba langsung menghubungi Renal dan Renal memberitahu lokasi dia. Diba langsung melangkah ke sana. Meskipun banyak orang, Renal langsung bangkit agar Diba tidak datang keperkumpulan mereka. Diba mengembalikan almamater tersebut kepada Renal. *** Diba sedang asik berjalan menuju perpus, namun harus kandas karena Kamil. "Dib lo belum lapor kalau kelas kita kagak bakal ikut event fakultas ya? " tanya Kamil dengan napas terengah-engah. "Astagfirullah, gue lupa Mil. Nggak sempet mikir begituan dengan tugas segudang gini," keluh Diba. Beberapa hari ini kelas mereka memang memiliki banyak tugas. Bahkan tugasnya tidak tanggung-tanggung. Kamil tertawa pelan, "Sok mikirin tugas, udah bawa santai aja jangan terlalu dipikirin. " Dia tipe orang yang tidak memikirkan tugas terlalu lebay seperti teman-teman yang lain. "Lo enak Mil, belajar otodidak paham. Lah gue butuh seperempat abad buat paham. " "Lo kan pinter soal hitungan, setiap orang ada keunggulan dan kelemahan Dib. Nggak ada manusia yang sempurna. " Diba membenarkan ucapan Kamil. Dia mungkin kurang berusaha untuk memahami. Setiap orang punya cara pemahanan yang berbeda-beda. Ada yang mudah paham saat dosen menjelaskan, ada yang mudah paham saat praktek langsung, ada yang paham ketika belajar dari tuturial youtube, ataupun dari buku. Menjadi seorang mahasiswa bukan perkara mudah. Mereka harus berusaha mencari jati diri untuk terjun pada dunia yang lebih nyata dan mandiri. "Lo aja yang lapor ya Mil, gue rencananya mau ke perpus cari jaringan. " Diba memang berniat untuk menyelesaikan tugas di perpustakaan kampus. Bagi mahasiswa seperti Diba, Perpustakaan di kampus adalah tempat yang paling enak. Wifi oke Tempat oke Ac oke Colokan ok Dan yang terpenting, di sana tidak ada senior yang selalu membuat dirinya kesal. "Maunya gratisan ih, modal dong buk." "Kita kuliah bayar ya, jadi sepatutnya kita memakai fasilitas kampus. Udah ni duit dendanya. Awas aja lo jajanin!!!" Diba memberikan 5 lembar uang berwarna merah. "Kok jadi gue si Dib, lo aja deh. Gue malas kena ceramah mulu." Diba tahu bahwa bukannya mudah untuk melepaskan diri dari kegiatan kampus, pasti ada drama ceramah panjang kali lebar. Dia sangat menghindari hal itu. "Gua kagak mau ya di ceramahin sama Bang Zaid. Dia kalau bicara buat gue merinding apalagi tatapannya. " Sekali lagi Kamil menolak untuk menjadi tumbal kelas. "Cowok kok takut sih, besok aja kalau eventnya udah mulai kita lapor. Kalau pun kena ceramah ya udah tuliin telinga aja susah amat," usul Diba. "Serah lo Dib, dari tadi Bang Imran nyari Lo. Eh bukan Bang Imran aja sih, Presiden kampus juga. Gue rasa mereka suka sama lo Dib." Kamil berbicara begitu frontal. "Lo bisa pelan-pelan nggak ngomongnya. Tu lihat pada liatin kita," kesal Diba. "Maaf deh, Kalau gue lihat lo juga kagak cantik, tinggi juga kagak malahan bocil amat. Jadi kalau mereka suka menurut gue mustahil, atau mereka jadiin lo target bulyan kali." "Nah itu lo tahu Mil, makanya gue suruh lo berurusan sama mereka. Apa Lo kagak kasihan liat gue? " Kamil merasa prihatin. Dia juga tidak mau teman satu kelasnya di bully oleh senior. "Eh tapi nggak akan ada bullyan juga kali, emang kita anak SMA apa?" Diba menggelengkan kepala, dia merasa aneh dengan pola pikir kamil yang terlalu jenius. "Serah Lo dah. Gue mau ke perpus dulu, Abel udah nungguin gue. Dah" Diba berjalan ke arah Perpus meninggalkan Kamil yang seperti orang kebingungan. Sesampainya di perpustakaan, dia disambut oleh Abel yang sudah mengomel-ngomel. Bahkan omelannya mengalahkan ibu-ibu di pasar. Diba mulai membuka leptop, wifi di perpustakaan adalah jaringan yang jarang di hacker oleh oknum yang tidak bertanggung jawab sehingga tempat itu sangat disukai oleh Diba dan teman-teman yang lain. “Ngapain lo La?” tanya Diba heran. Ella tidak mengubrisnya dan seratus persen tidak mendengar Diba berbicara atau bahkan dia tidak tahu Diba telah datang. “Lagi pakai handset dia Dib, sampai berbusa pun lo ngomong dia kagak akan dengar,” ujar Abel. Diba kembali sibuk pada leptop, dia berusaha mencari video tutorial programing di yotube. Dan yang lebih mengejutkannya adalah kebanyakan video tutorial itu berbahasa inggris dengan logat india. “Orang india semua,” kelu Diba memperlihatkan kepada Abel. “Karena mereka pintar semua kali Dib,” balas Abel santai. Diba setuju dengan pernyataan tersebut. Semua bisa pintar jika dia serius mendalami namun jika main-main maka hasilnya akan main-main juga. Mereka bertiga sibuk dengan dunianya masing-masing, seperti Ella yang sibuk dengan menonton anime. Diba yang sibuk dengan mempelajari progreming sedang Abel tengah sibuk menonton video viral dari akun instagramnya. Niat awal yang ingin mengerjakan tugas bersama hanya menjadi bualan semata. Tempat yang nyaman serta jaringan yang kencang menjadi faktor itu semua.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN