Syok Berat

2960 Kata
Kehidupan Diba kembali seperti biasanya. Tidak ada lagi yang mengganggu pikirannya kecuali tugas kuliah. Tidak ada laki sosok laki-laki aneh bin ajaib yang mendatanginya. Semuanya kembali normal. Ujian akhir semester juga sudah Diba lewatkan. Dia tidak tahu hasil yang di dapat seperi apa. Dia hanya berdoa bahwa tidak ada hasil C yang akan keluar pada lembaran KHS (Kartu Hasil Semeter) nya. Dia juga sudah mantap untuk pulang kampung hari ini, sedangkan Caca sudah beberapa hari yang lalu pulang kampung bersama sang Abang. Diba sedang membereskan segala keperluan yang ingin dibawa. Tidak semua baju yang dia bawa, hanya beberapa karena takut kerepotan apabila membawa terlalu banyak. Diba juga sudah membeli oleh-oleh khas kota tersebut untuk keluarganya yang berada di kampung. Diba memiliki 3 orang saudara kandung. 2 kakak nya sudah menikah dan sudah memiliki anak, sedangkan 1 abangnya masih sendiri dan sibuk bekerja di sebuah bengkel yang cukup terkenal di sana. Diba melihat ponselnya bordering, ternyata kakak pertamanya yang melakukan panggilan. Dia lantas mengangkat panggilan tersebut. “Assalamu’alaikum, lame angkat.” “Wa’alaikumsalam, sabolah. Diba tengah beres-beres barang.” “Pesanan akak da dibeli kan?” “Iye, udah di beli.” “Nak jam berape brangkat tu?” “kejap lagi, nunggu kawan datang. Dia nak ngantar sampai pelabuhan.” “Hati-hati di jalan, jangan lupo kabari ye.” “Iyee kak, Tak ke rumah Ayah Mak ke?” “Dah pulang barusan, Mak dah masak banyak tau.” “Hehe, Diba yang minta tadi. Rindu tau!!” “Iye tau, dah ye. Anak akak dah rewel sangat ni.” “Iyee, Assalamu’alaikum.” “Wa’alaikumsalam.” Diba tengah bersiap-siap untuk pulang kampung. Libur semester genap selama 1 bulan lebih adalah hal yang selalu ditunggu. Dia sudah sangat merindukan kampung halaman. Berkumpul bersama keluarga untuk sekedar menghilangkan segala hiruk pikuk kehidupan kota. Jarak yang di tempuh Diba ke kampung halaman bisa seharian. Dia harus menaiki 3 buah kapal untuk bisa sampai ke tempat tinggalnya. Memang kota tempat dia kuliah dengan kampung halamannya berbeda pula sehingga jalur laut sering sekali dia lalui. "Ayo Dib," ajak Abel. Dia juga membantu Diba menarik barang bawaan yang lumayan banyak. Sudah menjadi hal yang biasa jika pulang ke kampung halaman harus membawa banyak barang-barang sebagai oleh-oleh. Diba membawa pesanan dari kakak-kakaknya. Dia juga tidak lupa membeli pakaian untuk keponakan. Harga pakaian di kota tentu lebih murah dari pada kampung halamannya sehingga Diba sering berbelanja sebelum pulang ke rumah. "Banyak amat barang Lo Dib," keluh Kamil sambil memperhatikan bawaan Diba. "Biasalah, orang rumah banyak pesan," jawab Diba seadanya. "Dib jangan lupa bawain banyak ikan ya, kan lo anak pulau," goda Ella. "Belum nyampek sini, ikannya udah pada busuk kali. Kapan-kapan datang aja ke rumah gue sekalian liburan, " usul Diba. Mereka mengantarkan Diba di pelabuhan kapal. Begitu banyak mahasiswa yang juga mudik untuk pulang. Setelah berpamitan dengan teman-temannya Diba langsung masuk ke dalam kapal. Bertemu dengan keluarga adalah hal yang dia tunggu-tunggu. Hidup jauh dari orang tua tidaklah enak seperti pandangan orang lain. Banyak pembelajaran yang bisa Diba terima di kala hidup mandiri. Semua harus dilakukannya sendiri. Lelah perjalanan membuat Diba berulang kali menguap. Dia sudah sampai ke pelabuhan pada pelayaran terakhir. Diba melihat-lihat siapa yang akan menjemputnya. "Ayah," teriak Diba nyaring untuk memberitahu di mana posisi dirinya. Ali (Ayah Diba) langsung datang untuk membantu sang anak membawa barang-barang. Dia meminjam kendaraan roda empat milik saudara untuk menjemput sang anak. Tidak lupa Diba memeluk serta mencium pipi Ayahnya. Hal itu sudah menjadi kebiasaannya. Mereka sampai di rumah pada saat azan maghrib. Suasana rumah Diba memang sudah tidak seperti biasanya. Kakak pertama dan keduanya sudah menikah sehingga mereka tidak tinggal di rumah lagi. Diba di sambut oleh Asma (Ibu Diba) yang sudah menggunakan mukenah. Hanya berbicara beberapa kata, sang Ayah dan Ibu langsung ke mesjid yang berada tidak jauh dari rumah mereka. "Pulang ke?" tanya Azil (Abang kandung Diba) yang baru pulang bekerja. "Iye  Bang, libur kuliah," balas Diba. Jarak umur mereka tidak jauh hanya 2 tahun saja. Meskipun anak laki-laki satu-satunya, Azil tidak melanjutkan sekolah di perguruan tinggi karena sudah terlalu bosan belajar. Menjadi lulusan sekolah menengah kejuruan membuat Azil sudah mempunyai skill dibidang otomotif. "Di jemput Ayah?" Diba mengangguk. Setelah berbincang sebentar, Azil langsung membersihkan diri dan menunaikan kewajiban shalat maghrib. Beruntung Diba sedang tidak shalat sehingga dia langsung saja beristirahat di tempat tidur. Kamar sederhana tetapi mampu membuatnya nyaman. Perlahan mata Diba hampir tertutup, namun suara Azil menghentikannya. "Dek mandi dulu kejap sane, perjalanan jauh tak baik langsung tidu." Diba menghela napas panjang, dia bangkit untuk membersihkan diri. Dulu mereka sering sekali bertengkar karena masalah sepele, namun dengan bertambahnya umur mereka mulai belajar menjadi sosok yang saling menerima pendapat dan memaklumi kesalahan yang kadang tanpa sengaja dilakukan. Ayah dan Ibu belum pulang dari mesjid, biasanya mereka akan pulang setelah shalat isya. Diba sudah berada di alam mimpi. Rasa lelah membuatnya tidak bisa menahan kantuk. Semuanya masih sama, Ayah dan Ibu masih memperlakukan Diba seperti anak kecil. Begitulah orang tua, sehebat apapun anaknya dia tidak akan memandang itu semua. Hari-hari yang Diba lalui di kampung sangat bervariasi dari belajar masak, membantu ayah menanam sayuran di kebun sampai dengan rebahan. Ponsel yang biasanya selalu ada ditangan, sekarang tidak lagi. Diba akan memegang ponselnya itu apabila akan menjelang tidur saja. Setiap malah Diba heboh bercerita tentang dunia perkuliahannya dengan sang Ayah ataupun ibu. Dia selalu semangat menceritakannya.   “Abel itu asli mane?” tanya Ayah. “Kurang tahu juge Yah,” jawab Diba. Dia memang tidak tahu Abel itu orang asli mana. Setelah selesai berbincang-bincang, barulah Diba masuk ke kamar. Dia melihat ponselnya yang sering bergetar. Grup w******p “Salah Jurusan” Kamil : Helloo every body!!!! Kalau libur aja sepi Kamil : Lah gue di cuekin hihihi sedih Zaki : Ku menangis Abel : Membayang Ella : Betapa Kamil : liburan kemana oiii? Kamil : Oii Kamil : Cuekin aja terus Kamil : capek gua Diba tertawa membaca pesan pada grup kelasnya. Bukan hal aneh jika hari libur ada yang merasa kesepian sehingga mencari hiburan pada grup kelas, namun terkadang grup tersebut tidak ada akhlak sehingga hanya menghasilkan sebuah kekesalan. Sebelum tidur, Diba memang sudah terbiasa untuk menggosok gigi serta mencuci muka, dia juga tidak lupa mengambil air wudhu. Kebiasaan ini sudah sangat dia syukuri karena orang tua yang mengajari dari mereka kecil. Kesalahan seorang sebelum tidur adalah mereka berselancar di dalam dunia maya sehingga mata baru bisa terpejam sudah saat larut malam. Kebiasaan Diba selama di kosan juga kadang terbawa di rumah, dan tidak jarang sang Ayah memarahi dan menasehatinya. Salah satu kebiasaannya adalah tidur setelah shalat subuh. Hal itu sangat tidak disukai sang Ayah tetapi sang Ibu tidak pernah mengomentari kebiasaan sang anak yang buruk tersebut. *** “Anak gadis kok pagi belum bangun,” omel sang Ayah. “Shalat tak?” tanya Ayah lagi. Diba mengucek matanya yang terasa berat karena mendengar suara yang berasal dari luar kamarnya, dia membuka ponsel dan ternyata sudah jam 08.00 pagi. “Shalat lah Yah,” balas Diba dengan wajah bantalnya. Dia belum mencuci muka sama sekali. “Astagfirullah, anak gadis bau bangun!” Ayah mengeleng-gelengkan kepalanya melihat kebiasaan Diba. Diba membalas dengan cengiran. Ayah memang tidak memarahi Diba tetapi lebih kea rah seperti gemas kepada Diba. Didikan orang tua memang sangat berpengaruh pada pola pikir, kepribadian dan tingkah laku sang anak. Maka sepatutnya orang tua dalam mendidik anak dengan lemah lembut, kasih dan sayang serta penuh ketegasan. Ayah dan Ibu Diba tidak pernah memukul anaknya sekalipun, tidak pernah mengucapkan kata yang tidak baik meski kenakalan Diba beserta kakak dan abangnya melampaui batas. Diba ingat bagaimana saat dia dan abang sama-sama masih duduk di bangku sekolah dasar, sang Abang meninggalkan Diba sendirian di jalan Raya. Diba yang saat itu masih duduk dibangku kelas 1 sekolah dasar yang belum tahu arah jalan pulang terpaksa menangis segugutan di tengah jalan. Karena insiden itu, sang Abang menjadi pelaku atas trauma masa kecil Diba. Sang Abang di tindak tegas dengan memberikan nya sebuah tempat untuk merenungi diri selama beberapa jam. “Kawankan Mak pigi pasar,” ujar sang Ayah sambil menikmati secangkir kopi. Saat hari Rabu ayah memilih untuk beristirahat di rumah dari pada pergi ke kebun. “Iye yah,” jawab Diba. Dia segera mencuci wajah dan mengganti pakain yang lebih menutupi auratnya. “Tak mandi ke?” tanya Ibu heran karena sang anak cepat sekali berganti pakaian. “Tak,” jawab Diba sambil menyengir. Diba langsung menaiki motor untuk mengantar sang Ibu ke pasar. Dia melihat jalanan yang mulai ramai dengan aktivitas penduduk setempat. Sudah menjadi rutinitas Diba di kampung untuk menemani sang Ibu berbelanja di pasar. Suasana pasar sangat ramai membuat dirinya berdesakkan ke sana dan ke sini. Berbeda dengan kota tempat perkulihannya. Diba mengekori sang Ibu dari belakang, sesekali juga melihat dagangan yang di jual. Setelah membeli segala kebutuhan satu minggu, Diba dan Ibu pulang ke rumah. Motor matic menjadi kemudahan tersendiri membawa barang belanjaan.  Diba melajukan motornya dengan kecepatan normal.  Dia tidak mungkin membawa sang Ibu dengan kecepatan yang lumayan cepat, bisa-bisa dia kenal omel atau bahkan kultum yang panjangnya luar biasa. Setelah sampai di halaman rumah, Diba mematikan motornya dan dia merasa aneh ketika melihat sepatu yang ada di teras rumah. Dia mengira bahwa tuan besar sedang kedatangan tamu. "Mak lewat samping je, macemnye Ayah ade tamu," ucap Diba setelah memakirkan motor di depan rumah. "Iye Nampak e, lebih tu  bawa masuk ye dek." Diba membawa barang belanjaan yang di tinggalkan oleh Ibu kemudian masuk ke dalam rumah. Setelah membereskan berbagai