Part 11 - Jerit Tangis Penyesalan
Selena tertegun melihat Daniel mengulurkan tangannya, mengajaknya pergi untuk melarikan diri.
Seketika tangisnya pecah melihat kemunculan Daniel yang ia pikir akan menjadi malaikat untuk dirinya. Nyatanya Daniel hanya muncul untuk membuatnya semakin penuh rasa bersalah.
Lelaki itu salah menduga karena wanita yang di hadapannya ini ternyata bukan kekasihnya. Tangis Selena semakin keras melihat Daniel kebingungan di hadapannya.
Bukan karena apa? Karena hanya dia yang terjebak oleh rasa bersalah dan tidak ada seorang pun peduli. Ia mencengkeram kartu hitam di tangannya.
Andaikan bisa memilih, ia lebih baik membuang kartu itu dibandingkan harus menjadi bayangan bagi orang lain.
Tapi ia tak bisa kabur sekarang, jika Alana menuntut dirinya dan ia dipenjara untuk sementara waktu. Ia akan kehilangan ibunya yang membutuhkan perawatan di rumah sakit.
Seperti memakan buah simalakama. Selana tak punya pilihan.
“Ikut denganku Alana. Aku akan membantumu melarikan diri.”
Tawaran yang luar biasa menggiurkan kalau saja dirinya Alana. Nyatanya lelaki itu bukan bermaksud membantu dirinya melainkan Alana.
Tangisnya semakin keras menyadari bahwa ia akan terjebak selamanya.
Alis Daniel mengerut bingung melihat perempuan cantik itu menangis keras.
“Kau baik-baik saja?” Ia menghampiri Selena yang terisak sambil berusaha menghapus airmatanya yang mengalir semakin deras. “Shhh, sudah jangan menangis!”
Hiks, isakannya membuat perasaan Daniel tersentuh. Dengan hati-hati ia mencoba menyentuh pipi lembut gadis itu. Memaksanya untuk menatap ke dirinya.
“Aku bukan Alana,” gumam Selena di sela-sela isakan tangisnya. ”Alana sudah pergi lebih dulu. Aku bahkan tak tahu dimana dia sekarang!” Ia kembali menangis.
Daniel menatapnya lekat-lekat. Menyadari bahwa perempuan di hadapannya ini bukanlah Alana. Dia menghela napas lega sebelum akhirnya rasa iba menyergap dirinya.
‘Gadis malang,’ tukasnya dalam hati. Aneh sekali, desis Daniel. Untuk pertama kalinya ia merasa iba pada nasib orang lain, terlebih gadis ini secara tidak langsung terjebak oleh rencana licik mereka.
Sorot mata itu menyimpan derita yang sangat jelas kentara. Daniel tersadar kalau gadis ini bukanlah Alananya.
“Selena,” Ia memekik pelan sebelum akhirnya tangis gadis itu pecah. “Kenapa kau menangis?” tanyanya heran.
“Aku … aku … “ Mengapa sulit sekali mengutarakan perasaannya.
“Sudahlah. Berhentilah menangis!” Daniel tak pandai menghibur seorang wanita yang menangis. Ia hanya bisa menghapus airmata yang mengalir membasahi pipinya.
Sejujurnya ia benci melihat seseorang menangis. Karena baginya tangisan hanyalah bentuk kelemahan. Dan ia benci menjadi lemah dan tak berguna. Dia butuh kekuatan untuk bertahan dalam kerasnya kehidupan.
Tapi anehnya melihat tangisan Selena justru membuatnya merasa bersalah pada gadis lugu ini.
Lelaki itu pun hanya memeluknya, hingga beberapa saat kemudian tangisan gadis itu pun terhenti.
Selena perlahan mulai merasa tenang saat lelaki itu mendekapnya hangat. Mengalirkan kekuatan yang ia butuhkan untuk tetap bertahan dalam kebohongan ini.
***
Di luar ruangan, Justin duduk di atas kursi roda otomatis miliknya. Tubuhnya menegang seketika saat telinganya menangkap suara tangisan lirih dari calon istrinya.
Tangis yang sarat akan penderitaan. Seolah-olah hidupnya akan berakhir setelah pernikahan mereka berlangsung.
Di sebelahnya Rayner terpaku melihat pemandangan calon istri bosnya yang asyik berpelukan dengan Daniel. Sepupu Justin sekaligus musuh terbesar bosnya semenjak lahir.
Justin dan Daniel adalah sepupu. Mereka lahir di tahun yang sama. Berasal dari keluarga yang sama.
Bedanya Daniel dilahirkan dari putra kedua Tuan Edyson, sedangkan Justin merupakan putra pertama dan satu-satunya dari putra sulung Edyson.
Keduanya digadang-gadang akan mewarisi kerajaan bisnis Edyson yang menjadikan posisi mereka teratas di kalangan pengusaha dan pebisnis.
Daniel tampan dan luar biasa jenius, sama seperti Justin yang memiliki ketampanan hakiki dan IQ di atas rata-rata.
Satu hal yang tidak Daniel punya adalah intuisi dan kemampuan bernegosiasi dengan para investor yang menjadikan Daniel sedikit di bawah Justin.
Catatan hitam sebagai seorang Playboy kelas kakap juga menambah daftar merah seorang Daniel.
Entah sudah berapa wanita menuntutnya atas kasus pelecehan dan pemerkosaan. Meski sejujurnya Daniel tidak pernah memaksa wanita itu tidur bersamanya.
Para wanita itu sendiri yang secara sukarela melemparkan diri mereka dalam pelukan Daniel.
Kebanyakan mereka demi posisi, uang, dan jabatan yang bisa mengubah status kehidupan mereka.
Bukan hanya karyawan wanita yang tergila-gila padanya. Para fotomodel, artis, dan putri konglomerat lainnya juga tergila-gila oleh pesona serta ketampanannya.
Berbeda dengan Justin yang dingin dan sulit didekati. Daniel, meskipun sikapnya dingin tapi dia lebih menghargai wanita. Terlebih Alana yang menjadi cinta sejatinya.
Karena itulah, Daniel begitu ambisius merebut Alana dari Justin yang sudah lebih dulu terikat dalam pertunangan.
“Apa yang mereka lakukan?” tanya Justin dengan suara dingin.
Rayner ragu untuk menceritakannya, tapi sebagai orang kepercayaan Justin. Ia harus jujur menceritakan apa yang terjadi tanpa sedikit pun ditutup-tutupi.
“Mereka berpelukan,” jawab Rayner sambil menelan salivanya.
Justin sudah meyakini bahwa ada hubungan spesial antara calon istrinya dan Daniel, sepupunya. Ia tak begitu terkejut memergoki mereka berpelukan sesaat sebelum pernikahan mereka diresmikan.
“Nona Alana menangis,” ujar Rayner tak yakin apakah ia harus mengatakannya atau tidak.
Justin mendengus. Meski netranya tak melihat peristiwa itu, tapi ia sudah menebak betapa Alana menderita karena terpaksa menikah dengan laki-laki buta dan lumpuh seperti dirinya.
Ia bersumpah akan membuat perhitungan dengan gadis yang pura-pura peduli padanya dan bersedia menikah dengannya demi uang dan jabatan yang sesuai dengan perjanjian mereka.
Justin menyimpan amarah dalam d**a, mengetahui bahwa Alana begitu tersiksa menerima pertunangan ini.
Padahal kemarin dia bersikeras mempercepat pernikahan mereka. Awalnya Justin meragukannya, tapi Alana tetap memaksa.
“Ayo kita menikah Minggu besok!” ujarnya penuh keyakinan.
“Apa maksudmu?” Ia kaget saat menemukan gadis itu mendadak muncul tanpa peringatan.
“Aku sudah membulatkan tekad dan siap menikah denganmu, Justin.”
“Tapi,”
Alana mendesah sebelum akhirnya mulai mengatakan sesuatu, “Lupakan ucapanku kemarin. Sekarang aku sudah mengubah pikiranku.”
“Jadi kapan kau mau menikah?”
“Secepatnya Justin. Besok juga aku bersedia!” jawab Alana tanpa pikir panjang.
Sial! Justin pikir Alana tulus ingin menikah dengannya karena kondisinya. Nyatanya wanita itu malah mengkhianatinya lagi setelah dulu ia juga pernah mendapati Alana berada di kamar hotel yang sama dengan Daniel. Sehari sebelum kecelakaan yang merenggut cahaya dari matanya.
Tangan Justin mengepal. Ia bersumpah akan membuat pernikahan mereka seperti neraka bagi gadis bernama Alana itu.
***