Bergantung

1885 Kata
Joe masih saja berbaring di atas kasur miliknya, suara ponsel, ketukan pintu, suara yang ia kenal secara bergantian masuk ke dalam indera pendengarannya. Semua orang benar-benar ingin mengetahui kondisi gadis itu, bahkan ada juga yang terang-terangan memaki Joe di lapak social medianya. ia sudah tidak bisa menangis, cuma ada rasa sesak yang menenuhi rongga pernafasannya sekarang. Udah setengah hari gadis itu belum mengisi perutnya dengan makanan apapun, air mineral pun tidak. Entah Joe sudah tidak tahu harus bagaimana saat ini, padahal dirinya sudah mati-marian menutup rapat rahasia terbesar yang ia punya. Karena baginya hidup pribadi dan keluarganya saja sudah hancur, akan tetapi kehidupan di luar dan pertemanan yang selalu Joe jaga agar tidak hancur sekaligus yang bisa membuat gadis itu hidup menjadi normal tanpa beban, sekarang sudah tidak ada. Semuanya sudah benar-benar hancur tanpa tersisa. Semua orang saat ini sudah menganggap Joe sampah masyarakat, wanita rusak bahkan gadis gila hanya karena ibunya berada di rumah sakit jiwa. Joe membayangkan hal tersebut hanya terkekeh pelan seakan-akan mentertawakan kehidupannya sendiri yang ia anggap sebagai lelucon. Kenapa harus dirinya sih yang hidup seperti ini? Hidup penuh ke kacauan. Kesialan. Bahkan bisa di bilang hidupnya kebanyakan drama tidak jelas yang di buat oleh orang-orang sekitarnya. Sejujurnya Joe lelah hidup dengan pola hidup dan lingkungan yang seperti ini, dia ingin hidup seperti orang lain. Keluarga yang harmonis, hidup penuh kesederhanaan, hah! Mungkin menyenangkan. Akan tetapi takdir berkata lain, tuhan seakan-akan ingin bermain-main dengan hidup dan takdirnya. Selucu itu. “Joe,” Itu suara Satya, sahabat yang sudah ia anggap seperti kakaknya itu sedang mengetuk pintu kamar gadis itu. Joe masih tidak menjawab dan membiarkan Satya terus memanggil namanya. “Joe, mau makan kapan? Udah hampir seharian lo belum makan,” Ucap Satya yang penuh dengan rasa ke khawatiran. Dia memang seperti itu, tidak pernah berubah bahkan rasa khawatirnya yang sangat berlebihan cukup membuat Joe semakin menyayangi sahabatnya itu. “Gue beliin bakso sama es jeruknya bang Adin nih, lo mau ga?” Tawarnya lagi, dia benar-benar tidak ingin menyerah begitu saja. Memang tipikal Satya, laki-laki itu penuh dengan kesederhanaan, dari semua teman-teman Joe cuma Satya yang hanya terlahir menjadi anak sederhana. Keluarganya, background kehidupannya tidak ada yang berlebihan, semua sederhana dan sudah sangat cukup. Bakso ya? Akhirnya dengan segala rayuan Gisha, Arga, Toni bahkan Hendrik cuma Satya yang bisa membuat Joe mau membuka pintu dan akhirnya memutuskan untuk mengisi perutnya. Melihat Joe yang pada akhirnya membuka pintu kamar, membuat Gisha, Arga, Hendrik dan Toni bangkit dari duduknya. Sedangkan Satya hanya tersenyum lembut kepada Joe yang sudah menatap laki-laki itu dengan raut wajah datar. Sebelum Satya berniat ingin membuka mulutnya untuk berbicara, tanpa di sangka-sangka Joe langsung memeluk tubuh tegap laki-laki itu dengan erat, seperti halnya menyalurkan rasa kesedihannya kepada Satya. Gisha memalingkan pandangannya, ada rasa nyeri yang muncul di lubuk hati kecilnya. Cemburu? Entah, tetapi Gisha tahu bagaimana Joe membutuhkan Satya pada kehidupan gadis itu dan hanya Satya yang bisa memahaminya. Iya, hanya Satya. Terkadang Gisha sempat berfikir, apa sih yang ia tidak punya di dalam diri Satya? Sampai-sampai Joe bisa sepercaya dan sebergantung itu dengannya. “Mau makan dimana?” Tanya Satya lembut. Tangannya membelai pelan rambut Joe yang sedikit acak-acakan. “Kamar,” Jawabnya singkat sebari merenggangkan pelukan yang baru saja ia lakukan, kemudian tangannya menarik pelan lengan Satya untuk masuk ke kamar gadis itu lalu menutup pintu. Joe langsung duduk di atas kasur, di ikuti Satya juga yang tengah duduh tepat di hadapan gadis itu. Dengan dua mangkok yang sudah Satya bawa, ia langsung membuka bakso dua porsi yang dia beli tadi. “Makan sendiri atau di suapin?” “Suapin,” Jawab Joe, Satya mengangguk mengerti