macam belanjaan, Diba segera masuk ke dalam kamar. Dia mendengar suara Ayah menyuruh Ibu untuk membuatkan minuman. "Biar Adek aja Mak." Diba berinisiatif untuk membuatkan minum. "Sekalian antar ya nak, Mak nak ngasih titipan bude Armi dulu." Diba mengangguk, dia membuat minuman teh dengan takar gula satu setengah sendok. Kemudian melangkah ke depan untuk mengantarkan 2 gelas minuman tersebut. "Astagfirullah, akhh...." Diba terbirit-b***t lari ke dalam kamar. Bahkan nampan yang dia pegang hampir terlempar. Jantung Diba bergerak cepat, dia buru-buru mengkunci pintu kamar. "Mata gue salah, kagak mungkin. Ya gue berhalusinasi," ucap Diba sambil menenangkan dirinya. Apa yang baru saja dilihatnya hanya sebuah halusinasi karena kebanyakan bergadang. Dia memegang dadanya yang sudah bergemuruh hebat di dalam sana. Diba menutupi wajah nya dengan bantal agar segala halusinasinya dapat menghilang. Dia tidak tahu apa yang terjadi pada otak dan pikirannya. Padahal beberapa hari ke belakang dia merasa hidupnya kembali normal namun kenapa hari ini mendadak bom menghantam dirinya. "Diba lo tenang, itu Cuma halusinasi lo aja. Nggak mungkin nyata," monolog Diba berulang-ulang kali agar dirinya bisa tenang.   "Nak buka pintunye, tak sopan lari macam tu." Ayah mengetuk pintu kamar Diba. Tidak ada sautan membuat Ayah kembali duduk di ruang tamu. Memang Diba terlihat sangat-sangat tidak sopan. Dia tidak bisa berpikir dengan jernih untuk saat ini. Dia masih berpikir bahwa dia masih berada di dalam mimpi, ataupun dunia khayalnya. "Maaf ya nak, Dia memang agak aneh anaknya." Ayah merasa bersalah kepada tamu yang sedang duduk dengan keringat dingin. "I-iya pak nggak apa-apa, saya ada perlu sama Bapak bukan sama Diba kok." "Wah ade perlu ape? Sepertinya kamu bukan dari kampung sini," ucap Ayah bingung. "Sa-saya-" "Temannya Azil ya?" tanya Ibu yang langsung memotong ucapan tamu tersebut. "Bu-bukan Bu." "Perasaan rumah kita nggak panas ya Yah, kok Mas ini keringatan," monolog Ibu bingung. Ibu kemudian mengambil kipas angin agar hawa panas yang dirasakan sang tamu bisa sedikit berkurang. "Ada keperluan apa sama Bapak? Sepertinya Diba mengenal Kamu nak." "Be-begini pak, Saya dari kota Z. Kedatangan saya ke sini untuk menyampaikan niat baik saya." Ayah masih menatap bingung. Kota X adalah kota tempat anak bungsunya menuntut ilmu. "Niat apa ya Nak?" "Sa-saya suka dengan anak Bapak." Suasana hening, Ayah dan Ibu terdiam. Bingung juga karena belum ada orang yang berkata seperti itu langsung di depan mereka. "Suka sama Diba maksud kamu?" Ayah mulai tidak suka dengan apa yang di ucapkan laki-laki tersebut. "Iya Pak!" jawab laki-laki itu mantap. Bahkan matanya tidak gusar sedikitpun karena keyakinannya yang sudah mantap. "Kalau kamu datang ke sini hanya untuk meminta izin pacaran dengan anak saya, lebih baik kamu urungkan niat tersebut. Walaupun zaman sekarang memang banyak sekali anak yang berpacaran dan bahkan direstui oleh kedua orang tuanya. Saya selaku orang tua tidak memberlakukan hal tersebut unuk kehidupan anak saya." Aura was-was sudah keluar dari diri Ayah. "Bu-bukan pacaran Pak." Ucapan yang keluar terbata-bata. "Lalu apa? Jangan main-main dengan anak saya ya." "Sa-saya ingin Me-menikah de-dengan anak Bapak." Ruangan yang mendadak menjadi lebih horror dari sebelumnya, Ayah dan Ibu mendadak terdiam dan memasang wajah tidak biasa. Bisa dikatakan mereka sangat-sangat kaget. "Kamu yakin menikah dengan anak saya? Dia masih kuliah," ucap Ayah. "Saya yakin Pak, kalau saya tidak yakin mana mungkin saya ke sini." Ayah Diba membetulkan ucapan anak muda tersebut, tidak mungkin ada orang yang main-main langsung bertemu dengan keluarganya. "Seberapa yakin kamu kalau saya membolehkan anak saya menikah?" "Saya tidak tahu pak, Sa-saya hanya mencoba dengan niat baik. Semuanya keputusan tentu ada di tangan Bapak, Ibu dan Diba." "Seumur hidup kamu, berapa kali khatam Al-qur'an?" "Saya tidak menghitungnya Pak," jawab laki-laki itu jujur. "Kamu bisa mengajikan?" Laki-laki itu mengangguk. "Nanti saat shalat maghrib, kamu datang ke mesjid untuk menjadi imam.” Pemuda itu mengangguk paham. Dia sudah menyerahkan semuanya kepada Allah. Siapa dia yang dengan mudah orang tua memberikan anak kepadanya. Jangankan untuk saling mengenal, mengobrol pun hanya beberapa kali. Jika saya dia tidak yakin bahwa Allah pemilik segala galanya maka yakinlah dia tidak ada berada di sini. Dia sangat yakin, jikapun berjodoh Allah akan memudahkan namun jika sebaliknya maka setiap ikhtiar baik, doa baik akan Allah balas dengan kebaikan pula. Setelah mengobrol sebentar, pemuda tersebut pamit untuk pulang. Sedangkan Ayah Diba masih dalam zona syok. Anak bungsu yang sangat tidak ada ideal nya menjadi seorang istri baru saja di lamar oleh laki-laki misterius secara mendadak. Pikiran Ayah Diba seperti berperang, di satu sisi dia salut dengan keberanian laki-laki tersebut dan di sisi lain ada keraguan melepas anak bungsunya kepada orang yang salah. Ayah Diba memijit kepalanya karena mendadak terasa sakit. "Tadi itu beneran Yah?" tanya Ibu yang meminta kepastian. "Benar lah Mak, Ayah aje sampai syok gini,"jelas Ayah. "Terus gimana Yah? Anak kita masih keckl, masak aje belum bisa. Terus bangun suka kesiangan. Ampun dah Yah, malu-maluin aja nanti kalau mereka nikah." Ibu memikirkan miris nasib pemuda itu karena menyukai sang anak yang tidak ahli dalam hal memasak dan masih banyak kebiasaan buruk yang belum terungkap. "Ayah juga bingung Bu, tapi Ayah salut sama dia karena berani datang langsung." Ayah menampilkan sedikit senyum lega. Dia bersyukur orang yang menyukai anak bungsunya adalah orang baik. Ibu mencoba mengajak Diba untuk berdiskusi sebentar. Mereka tidak mau ada hal yang tergantung. "Diba..., Buka pintunya," ucap Ibu sedikit menaikkan volume suaranya. Ceklek "Kenapa Bu?" tanya Diba yang sudah berkeringat dingin. "Ayah sama Ibu mau ngobrol," jelas Ibu. Diba mengikuti langkah Ibunya untuk berkumpul di ruang makan. Di sana sudah ada Ayah menunggu dengan ditemani segelas teh di atas meja. "Adek kenal laki-laki tadi?" tanya Ayah the point. "Nggak terlalu kenal Yah," jawab Diba gugup. "Dari Adek kaget tadi nggak mungkin kalau nggak kenal kan, coba jelaskan sama Ayah apa yang terjadi," pinta Ayah. Diba menjelaskan titik mula pertemuan dengan sosok senior yang mangaku menyukainnya itu. Dari dia yang dichat sampai percakapan di mushola kampus. Dia tidak menutupi apapun dari sang Ayah. "Menurut Adek dia main-main apa serius sampai jauh-jauh datang ke sini?" tanya Ayah. Dengan gugup Diba mengatakan kalau laki-laki itu serius. "Ayah pun mengira dia serius, Ayah nggak pernah melarang anak Ayah untuk menikah. Mau Abang Azil ataupun Adek yang menikah. Sampai kapanpun Ayah dan Ibu menganggap Adek, Abang serta kakak anak kecil. Jadi semua keputusan ada di tangan Adek, Ayah hanya menyeleksi berdasarkan agama dia sama Allah. Kalau agamanya baik, Ayah nggak akan nuntut yang lain. Adek paham kan maksud Ayah?" Diba mengangguk paham. Dia juga tidak tahu harus berbuat seperti apa. "Mak juga yakin dia baik nak. Urusan pekerjaannya apa Ayah dan Ibu nggak nuntut dia harus gimana-gimana. Asalkan dia mampu menafkahi Adek, Ayah dan Ibu nggak masalah. Urusan kuliah Adek insya Allah Ayah dan Ibu tanggung sampai lulus walaupun Adek sudah menikah," ucap Ibu dengan suara lembut. Jujur saja Diba bimbang, di satu sisi dia merasa istimewa karena begitu di perjuangkan tanpa sedikitpun obral janji-janji busuk. "Diba masing bingung," balas Diba menunduk. "Biasa itu nak, jangan dengarkan omongan orang karena Adek nikah Muda. Perasaan cinta bisa muncul kalau di niatkan karena Allah. Adek shalat istikharoh dulu, minta petunjuk sama Allah," suruh Ayah sambil mengelus pucuk kepala Diba. "Satu lagi yang membuat Ayah yakin untuk Adek segera menikah, kehidupan kota itu beda sama kehidupan kita di sini dek. Apalagi Adek jauh dari Ayah dan Mak, bukannya Ayah nggak percaya tetapi lingkungan itu cobaan yang berat, kalau Adek ada yang jaga Ayah dan Ibu bisa tenang di sini," lanjut Ayah lagi. Setelah berdiskusi ringan, Diba memantapkan niat untuk melakukan shalat istikharoh. Dia memang tidak mempunyau target kapan menikah karena kapan saja jodoh itu datang dia terima asal niatnya karena Allah. *** Waktu maghrib hampir datang, Ayah dan Ibu bersikeras membawa Diba untuk shalat ke mesjid. Awalnya Diba ingin menolak, tetapi dia tidak sanggup menolak apa yang diminta oleh kedua orang tuanya. "Diba ikut ke mesjid Yah? tumben," ucap Azil yang baru pulang kerja. "Iya, Abang juge ke mesjid ya. Buruan mandi sana," suruh Ayah. Azil mengangguk paham, dia segera membersihkan diri agar terkejar untuk bisa shalat di mesjid. Suara mu'azin mengumandangkan Azan terdengar. Mesjid tidak terlalu jauh dari rumah Diba sehingga mereka berjalan kaki ke mesjid. Sebelum shalat dimulai, ada terdengar suara bising-bising dari jama'ah laki-laki. Diba sedikit penasaran tetapi dia tidak memperdulikannya. Shalat di mulai dengan khusyuk, bacaan Al-fatihah dan surah begitu merdu terlantunkan hingga shalat selesai. "Siapa yang jadi imam Yah? Pak Amir ya?" tanya Diba saat jalan pulang ke rumah. "Bukan, calon mantu Ayah," jawab Ayah sambil tersenyum. Mendadak kaki Diba bergetar, jantungnya berdetak cukup cepat. "Ma-maksud Ayah siapa?"tanya Diba terbata-bata. "Calon mantu Ayah lah, Dia lulus tes dari Ayah," balas Ayah. "Mantu siapa sih Yah?" Azil bertanya karena bingung. "Abang sih ketinggalan berita, tadi siang Adek baru aja di lamar lo," celetuk Ibu. "Apa?" kaget Azil. "Kenapa Bang?" tanya Ayah yang ikutan kaget karena teriakan Azil. "Adek masih kecil Ayah, jangan bilang yang lamar itu orang yang jadi imam tadi?" Ayah mengangguk. "Abang nggak setuju Yah, nikah itu bukan perkara mudah. Adek itu masih kecil, urusan dapur aja dia nggak bisa. Mau bangun rumah tangga gimana?" Azil segera berlalu pergi. Emosinya masih tidak stabil. "Emang Adek bodoh banget urusan dapur ya Mak," lirih Diba dengan kepala menunduk. Selama ngekos, Diba masak makanannya sendiri. Walaupun makanannya tidak enak tetapi Diba selalu belajar. "Udah jangan pikirin apa yang Abang bilang, Nanti Mak coba ngomong sama Abang ya." Senyum Ibu cepat menular padanya sehingga diapun ikut tersenyum.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN