Part 10 - Boneka
Sebuah undangan bertinta emas dengan desain elegan berada dalam tumpukan surat korespondensi di atas meja kerjanya. Daniel kala itu tak tertarik melihat tumpukan surat yang biasanya berdatangan menjelang sore hari selepas penatnya bekerja.
“Apa semua surat itu untukku?” Ia bertanya pada sekretarisnya Nona Liel yang menatapnya ketakutan saat ia menaruh surat itu di atas meja kerja bos dinginnya.
“I-iya tuan. Saya sudah melakukan seperti yang Anda katakan. Saya sudah menyortir berulang kali dan mengeceknya. Semua ini surat penting untuk Anda.”
Daniel mendesah melihat setumpuk surat yang membuat kepalanya semakin pening. Tatapannya yang dibgin menatap lurus ke adah gadis muda yang baru seminggu bekerja dengannya.
Tubuhnya bergetar ketakutan, meski begitu Daniel tahu ia berusaha menguatkan diri. “Tuan tenang saja, aku juga pastikansemua surat ini penting.”
Tak mau banyak kata, Daniel menyuruh perempuan itu keluar dari ruangannya.
Ia kembali melanjutkan pekerjaannya yang melelahkan karena proposal miliknya ditolak oleh klien yang diharapkan menjadi investor utama perusahaannya. Anehnya, investor tersebut lebih tertarik dengan proposal yang diajukan Navy Coorporation dibandingkan miliknya. Seingatnya, semenjak Justin mengalami kelumpuhan dan kebutaan permanen, Navy Corps dipegang oleh Alana alias Selena sebagai direktur utama.
Tapi bagaimana bisa perempuan itu membuat proposal yang lebih menarik minat investor dibandingkan proposal miliknya? Dia hanya gadis rendahan bukan? Alana menemukannya secara tidak sengaja di lobi kantor Navy sedang sibuk mengepel lantai.
Kalau bukan karena wajahnya yang terlihat mirip dengan Alana, mereka berdua tidak akan tertarik padanya. Apalagi dia hanya lulusan SMA biasa. Tidak ada yang menonjol dengan kemampuannya. Namun ada sesuatu darinya yang mungkin tidak mereka berdua ketahui. Daniel harus mencari tahu.
Ia menutup layar laptopnya segera. Bermaksud menemui gadis boneka itu. Kemudian tatapannya tertuju pada benda berkilauan yang berada di tumpukan teratas surat-surat yang diserahkan Liel padanya tadi.
Ia meraihnya dan terkejut mendapati nama Alana tertera dalam undangan mewah tersebut.
Mungkinkah?
Tak mau berspekulasi lebih, ia segera keluar ruang kerjanya sambil terus menghubungi gadis itu. Undangan itu datang terlambat. Seharusnya malam ini, pukul tujuh malam pernikahan Justin dan Alana akan berlangsung di salah satu hotel terkemuka di negara adidaya ini.
“Sial!” Ia kesulitan menghubungi ponsel Alana.
Ia meraih undangan itu, meremasnya lalu bersiap menuju tempat pesta berlangsung.
***
Selena menatap wajahnya yang tersenyum sendu. Terpantul dari cermin hias besar yang berukuran nyaris setinggi tubuhnya yang hanya 165 cm.
“Kau luar biasa cantik, Alana,” puji penata rias pribadi miliknya. Dia tidak menyadarj kalau perempuan yang sedang diriasnya ini bukan sahabatnya, melainkan orang lain yang terpaksa menyamar menjadi diri Alana.
“Terimakasih, Lucia.” Untung saja Alana sudah menceritakan detail tentang dirinya, sehingga tidak menimbulkan kecurigaan dalam benak gadis muda itu.
“Ok selesai!” Sapuan polesan kuas di matanya menjadi akhir proses panjang dan melelahkan itu.
Untuk mempercantik dirinya sebagai seorang pengantin berbahagia, Selena rela bangun dini hari demi melakukan perawatan yang sangat panjang.
Pesta pemberkatan akan dilakukan nanti malam yang kemudian dilanjut dengan pesta pernikahan mereka di salah satu hotel termegah dan termewah di negara ini.
“Baiklah, tugasku sudah selesai. Aku harus merias keluargamu yang lain. Nanti aku kembali!” tukas Lucia sambil merapikan perlengkapan riasnya ke dalam koper hitam besar miliknya.
Sekali lagi ia menatap dirinya melalui pantulan di cermin. Tatapannya sendu dan ekspresinya penuh kesedihan.
Dirinya dihantui rasa bersalah karena jika ia mengaku sebagai Alana di janji suci pernikahan, ia merasa dirinya menjadi pembohong sekaligus penipu. Meski sebelumnya ia sudah berdebat dengan sang calon pengantin yang tak lain adalah bosnya sendiri, Alana.
“Apa kau bilang? Kau mau mundur?” Alana mendesis ketika Selena bermaksud berhenti dan menyerah menjadi dirinya.
“Iya, Bu. Eh tidak! Maksudku Alana. Aku ingin berhenti sekarang juga sebelum semuanya menjadi kacau.”
“Kenapa?” tanya Alana menatapnya tajam.
“Aku tak mau menipunya lagi, Alana. Sudah cukup kebohonganku selama ini. Aku merasa bersalah.” Selena menatapnya penuh rasa sesal. Sayangnya Alana bahkan tak peduli dengan penyesalan gadis bodoh yang akan menghancurkan rencana besarnya itu.
Alana tidak bisa membatalkan pernikahannya dengan Justin demi ayahnya yang membutuhkan Justin supaya bisa menyelamatkan perusahaan mereka satu-satunya.
Di sisi lain, dia juga tak bisa menikahi Justin yang buta dan lumpuh. Dia merasa malu jika bersuamikan Justin. Lagipula dia tak punya kesabaran mengurus lelaki tidak berguna kecuali harta dan kekayaannya itu.
Dalam keterputus asaannya, Alana mendapatkan ide cemerlang yang akan menyelamatkan hidupnya.
Ia menyuruh Selena menyamar dari dirinya, seperti sebelumnya.
Memintanya berpura-pura menjadi dirinya dan menikahi Justin. Seperti yang Alana duga, Selena menolak ide tersebut dan mengancamnya ingin berhenti.
Tapi bukan Alana namanya jika dia menyerah dan kalah cuma karena rasa bersalah gadis rendahan itu.
“Jangan bilang kau sekarang berubah menjadi malaikat yang berhati mulia? Kemarin kau setuju menjadi diriku demi uang itu. Sekarang kau tidak bisa mundur dari posisimu, Selena.” Alana mencibirnya tajam.
Sebuah senyum jahat muncul di wajah cantiknya. Selena terpaku seperti melihat bayang dirinya dari kegelapan. Ekspresi Alana menakutkan dirinya.
“Silakan saja jika kau ingin berhenti karena nuranimu itu, Selena. Karena aku akan menuntutmu karena berani menjadi dirimu demi keuntunganmu sendiri,” ancam Alana serius.
Ancaman penjara membuatnya gentar. Selena tak punya pilihan lain selain menerima perintah gadis itu.
“Kau jadilah diriku dan pura-pura menikahinya. Sampai aku memberikan perintah selanjutnya padamu. Ini ... “ Alana melemparkan sebuah kartu hitam ke arah Selena yang langsung meraihnya spontan.
“Di dalamnya ada uang satu miliar yang kujanjikan sebagai bonus. Aku akan menambahkannya lagi jika kau berhasil menjadi istri Justin tanpa dicurigai siapa pun. Kau mengerti?”
Selena terpaksa menganggukkan kepala sebelum wanita itu histeris kepadanya.
Jadilah dirinya terjebak di sini, menjadi boneka mainan yang bisa saja dimainkan oleh sang pemilik.
***
Daniel berlari kencang setelah menuruni mobil. Tak lupa ia melemparkan kunci mobil mewahnya pada salah seorang pelayan hotel.
Suasana hotel sudah cukup ramai oleh para tamu yang hadir. Meski begitu ia belum melihat sosok Alana di altar pernikahan yang dihiasi beragam dekorasi bunga yang cantik.
Ia melihat ke arah Lucia yang berada tak jauh darinya. “Di mana Alana?” tanyanya dengan wajah panik dan napas tersengal-sengal.
“Wow, Dan. Kau terlihat berantakan!” Lucia terkejut melihat penampilan Daniel yang masih mengenakan jas kerjanya. Seakan-akan Daniel memang tidak bermaksud datang ke pesta pernikahan ini.
“Sudahlah, Lucia. Jangan mengomentari pakaianku. Sekarang katakan padaku di mana Alana?”
“Di ruang rias.”
Tanpa berkata apa-apa lagi, Daniel buru-buru pergi ke ruangan yang dimaksud. Lucia hanya mengangkat bahu tak acuh melihat laki-laki itu langsung meninggalkannya.
Dari lorong besar tempatnya berada saat ini, Daniel kesultan menemukan ruangan tempat Alana berada. Sudah beberapa ruangan ia datangi, namun dia hanya menemukan cacian dan makian dari sang pemilik ruangan.
Di tengah keputus asaannya, ia tak sengaja mendengar isakan tangis yang begitu menyayat hati.
Isakan itu berasal dari sebuah ruangan yang berada paling ujung koridor. Dengan ragu, Daniel meraih kenop pintu dan membukanya perlahan.
Jantungnya berdebar kala melihat punggung halus yang terbuka sedang bergetar karena tangisan.
“Alana,” ujarnya sambil memasuki ruangan tersebut.
Gadis itu menoleh ketika mendengar seseorang memanggilnya. Wajahnya penuh lumuran airmata, meski begitu ia masih terlihat cantik.
Napas Daniel tercekat, jantungnya seakan terhenti berdetak saat melihat gadis rapuh itu tampak penuh kesedihan.
“Alana, ayo kita melarikan diri!”
Mata gadis itu membulat tak percaya melihat Daniel mengulurkan tangan untuk memberinya jalan keluar dari rasa bersalah yang terus menerus menghantuinya.
***