lantas dia mengambil mangkok yang sudah berisi kan bakso favorit gadis itu. Bakso campur tanpa memakai seledri, bawang goreng yang banyak, saos tiga sendok sambek satu sendok setengah. Satya benar-benar tahu apa yang di suka dan apa yang tidak di suka Joe dari hal sekecil itu. Joe membuka mulutnya, menerima satu suapan yang di lakukan Satya. Melihat Joe makan dengan raut wajah malah membuat dia sedikit lega. “Yang banyak ya,” Ucap Satya. Joe mengangguk, gadis itu mengunyah pelan makanan yang ada di mulutnya dan Satya dengan telatennya memberi suapan kepada Joe dengan rasa hati-hati. Tidak ada pembicaraan, semua di selimuti dalam keheningan begitupun di luar kamar. Tetapi tidak lama Joe membuka suara, membuat Satya kembali memusatkan perhatiannya kepada Gadis itu. “Gue....takut,” Ucapnya parau namun masih bisa terdengar oleh pendengaran Satya. Kedua tangan yang tadi memegang mangkok dan sendok akhirnya kedua alat itu ia taruh lantas tangannya menggenggam kedua tangan mungil milik Joe. “Apa yang lo takutin?” Tanya Satya. Joe menatap kedua bola mata milik Satya yang berwarna coklat kemudian mengalihkan pandangannya ke arah tembok yang berada di depannya. Tatapan yang di lakukan Joe barusan hanya di lakukan beberapa detik saja namun mampu membuat detak jantung Satya berdegup kencang. “Gue takut hidup gue makin hancur,” Jawab Joe asal. Mendengar hal tersebut Satya semakin mempererat genggamannya, seakan-akan menyalurkan kekuatan kepada gadis yang hada di hadapannya. “Lo inget sama perkataan yang pernah gue bilang Joe?” Joe kembali menatap Satya kemudian menggeleng pelan. Hah! Sudah Satya duga gadis itu memang otaknya sedikit lambat ternyata. Lantas dia tersenyum kecil nan lembut kepada Joe. “Hidup itu harus bersyukur apapun keadannya,” kedua jarinya mengetuk pelan dahi Joe. “Syukuri apa yang lo punya sekarang sebagaimana realita gak seindah yang lo harapin. Tapi seenggaknya lo mempunyai sesuatu yang gak semua orang punya,” “Mangkanya, hidup tuh jangan melulu lihat ke atas, sekali-kali liat ke bawah biar tahu orang-orang yang kekurangan tuh sedihnya kaya gimana,” Lanjut Satya santai. Joe diam, kembali mencerna ucapan Satya yang sederhana namun sangat bermakna, gadis itu memperhatikan lekukan wajah Satya dari samping. Sebenarnya ia tidak jelek-jelek banget kok di mata Joe. “Berarti selama ini gue gak bersyukur ya Sat?” Tanya Joe. Satya menoleh, sedikit terkekeh pelan saat Joe menanyakan hal spele seperti ini. “Menurut lo?” Satya malah lempar balik pertanyaan, alhasil Joe hanya mengedikan kedua bahunya. Satya menghela nafas, “Lo tuh bukan kurang bersyukur sih sebenarnya,” Laki-laki itu kembali menatap Joe. “Tapi kurang ibadah aja,” sambungnya asal. Dan itu membuat Joe sedikit tertawa kecil sekaligus mencubit perut Satya, ia meringis pelan menahan rasa sakitnya. “Emang gak ada akhlak ya lo,“ Ucap Joe di sela-sela tawanya. Satya melihat tawa lebar yang selalu ia sukai setiap harinya itu akhirnya kembali muncul, dan dia saat ini bernafas lega karena hati Joe sekarang sedikit membaik. “Gue bercanda kok,” Timpalnya, kemudian merapatkan kembali tubuhnya kepada gadis itu. Satya memeluk tubuh mungil itu dengan lembut, dan Joe membalas pelukannya dengan pelukan yang erat. “Lo bukan berarti kurang bersyukur kok, tapi kebanyakan berekpetasi tinggi di kehidupan lo sendiri, mangkanya ikutin aja alur skenario yang tuhan kasih. Ada kalanya lo berada di titik bahagia di dalam hidup lo kalau sudah waktunya,” Jelas Sarya serius kali ini. Mendengar hal tersebut Joe tersenyum kecil, sebagaimana Satya tidak bisa melihat senyuman itu. Ia yakin bahwa ucapannya ini akan membuat Joe kembali bangkit. Satya benar-benar tahu setiap titik celah Joe untuk membangkitkan semangat gadis itu, tidak hanya Gisha akan tetapi Satya yang lebih mampu bisa melakukan hal tersebut. “Udah ya sedihnya, gue tekor lama-lama beliin makanan kalo lo sedih. Udah tahu penghasilan part time gue sekarang gak banyak kaya dulu,” Omel Satya. Joe meregangkan pelukannya lalu menjitak kepala Satya. “Bisa-bisanya lo gak berterima kasih ke gue di saat gue udah bisa bikin lo bangkit dari sesi kehidupan lo yang menye-menye itu,” “Sialan ya lo Sat,” Tawa Joe sebari menerjang Satya yang berusaha menghindari serangan gadis itu. Sedangkan seseorang yang sedari tadi mendengarkan percakapan mereka di balik pintu kamar, mendengar tawaan Joe yang kembali terdengar membuat ia terkekeh pelan, rasa nyeri itu kembali muncul. Gisha akui, Satya hebat bisa membuat Joe kembali ceria seperti halnya tidak ada yang terjadi apapun. Laki-laki itu merasa tidak ada gunanya sekarang. ••••••••••• Di dalam pesawat Justin sibuk melihat semua data-data milik Alin di macbook miliknya yang baru saja di beri oleh Rio. Satu persatu ia membuka video-video dewasa yang jelas di dalam situ adalah Alin, tidak hanya dengan satu pria tetapi ada beberapa pria yang tidur bersama gadis itu. Justin menggeleng pelan, jari-jari di tangan kirinya sedikit menekan kepalanya yang sudah pening sedari tadi. Ini di luar dugaannya, ia kira Alin hanyalah gadis yang tidak banyak tingkah seperti yang ia fikirkan sedari tadi. Ternyata dugaan Justin salah, Alin adalah anak problematik yang sudah di kenal banyak orang sebagaimana ia dari keluarga terpandang. Bahkan yang bikin dia tidak habis fikir, sebagaimana kehidupan keluarganya baik-baik saja sampai kebutuhan materialnya pun cukup, kenapa gadis itu masih saja rela menjual dirinya sendiri bahkan sampai mau melakukan itu secara suka rela. Justin masih membaca satu persatu data tersebut dengan seksama, namun ada satu informasi yang mampu membuat Justin terkekeh pelan seraya paham mengapa Alin bersikap seperti halnya gadis murahan yang selalu Justin penuhi. Baiklah, ini sudah cukup membuat Alin bungkam. Tidak ini sudah lebih dari cukup sebenarnya karena bagaimana pun, sekedar di gertak atau di ancam hanya dengan menunjukan semua ini, gadis itu akan ketakutan. Iya, Justin yakin dengan rencananya kali ini. Sedangkan di sisi lain Joe dan Gisha saat ini sedang berada di ruang tengah dengan keheningan yang menyelimuti mereka berdua, Satya dan Arga sudah pulang sedangkan Hendrik dan Toni berada di luar untuk menjaga-jaga bila Justin datang ke apartemen secara mendadak. “Mood lo udah baikan kan?” Tanya Gisha canggung. Joe yang sedang sibuk memakan pocky-pocky rasa strawberry itu mengangguk pelan, Gisha bernafas lega kemudian tersenyum kecil melihat Joe yang sudah kembali menikmati makanan kesukaannya dengan mood yang baik. “Satya hebat ya Joe,” Celetuk Gisha. Joe menoleh pandangannya beralih kepada Gisha yang sudah menatap gadis itu dengan tatapan sayu. “Maksud lo? Hebat karena apa?” Tanya Joe tidak paham. Mendengar jawaban Joe membuat Gisha tertawa kecil, Joe memang tidak mengerti dengan arah pembicaraan kali ini. “Ya hebat, cuma dia yang bisa bikin lo membaik,” Joe mengerutkan keningnya, maksudnya gimana sih? Membaik seperti apa? Lagian kenapa juga Gisha membicarakan hal beginian, sejak dulu kan ia tahu bahwa Satya memang bisa membuat Joe merasa aman dan.. Mengingat hal itu ekpresi raut wajah Joe berubah, ah! Dia mengerti sekarang, gadis itu mengerti kenapa Gisha berbicara hal absurd begini kepadanya. Gisha sedang cemburu kepada Satya. “Gue gak bisa kaya Satya ya? Yang bisa bikin lo aman?” “Apa lo gak bisa bikin gue jadi orang yang bisa di andalkan di situasi sulit lo juga?“ “Kenapa dari dulu harus Satya yang harus lo cari? Padahal banyak orang di sekitar lo yang sayang sama lo,” Semua rentetan pertanyaan yang Gisha lontarkan mampu membuat Joe terdiam tanpa mampu mengeluarkan satu kata pun. Joe menghela nafas kasar, ia menyadari hal tersebut bahwa selama ini Joe banyak bergantung kepada laki-laki itu sebagaimana ia mempunyai pasangan. Bagaimana nanti jika dia sudah menikah dengan Justin? Apakah Joe masih terus bergantung atau pun mencari Satya jika ia lagi di landa masalah? Tidak kayaknya tidak bisa, jika Joe terus seperti itu Satya juga bisa dalam bahaya. Ia sudah tahu Justin seperti apa, Joe tidak mau membuat Satya terluka hanya sikap cerobohnya itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN