4. Di Balik Topeng
“Apa? Jangan bilang kau gagal!” Alana terkejut saat mendengar rencananya telah gagal.
Dia murka. Wajahnya pias disertai angkara yang membara. ‘Bagaimana bisa rencananya gagal semudah itu?’ desisnya kesal dan mengutuki kebodohan perempuan rendahan ini.
“Tu-tunangan Anda tidak percaya kalau saya adalah I-ibu,” sahut Selena tergeragap. Ia takut jika perempuan mungil berapi-api ini akan meledakkan emosinya.
“Terus kau diam saja?”
Selena bungkam selama beberapa saat. Keheningan memecah situasi canggung di antara dua perempuan berwajah serupa ini.
“Aku sudah berusaha meyakinkannya, tapi … “
”Gagal?” Alana mendesis. Terlihat jelas raut kekesalan tergambar di wajahnya yang memerah oleh amarah.
Selena mengangguk, mau tak mau ia harus mengakui kegagalannya.
Lelaki tampan yang duduk di salah satu sofa apartemen hanya mengembuskan napas melihat kemarahan Alana.
Gadis itu memang sulit mengontrol emosinya, apalagi perempuan yang berdiri di hadapan Alana tampak ketakutan. Ia terlihat seperti kucing manis yang sedang diomeli majikannya karena tercebur got.
“Alana,” panggil lelaki itu untuk menghentikan emosi Alana yang meluap-luap.
“Kau jangan memarahinya begitu. Dia butuh waktu,” tegur lelaki bernama Daniel itu.
Alana melirik sinis ke arah Daniel yang terang-terangan membela perempuan bodoh ini.
“Kau ini ... mengapa kau bisa setenang itu? Nasibku bergantung padanya. Aku sudah mencurahkan semua perhatianku supaya dia berhasil mengelabui Justin. Tapi lihat hasilnya? Dia sama sekali tidak berguna!” runtuk Alana kesal.
“Justin bukan laki-laki bodoh, Al. Jadi wajar saja dia curiga kalau perempuan yang tiba-tiba muncul setelah sekian lama pergi mengaku sebagai dirimu. Bahkan jika kau sendiri yang menemuinya, Justin pasti akan mengusirmu.”
Sejenak Alana berpikir. Sekali lagi ia setuju dengan pendapat Daniel.
Perlahan emosinya pun mereda.
“Terus sekarang apa rencana kita? Aku memang mencintai Justin. Tapi aku tidak mau jika harus mengurus lelaki buta dan lumpuh seperti dia,” desah Alana dengan wajas cemas.
“Kau pergi saja ke luar negeri seperti rencanamu. Biar aku urus dia di sini. Kau mengerti?”
Sejenak Alana meragu tapi ia tak punya pilihan selain setuju. “Baiklah kalau begitu. Kupercayakan dia padamu.”
Akhirnya kemarahan gadis itu lenyap begitu saja. Seperti adap yang tertiup embusan angin, tak meninggalkan jejak.
***
Daniel melirik ke arah gadis lugu berwajah mirip Alana yang sejak tadi berdiri saja, tak bergeming sedikit pun.
Alana sudah pergi sesuai rencana. Ia akan tinggal di luar negeri sementara waktu, memonitor pekerjaan dari sana dan hanya mengandalkan gadis polos ini.
Semua ini memang rencananya sejak semula. Untungnya Alana berhasil ia kelabui. Dengan begitu ia bisa menghancurkan Justin dari dalam.
Melalui tangan gadis ini. Cita-cita Daniel meruntuhkan kejayaan Justin sudah di depan mata.
“Mau minum?” Daniel menawarkan segelap wine yang ia sesap dari gelas sloki.
Gadis itu menggeleng ketakutan, “Tidak, Tuan.” Suaranya begitu lembut bergetar.
“Siapa namamu?”
“Se-Selena, Tuan.”
“Jangan memanggilku Tuan.” Daniel komplain karena entah mengapa ia merasa risih saat perempuan ini memanggilnya Dan.
Apa karena ia terlihat mirip Alana yang selalu memanggilnya sesuka hati. Karena itulah ia merasa aneh jika perempuan ini memanggilnya dengan sebutan ‘Tuan’.
“Kau boleh memanggilku Dan.”
“Ba-baik Tuan, eh maksudku Dan.”
Daniel tersenyum tipis melihat keluguan yang ditampilkan perempuan di hadapannya ini.
Ia sudah memutuskan akan membantu gadis ini demi Alana dan dirinya pula. Jika Justin hancur, maka Alana pun akan berlari ke pelukannya.
Sebuah rencana licik tersusun rapi dalam pikirannya.
Dan semua itu butuh bantuan perempuan bernama Selena yang bersembunyi di balik topeng Alana.
***
Perempuan itu muncul lagi. Justin mencium aroma parfum kuat yang khusus diciptakan untuk tunangannya Alana.
Aroma khas yang hanya dimiliki oleh Alana.
“Mau apa kau muncul lagi?” Jelas sekali Justin menolak kedatangannya.
“Apa kau mau bilang kalau sekarang kau peduli? Atau kau mau mengaku kalau kau bukan tunanganku, hah?” Suara Justin menggelegar seperti sambaran petir di tengah badai.
“Memangnya siapa yang berani mengaku seperti diriku, hah?” Dengan lantang Selena balas bertanya. Keangkuhan dari nada suaranya sedikit meyakinkan Justin kalau perempuan ini benar tunangannya yang menyebalkan.
Justin tertawa sinis, “Jangan bilang kau datang karena kasihan padaku?”
Sekilas Selena melihat lelaki di hadapannya ini. Tubuh Justin memang kekar, tapi di kedua kakinya terpasang gips yang menghalanginya berjalan normal.
Kepala Justin tidak lagi tertutup perban seperti kemarin, hanya ada perban yang melindungi kedua matanya itu.
“Kau pikir kau pantas dikasihani?” Selena mendesis. “Ada banyak orang di luar sana yang lebih patut dikasihani dibandingkan kau, Justin.”
‘Hmm, menarik!’ pikir Justin terkejut mengetahui Alana berani mendebatnya seperti ini.
Semula Justin pikir, Alana hanyalah gadis bodoh yang tergila-gila padanya dan begitu mendambakan dirinya karena pesona wajah serta kekayaan yang dia miliki.
Justin tak mengira, Alana bukan perempuan berpikiran dangkal seperti yang ia duga selama ini.
Sejujurnya ia tak terlalu mengenal tunangannya Alana. Ia hanya beberapa kali bertemu. Berkencan dan ia menyukai tubuhnya yang menggairahkan.
Berulang kali Alana mengajaknya ke bercinta, tapi Justin selalu menolaknya.
Ada ratusan, tidak, ribuan alasan mengapa ia tidak mempercayai Alana. Justin tak mau ambil risiko jika Alana hanya menjebaknya.
Hingga ia mengetahui perselingkuhan Alana dengan sepupu sekaligus musuh terbesarnya, Daniel.
Entah sengaja atau memang sudah menjadi takdir Justin yang memergoki mereka di kamar hotel.
Justin yang marah, mengendarai mobilnya dalam kecepatan tinggi. Sehingga ia tak menyadari kalau rem mobilnya tak berfungsi.
Kecelakaan itu merenggut cahaya dari dunianya. Dokter yang mengoperasi matanya mengatakan Justin akan mengalami kebutaan permanen akibat robeknya kornea mata miliknya.
Belum lagi tulang kakinya yang retak akibat hantaman keras. Ia pun harus kehilangan kemampuannya berjalan di atas kedua kakinya.
Sekarang dia menjadi makhluk yang tidak berguna. Meski begitu sikapnya yang arogan justru memperburuk situasinya.
Sekarang tidak ada seorang perawat pun yang berani merawatnya kecuali ada perlawanan dari Justin yang membuatnya seketika berhenti bekerja.
“Lalu apa rencanamu datang ke sini Tunanganku Sayang?” Justin sengaha menggoda perempuan itu.
Meski cahaya di matanya meredup, Justin bisa melihat keadaan sekeliling, termasuk di mana posisi tunangannya saat ini.
Ia meraih tubuh Selena yang terkesiap dengan serangan Justin yang mendadak. Selena terbaring di atas ranjang dalam pelukan Justin.
Sekali lagi ia merasakan debaran itu. Daging merah di dadanya seakan berhenti memompa darah ke seluruh tubuh.
Aroma napas lelaki ini seperti obat bius yang membuat akal sehatnya terbang melayang tinggi.
Di sisi lain, Justin merindukan ciuman perempuan yang memabukkannya kemarin. Meski terasa asing, tapi cumbuan Selena yang kaku seperti candu baginya.
“Justin, apa yang kau lakukan?” Selena mulai panik saat lelaki itu secara liar menunjukkan hasratnya.
‘Ya Tuhan!’ Selena memekik ketakutan karena ia pun turut dalam pusaran gairah yang menyelimutinya tanpa permisi.
Jangan katakan jika tubuhnya pun merespon ciuman Justin yang terasa nikmat dan memabukkan.
Di balik topeng yang ia kenakan, Selena tetaplah Selena. Ia takut jika hatinya ikut dipertaruhkan karena pesona lelaki ini sulit dienyahkan.
***