Gue Suka Lo

2989 Kata
Diba menatap bingung layar ponselnya karena ada pesan WA dari nomor yang tidak dia kenal.  Photo profilnya juga tidak ada, bionya hanya tertera "No name". Awalnya Diba ingin langsung saja menghapus chatan tersebut, namun karena penasaran dia membalasnya. WhatsApp No name : Assalamu'alaikum. Maaf, Ini Diba anak 2 C? Diba : Wa'alaikumsalam Diba : Iya,  ini siapa dan ada perlu apa? No name : Bisa nanti siap shalat asar untuk tidak pergi dulu, Ada yang mau saya katakan Diba : Lewat sini aja,  ada keperluan apa? No name : Maaf,  nanti siap shalat asar saja No name : Saya pakai baju kemeja coklat celana hitam. Diba : Lo cowok?  Diba : Anak kampus? Atau anak kelas? Diba : Mau ngerjain gue? Kagak ada kerjaan amat No name : Iya saya anak kampus No name : Tunggu saya Diba : Kagak mau gue Diba : Kamil lo? Zaki? Ridho? Siapa sih? No name : Saya mohon Diba menghela napas panjang,  dia tidak memperdulikannya.  Dia hanya menganggap nomor tersebut salah satu teman kelasnya yang iseng. Diba sedang berada di perpustakaan kampus,  dia masih setia mengerjakan tugas mata kuliah Algoritma kompleks. Dari nama mata kuliahnya saja sudah membuat kepala Diba hampir pecah.  Jujur saja logika Diba tidak lah bagus,  dia lebih suka ilmu nyata dan pasti dari pada ilmu memainkan logikanya. Dosen yang memberikan tugas cukup membuat mereka mengerjakannya dengan serius. Siapa lagi kalau Bapak Edgar terhormat.  Dosen lulusan Universitas internasional Taiwan yang tidak pernah main-main dalam hal tugas. Selalu membuat mahasiswanya kewalahan dan mengumpat.  Bayangkan saja Bapak Edgar selalu membandingkan kehidupan perkuliahannya dulu dengan kehidupan perkulihan sekarang. Ya jelas saja jauh berbeda. "Eh ya setelah start pasti deklarasi ya,  nggak bisa langsung input aja? " tanya Abel memperlihatkan gambar yang sudah di rancangnya. Sebuah flowchart sistem penggajian karyawan. Flowchart sangat di perlukan sebelum membuat program sistem, karena dari sanalah seorang progremer mengerti sistem atau aplikasi apa yang akan di buat. "Kagak bisa lah Abel,  lo nginputin nama orang ya pasti lo deklarasiin dulu dong variabel nya," jawab Kamil. "Hemm ribet amat ya buat ini doang,  mending buat start langsung stop.  Beres,  gue masih ingat pas semester satu makul logika algoritma cuma buat startnya doang di kasih nilai 10 hahaha.  Baek benar Bapaknya." Abel tertawa mengingat kejadian semester satu dulu saat UTS (Ujian Tengah Semester). "Lo ma untung Bel,  gue makul logika algoritma dapat C tau kagak?  Ngulang lagi gue semester depan." Zaki meringis dengan nasibnya yang tidak baik "Bukan E pun,  nggak usah ngulang lah.  Rajin amat lo pendalaman materi," celetuk Ridho "Lo kagak mikir apa do,  SKS nya 3 cuy." Ya mendapat nilai C pada mata kuliah dengan SKS 3 adalah sebuah mimpi buruk. "Oh iya,  kalau if garis kemana ya?" Diba memperlihatkan rancangan flowchartnya yang hampir jadi. "Wah Diba tumben otaknya berguna,  biasanya ngeluh terus," sindir Abel. "Semalam gue minum s**u kotak, makanya otak gue berjalan sebagaimana mestinya." Walaupun dengan intonasi dan wajah serius,  teman-temannya tahu bahwa Diba bercanda. "Haha garing amat candaan lo Dib." Zaki tertawa terpingkal-pingkal.  Belum berhenti tertawa, penjaga perpustakaan sudah menegur duluan. "Lo kira ini kampus punya Ayah lo," sinis Abel kepada Zaki karena malu di tegur oleh penjaga sampai penghuni perpustakaan memandang ke arah mereka semua. "Oke oke maaf,  santai mata Bel, " balas Zaki menahan tawanya. Kamil dan Diba berusaha memecahkan kebingungan yang mereka temukan.  Mereka juga membuka mbah google untuk mencari referensi. "Oh ya,  kalian ada chat gue nggak tadi pagi?" tanya Diba tiba-tiba. Semua teman Diba mengatakan tidak. "Kenapa Dib?" tanya Ela. "Ada nomor baru yang masuk,  kirain nomor kalian, "balas Diba seadanya. Setelah selesai mengerjakannya,  Diba dan Kamil membantu yang lain agar paham.  Bapak Ergar selalu bertanya tentang tugas yang mereka buat,  jika saja tidak mengerti maka tamatlah riwayat mereka. "Perpus mau tutup, ayo balik," ajak Ridho karena jam sudah menunjukan pukul 15:45. Mereka membereskan barang-barang serta mematikan leptop yang menyala. "Ayo Dib bareng gue aja,  mau ngantar Abel sama Ella sekalian juga," ajak Kamil. Dia memang sering membawa mobil. "Duluan aja,  gue mau shalat di mushola dulu," tolak Abel. "Oh ya udah.  Kami balik ya.  Assalamu'alaikum." "Iya hati-hati,  Wa'alaikumsalam." Suasana kampus lumayan sepi karena mata kuliah hampir sudah selesai.  Hanya beberapa orang saja yang berlalu lalang. Diba melepaskan sepatunya dan menyisahkan kaus kaki yang masih menempel, kemudian beranjak  untuk mengambil wudhu. Ada beberapa orang yang mengambil wudhu dan Diba hanya tersenyum jika mata mereka bertemu. Setelah shalat asar,  perlahan lahan orang keluar untuk meninggalkan mushola. Diba ragu apakah dia pergi atau menunggu. Jujur saja dia takut,  akan tetapi dia juga penasaran siapa yang berani mengerjakannya. Jika saja teman satu kelasnya maka Diba tidak akan segan-segan melemparnya dengan sepatu. Hampir tidak ada lagi orang di mushola.  Diba memutuskan untuk keluar.  Dia duduk di tangga teras untuk memasang sepatu. "Assalamu'alaikum," salam seseorang. Diba menoleh tetapi tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Diba tidak tahu dia mengucap salam kepada siapa sehingga Diba hanya manjawab dengan nada pelan. "Diba kan?" Diba terkejut dengan sosok yang tiba-tiba ada tepat di depannya. "I-iya," jawab Diba terbata-bata.  Dia masih sibuk mengikat tali sepatu. Hening, hanya ada suara daun bergesekan karena angin. Diba selesai memasang tali sepatunya dan dia berdiri. "Astagfirullah," kaget Diba melihat sosok laki-laki di depannya.  Dia mengambil kacamata yang ada di saku almamaternya untuk memastikan bahwa apa yang dia lihat adalah nyata. "Jangan takut,  gue nggak ada maksud jahat." Diba menarik napas dalam untuk mengontrol dirinya sendiri. "Iya,  Ada perlu apa?" tanya Diba mencoba untuk tenang. "Gue nggak mau berbelit-belit.  Tolong dengarin baik-baik apa yang gue bilang." Diba mengangguk paham.  "Gue suka sama lo." Mendadak kepala Diba blank. "Wahh telinga gue kayaknya bermasalah, " lirih Adiba sambil berbalik arah.  Dia yang awalnya takut menjadi tidak takut lagi. Dia malah kesal. Apa-apaan ini? Pikirnya. "Adiba Habibatul Mustofa,  Gue suka Lo." Adiba berbalik dan berkata, "Lo gila, gue nggak mau pacaran." "Gue tahu,  makanya gue mau ajak lo nikah." Diba tertawa hambar untuk menghilangkan rasa kegugupannya.  Siapa yang tidak kaget mendapat pengakuan suka dan ajakan nikah secara langsung. Dan yang paling mengerikan,  Diba tidak begitu mengenal laki-laki itu. "Lo-lo udah nggak waras." Diba segera berlari sejauh mungkin. Jujur saja kakinya gemetaran sedari tadi. Dia tergesa-gesa untuk bisa sampai pada kosan. Dia sangat takut apabila laki-laki itu mandadak gila dan melampiaskan kepada dirinya. “Diba kenapa ngos-ngosan gitu?” tanya Caca yang tengah asik menonton. Diba menjawab dengan nada santai, “Hehe enggak apa-apa kok, mau mandi dulu ya.” Caca mengangguk. Diba membersihkan dirinya, barang kali pikirannya bisa lebih rileks lagi. Seperti biasa, Renal setiap malam rabu datang ke kosan Caca untuk mengajak sang adik makan di luar. “Diba ikut?” tawar Caca. Diba ingin sekali ikut, mumpung gratis, namun dia urungkan karena pikirannya sedang masa tidak baik. “Enggak usah Ca,” tolak Diba. Apalagi sekarang dia malas bertemu dengan Renal. Caca keluar dari pintu rumah kosannya, dia hanya sendirian. Tidak ada Diba sama sekali dan tentu saja Renal mempertanyakan itu. “Kemana Diba? Sakit atau banyak tugas?” Caca tersenyum, dia tahu sang Abang selalu mencari Diba. “Katanya malas Bang,” jawab Caca. “Haha kayaknya dia lagi syok tu,” tebak Renal. Caca mengangguk membernarkan pernyataan sang Abang. Mereka memutuskan untuk segera berangkat mencari makan. Mata Diba tidak bisa terpenjam,  jam sudah menunjukan pukul 1 dini hari. Irama jantungnya masih tidak stabil. Caca juga tidak berada di kamar kos karena menginap di rumah sang tante. Bayangan-bayangan setiap kejadian yang terjadi setelah shalat asar tadi berputar-putar pada memori otaknya. Diba berulang-ulang mencari posisi yang nyaman untuk tidur tetapi dia tidak mendapatkannya. "Akhhhhh,  gue kenapa sih?" teriak Diba sambil memutar mutar kepalanya ke kanan dan ke kiri. Seakan tidak mau berlarut dalam kegelisaan yang tidak penting,  Diba memutuskan untuk melakukan ibadah shalah sunnah qiyamul lail.  Dia segera mengambil wudhu untuk memulai shalat.  Shalat qiyamul lail adalah shalat sunnah di malam hari tanpa tidur terlebih dahulu, berbeda dengan shalat tahajud karena dilakukan setelah tidur terlebih dahulu. Jujur saja Diba jarang melaksanakan shalat malam,  dia tidak biasa tidur cepat pada malam hari sehingga tidak bisa bangun pada waktu dini harinya. Setelah selesai, Diba memutuskan membaca Al-qur'an satu halaman saja. Jam sudah menunjukan pukul 01:35. Diba memutuskan untuk tidur agar tidak kesiangan bangun pada subuh hari.  Dia berharap esok hari akan melupakan setiap kejadian hari ini yang penuh dramatis dan tanda tanya. *** Berulang-ulang kali Diba menguap.  Jika saja bukan karena mata kuliah Pak Edgar maka percayalah Diba tidak akan datang. Dia berjalan ke arah kampus,  ada perasaan was-was dalam dirinya.  Dia bukannya kepedean atau apa,  hanya saja dia tidak mau ada drama baru dalam hidupnya.  Dia ingin kuliah dengan baik kemudian lulus dan pulang ke kampung. Keinginannya simple sekali,  namun bisa saja semuanya menjadi rumit jika Diba membiarkan orang lain masuk ke dalam hidupnya. Sejauh Diba masuk ke kampus,  masih aman-aman saja. Tidak ada ancaman yang dapat membuat jantungnya mendadak menggila Kebiasaan Diba adalah memainkan ponsel saat sedang berjalan untuk menemani kebosanan dan juga agar dia tidak perlu sok ramah dengan memanggil atau tersenyum kepada orang yang dia temuin di jalan. Dia lebih baik tidak dikenal siapapun sehingga tidak perlu menyapa atau bahkan tersenyum. "Assalamu'alaikum." Diba tidak asing dengan suara yang baru saja dia dengar. Dia langsung mengalihkan pandangan ke arah orang tersebut. Matanya langsung membulat. "Wa-wa'alaikumsalam," balas Diba terbata-bata. Dia kembali menunduk tidak berani melihat sosok yang ada di depannya. "Maaf kalau apa yang gue lakuin kemaren buat Lo nggak nyaman, tapi gue serius." Diba ingin sekali melempar apapun. Bisakan laki-laki di depannya ini menunggu Diba tenang terlebih dahulu baru menyerang kembali. Tetapi sekarang dia menyerang nya berkali-kali sampai Diba tidak tahu apa yang harus dilakukan. "Maaf,  gue ada kelas Kak," balas Diba mencoba menenangkan dirinya. "Gue tunggu jawaban lo,  gue nggak ada niat becanda atau main-main." Masih terdengar dengan jelas oleh Diba apa yang di ucapkan laki-laki aneh di depannya itu,  dia segera berlalu pergi karena mata kuliah sebentar lagi akan dimulai. "Astagfirullah,  Gue mau pulang kampung.  Lama-lama gue mati konyol karena ketakutan ni," lirih Diba pelan. Sebelum masuk ke kelas,  Diba mengatur napasnya agar bisa tenang. Dia tidak mau di tanya-tanya atau di selidiki yang tidak jelas oleh penghuni kelas. Dia ingin harinya tenang, namun kenapa malah sebaliknya. Atau mungkin dia adalah target prank yang sedang viral? Memikirkan itu mendadak dadanya bergemuruh hebat dan kepala pusing. Diba harus berhati-hati agar tidak terjebak pada hal yang berbau leluconan, dia tidak suka karena soal perasaan bukan mainan yang seenaknya di lakukan. Diba melihat hampir semua penghuni kelas sudah datang,  dia mendudukan diri pada kursi yang masih kosong.  Dalam dunia perkuliahan yang terlambat datang akan mendapat kursi yang ada di depan.  Kebalikan saat masa sekolah memang. Dia yang sering berebut duduk di depan saat masa sekolah malah enggan duduk di depan saat perkuliahan berlangsung. Ya mungkin faktor lingkungan. "Dib Pak Edgar masuk nggak? " tanya Ella sambil mengulang-ngulang tugas yang di berikan Pak Edgar. "Masuk kayaknya,  nggak ada chat gue soalnya," balas Diba. Biasanya dosen yang berhalangan untuk hadir akan memberitahu ketua kelas 10 menit sebelum mata kuliah di mulai. "Oh ya,  Semester ini lo pulang kampung kagak Dib? " Abel menghampiri dan duduk di samping Diba. Memang mereka sudah hampir memasuki ujian akhir semester. Hanya beberapa minggu lagi mereka akan menyelesaikan semester 2 dan masuk pada semester 3. Semuanya memang tidak terpikirkan, waktu terus berjalan dan sejauh ini masih bisa mereka lewati. Walau setiap semester ada saja penghuni yang menghilang. "Ya pulang lah, kenapa?" tanya Diba balik. "Lah nggak seru lo," protes Abel. Diba tidak terlalu menghiraukannya. Begitu banyak kejadian yang tidak terduga terjadi akhir-akhir ini. Pulang kampung adalah pilihan terbaik untuk sekedar menghilangkan hiruk pikuk dunia perkuliahan. Apalagi suasana perkampungan yang asri dan masih sangat ramah membuat dirinya merasakan rindu yang teramat besar. Pak Edgar masuk dengan wajah datar.  Dia memang jarang tersenyum dan terkenal akan kegarangannya. Setelah membuka sesi perkulihan,  Pak Edgar menyuruh satu satu mahasiswa untuk melakukan absen secara online menggunakan KTM (Kartu Tanda Mahasiswa)  masing-masing. Pengabsenan seperti ini adalah cara agar mahasiswa tidak bisa lagi menitip absen. Teknologi location juga di jadikan pihak kampus untuk mendukung pencatatan kehadiran siswa. Cara kerja nya adalah smartphone semua mahasiswa terkoneksi dengan pihak kampus,  sehingga ketika mahasiswa memasuki zona kampus maka akan terdata oleh kampus. Sistem ini di nilai ampuh untuk mengurangi kecurangan mahasiswa yang banyak tingkah lakunya. "Tugas tolong dikumpulkan," intruksi pak Edgar. Satu-satu mahasiswa meletakkan lembaran tugas di meja dosen.  Setiap mahasiswa meletakkan tugasnya pada bagian bawah sehingga membuat Pak Edgar geleng-geleng kepala. "Oke,  jumlah semua yang hadir 43 orang. Lembaran yang ada di meja saya hanya 39, Bisa di jelaskan?" Aura kelas mendadak suram.  Tidak ada yang berani berbicara sedikitpun. Semuanya mendadak bisu. "Saya ingin kejujurannya,  siapa yang tidak mengerjakan?" Ada suara bisik-bisik satu sama lain yang bertanya siapa yang tidak mengerjakan. Bahkan ada yang menuduh satu sama lain. "Saya tidak menyuruh ananda semua bisik-bisik, mengaku atau saya yang keluar." Diba memohon dalam hatinya,  siapapun orang yang tidak mengerjakan maka mengakulah sebelum Pak Edgar benar-benar keluar. Jika tidak tamatnya riwayat mereka semua. "Wah Ananda kira saya main-main,  Oke saya hitung sampai 3 kalau tidak jangan harap saya akan masuk ke kelas ini lagi. Satu.. Dua.. Ti-" "Saya Pak," ucap 4 orang mahasiswa di barisan belakang secara serentak. Diba melihat sosok 4 mahasiswa yang memang cukup asing untuknya. "Wah mahasiswa pendalaman materi ya," sindir Pak Edgar. Keempat senior yang menjadi sebab kemarahan Pak Edgar hanya menunduk. "Sudah berapa kali masuk kelas dengan saya?" Jawabannya bervariasi,  ada yang mengatakan 2 kali,  1 kali bahkan 3 kali.  Tidak heran sebanyak itu,  karena memang Pak Edgar banyak mengampuh mata kuliah. "Sudah mengerti saya seperti apa kan?  Mau mengulang lagi kalian?" Sontak ke empat senior menggeleng keras. "Kalau tidak, kenapa tugas yang saya berikan kalian sepelekan begini,  apa kalian tidak belajar dari pengalaman? " "Maafkan kesalahan kami Pak," Pak Edgar masih memberikan ceramah-ceramah tiada ampun.  Seperti biasa dosen manapun akan menceritakan bagaimana kehidupan mahasiswa yang semester awalnya main-main.  Mereka cenderung kewalahan pada semester akhir.  Di saat mahasiswa lain sibuk dengan tugas akhir,  maka mahasiswa yang main-main akan sibuk mengulang mata kuliah. "Baiklah,  Saya melihat beberapa tugas ada yang sama.  Saya sebenarnya tidak masalah,  hanya saja saya paling anti orang yang membuat tugas tetapi tidak paham apa yang dibuatnya.  Paham Ananda semua?" "Paham pak," hanya beberapa orang yang menjawab. "Saya butuh 3 orang untuk ke depan,  Zaki,  Ela dan Ridho.  Silakan ke depan untuk menuliskan jawaban tugas kalian." Selain Zaki,  Ela dan Ridho semuanya menghela napas panjang tanda syukur karena bukan mereka yang di suruh. Papan tulis yang ada di depan kelas ada 2 buah sehingga ke tiga mahasiswa itu dapat menuliskan jawaban tugasnya. "Diba tolong isikan spidol ini," suruh Pak Edgar sambil memberikan 3 buah spidol. Inilah salah satu tugas ketua kelas,  jadi pesuruh wkwkwk. Diba mengambil spidol dengan sopan kemudian pergi ke ruang adminitrasi untuk meminta tinta. Banyak sekali Diba melihat mahasiswa membawa Map berwarna kuning,  Diba tahu bahwa itu merupakan berkas syarat tugas akhir yang selalu di bawa apabila bimbingan. "Ini pak," Diba meletakkan spidol di meja. Ternyata Zaki sedang menjelaskan tugas yang dibuatnya. "Terima kasih," balas Pak Edgar. "Ela kenapa gaji karyawan menggunakan Long?  Kenapa tidak int atau float?" tanya Pak Edgar kepada Ela, sedangkan Zaki sudah bisa mendudukan diri dengan tenang setelah menjawab pertanyaan-pertanyaan dengan benar. "Karena berdasarkan analisis saya pada gaji karyawan yang bapak berikan,  tidak ada angka pecahan sehingga tidak bisa menggunakan float. Untuk Int juga tidak cocok digunakan karena gaji karyawan bisa digitnya lebih dari pada 6 buah." Jawab Ela mantap. "Bagus,  Silakan duduk Ela." "Next Ridho,  jelaskan logika nya?" "Baik Pak,  disini saya memakai logika if karena perusahaan memberikan tunjangan yang berbeda-beda tergantung dengan kebijakannya.  Seperti di sini If ada karyawan yang mempunyai anak lebih sama dengan 2 maka tunjangannya 10% dari gaji pokok, dan if anaknya 1 maka tunjangannya 5 %. Dan 0% apabila kaidah if tidak terpenuhi." jelas Ridho sambil menunjuk-nunjuk apa yang dijelakskannya. "Bagus,  Silakan duduk Ridho." Mata kuliah berlanjut dengan materi baru. Suasana kelas kembali hening kembali karena semua sibuk memahami materi. Mengerti atau tidak mengerti,  mereka hanya memperhatikannya. Hal itu lebih baik dari pada menjadi terget kekesalan Pak Edgar yang menangkap basah mereka yang tidak memperhatikan. Setelah kelas bubar, Diba ingin segera pulang ke kosan. Dia yang biasa nongkrong malah mengurungkan niat tersebut karena takut kejadian yang tidak diinginkan terjadi. Perasaannya masih sangat kacau, bahkan beberapa kali Diba melihat sosok yang ingin sekali dia hindari. Dia mengklaim bahwa dia tidak berada dalam kondisi aman. “Nongkrong dulu lah,” ujar Zaki. Mereka masih berada di dalam kelas. Diba bersikeras menolak ajakan itu. “Kenapa sih Dib? Lo ko aneh dari tadi,” ucap Abel penasaran. “Emang gue kenapa si? Biasa aja.” Diba memasukan catatan ke dalam tas, dia ingin segera pulang. Namun temannya tetap kekeh jika mereka ingin nongkrong terlebih dahulu. Diba menyerah, dia akhirnya mau untuk sekedar mengisi perut di kantin.  Waktu sudah menunjukan waktu makan siang, Diba menyuruh teman-temannya untuk ke kantin terlebih dahulu dan dia membelokkan langkah kea rah mushola. Suasana mushola tidaklah seramai dengan penghuni kampus. Malah mushola terlihat sanga sepi. Biasanya paling banyak hanya 2 shaf saja. Azan zuhur berkumandang dengan merdu. Diba langsung saja mengambil wudhu. Suasana hatit yang awalnya gelisah, ketika dia berwudhu maka sedikit demi sedikit hilang. Shalat Zuhur di adakan secara berjamaah. Setelah selesai, Diba langsung menyusul sang teman untuk mengisi perut di kantin. “Dib! Ketua panitia event mau ketemu sama lo,” ujar Kamil yang baru datang. Diba bingung sendiri dan bertanya ada masalah apa. Kamil hanya menjelaskan secara umum saja bahwa kelas yang tidak mengikuti event untuk bisa berkumpul di ruang sekretariat BEM fakultas. “Harus banget ya?” tanya Diba memastikan. Kamil mengangguk cepat. Diba ingin sekali tidak datang, namun jika nanti mereka terlibat masalah lagi bisa tidak nyaman hidup satu kelasnya. Dia harus menurunkan ego dan siap untuk menjadi temeng buat teman-teman yang lain. Abel, Ella, Zaki bahkan Ridho memberikan semangat dan kata-kata yang membuat Diba sedikit tersenyum. “Gue ke sana dulu ya, jangan pulang dulu.” Abel dan yang lain mengangguk mengerti. Diba berjalan bersama Kamil ke gedung sekretariat. Dia melihat ada beberapa orang yang juga bernasib sama dengannya. “Jurusan apa?” “Teknik Informatika, lo apa?” “Teknik elektro.” Mereka berdua mengobrol-ngobrol biasa untuk menghilangkan rasa jenuh. Dan kebetulan sekali yang menjadi teman Diba mengobrol adalah seorang wanita. Diba salut saja, dia hanya satu-satunya wanita di dalam kelas sehingga dia juga yang menjadi ketua. “Lo keren!” ujar Diba kagum. Beberapa menit kemudian, pertemuan itu di mulai. Memang tidak ada drama yang terjadi, hanya beberapa masukan yang diberikan ketua panitia event. Dia mendengarnya dengan baik, setidaknya dia memperhatikan orang yang berbicara sekalipun dia tidak berminat sedikitpun.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN