“Cris, lo dicariin sama Pak Devan.”
Crisy meneguk air dalam gelasnya, menelan sisa makanan yang ia kunyah baru menjawab Rio yang berbicara sambil tersengal. Sepertinya Rio habis berlari, sebab ingin segera menemukan keberadaannya.
“Memang ada apaan gue dicariin sama dia?”
“Ya mana gue tahu, mau diajakin makan siang kali.”
“Makan siang kepala lo,” ujarnya kesal. Crisy mengambil piring dan gelas kosong dari atas meja membawanya ke tempat peralatan kotor barulah berderap pergi dari cafetaria. Langkahnya disusul Rio yang menenggak minuman botol dingin.
“Mm ….” Rio menelan minumannya sebelum kembali bicara. “Lo sudah pernah ketemu Pak Devan belum?” Crisy menggeleng.
“Kemarin saat dia datang kan gue nggak ada di kantor,” jawabnya.
“Eh iya, gue lupa.” Rio dan Crisy masuk lift menuju lantai lima belas. Namun, sebelum itu, Crisy masih sempat singgah ke toilet untuk membersihkan sisa-sisa makanan yang mungkin sedikit tersisa di mulutnya. Ia juga memperbaiki make-upnya.
“Gue rasa Pak Devan mau ngomongin soal proyek lo, coz tadi Bu Farah berpesan agar lo nyiapin semua berkas terkait program ECV.”
“Benarkah?” sambut Crisy berbinar.
“Ya gue nggak yakin juga, itu sih perkiraan gue,” jawab Rio kemudian menghabiskan sisa minumannya.
“Tapi gue berharap itu benar sih. Secara menurut gue nih, ya. Program lo jauh lebih keren, jika dibandingkan milik Deswita maupun Ilham. Yah kalau gue jadi Pak Devan pasti akan memilih program lo buat program unggulan perusahaan tahun depan.”
“Ya itu kan karena lo sahabat gue.” Lift berhenti tepat di lantai lima belas. Bergegas Crisy dan Rio menuju ruang divisi mereka. Crisy mengambil semua berkas yang dua hari lalu sempat ia lemparkan ke sudut ruangan. Untung saja masih terlihat rapi dan tidak ada lipatan sedikit pun. Ia membenarkan penampilannya ketika tiba-tiba Bu Farah membuka pintu. Crisy dan Rio pun menoleh hampir bersamaan.
“Cris, oh syukurlah kamu sudah di sini. Cepat ke ruang direktur. Dari tiga kandidat cuma kamu yang belum ada melapor ke sana. Tadi asistennya marah-marah sama ibu.”
Crisy menelan ludah kasar, jadi sedikit tegang karena ucapan Bu Farah kepala divisinya. Ia pun berjalan sedikit tergesa dengan semua persiapan materinya. Namun, sebelum pergi, tak lupa berterima kasih pada Bu Farah. Sementara Rio mengepalkan tangan sambil berteriak 'Fighthing!' Dalam waktu kurang dari tiga menit Crisy sudah ada di depan ruangan direktur. Jantungnya berdetak kencang, berharap agar programnya dipertimbangkan. Dia memindai penampilannya. Merapikan rambutnya yang tergerai, menyecap bibir agar lipbalmnya teraplikasi merata barulah mengetuk pintu.
“Masuk.” Suara berat seorang pria menyapa indranya. Crisy mendorong pintu penuh percaya diri. Meski jantungnya masih bermaraton. Gugup.
“Siang Pak,” ucapnya, sedikit membungkukkan badan sopan.
“Siang, kamu yang namanya Crisysian Valenci?” Pak Devan mengangkat wajah, mengalihkan tatapannya dari tumpukan berkas di atas meja, ke gadis yang berdiri tak jauh di depannya sambil memegang map berwarna biru.
“Iya, Pak. Itu saya.”
“Hm.” Pak Devan manggut-manggut menelisik penampilan Crisy dari bawah ke atas. Membuat Crisy sedikit gugup juga bingung. Pria di depannya ternyata cukup tampan dan masih muda. Rasanya belum cocok jika sudah berstatus ayah tiga anak. Sempat berpikir mungkin ia salah informasi tentang hal itu, Crisy jadi teringat ucapan Rio dua hari lalu. Apakah ia memang harus menggoda, ah mendekati Pak Devan?
“Apa yang kau pikirkan?” Crisy tersentak, tahu-tahu Devan sudah ada di depan matanya.
“Ah tidak ada.” Crisy menggeleng, wajahnya merona. Devan melihat hal itu hanya tersenyum simpul.
“Berikan laporan programmu,” pinta pria itu. “Dan jangan berpikir untuk menggoda saya.”
Crisy mendelik tajam, merasa seolah ditelanjangi dan direndahkan. Lalu menyerahkan map biru di tangannya dengan sedikit kasar. “Semiskin-miskinnya saya, saya tidak dilahirkan jadi w*************a. Jadi Anda jangan bicara sembarangan.”
Devan terdiam, gerakannya bagai slow motion menanggapi map yang tersodor ke tangannya. Kembali menelisik wajah cantik Crisy yang tanpa diduga mengeluarkan kata-kata sarkas dihari pertama pertemuan mereka. “Untuk seseorang yang ingin program kerjanya disetujui dan menginginkan bonus dan jabatan, kamu tipe pegawai yang tidak memiliki etika bicara dengan atasan. Mau programmu kubuang di tempat sampah?”
“Dibuang atau tidak saya hanya mencoba membuat gebrakan yang akan menguntungkan perusahaan Anda. Urusan bonus yang saya terima nanti, saya tahu itu hanya akan berasal dari sebagian kecil profit yang akan Anda dapat dari program unggulan ini. Jadi saya tak akan menghalalkan segala cara hanya untuk membuat program itu disetujui. Karena toh akhirnya yang akan semakin kaya adalah Anda.”
“Wow! Sarkastik girl.” Devan menyeringai, melempar map biru itu ke atas mejanya lalu berdiri dengan tubuh menyandar pada meja dan tangan bersidekap di depan d**a. Memandang angkuh pada sosok Crisy, yang bergeming dengan keangkuhan yang sama.
“Saya tak pernah tahu, ada pegawai sekasar ini di perusahaan saya. Cukup percaya diri. I love it. Tapi saya ingin lihat seberapa percaya diri kamu menjelaskan program yang katamu program unggulan itu.”
“Tentu saja, saya akan menjelaskannya dengan senang hati,” jawab Crisy penuh percaya diri. Baru kemudian berbicara panjang lebar tentang keunggulan programnya itu. Diikuti gesture tubuhnya yang elegan, menunjukan seberapa cerdas dan berkompetennya gadis itu. Devan mematung, meski memasang wajah datar, dalam hatinya ia menyunggingkan senyum. Hingga Crisy menyelesaikan semua penjelasannya, tak sekalipun ia mengalihkan attensinya dari gadis itu.
“Cukup menarik,” ucapnya kemudian sambil bertepuk tangan. “Jika kamu berhasil, negara mana yang akan kamu tuju untuk liburan? Kamu tahu, perusahaan harus memperhitungkan seberapa besar cost yang harus dikeluarkan untuk liburanmu nanti.”
“Saya kira perusahaan sudah memiliki kalkulasinya sendiri untuk itu, karena itulah presdir sebelum Anda berani membuat sayembara ini.”
“Sayembara ...?” dua sudut bibir si boss melengkung ke bawah, tandanya ia sedikit tidak terima dengan istilah itu. Sesaat Devan melangkah menuju kursinya dan duduk di sana. Sudut matanya menatap map biru yang tergetak di atas meja. Menghela napas singkat ia kembali menatap Crisy. “Apa alasan utamamu mengikuti sayembara yang kamu katakan tadi?”
“Ibuku ... aku harus mencari ibuku.”
***
Devan menautkan kesepuluh jarinya di atas meja. Di bawahnya ada map biru milik Crisy. Ketika pintu ruangan itu terbuka, ia pun menyeringai. Melempar map tadi ke arah orang yang baru saja berderap masuk. “Crisysian Valenci, programnya cukup bagus menurutku. Namun, hanya mendapat respon positif 30% dari para pemegang saham.”
Pria yang baru saja datang, duduk di sofa sambil membuka map biru itu. Membaca semua yang tercetak di sana sambil mendengarkan ocehan Devan.
“Sarkastik girl, percaya diri, cukup cantik. Kurasa akan cocok jika berperang denganmu setiap hari.”
Pria itu mendesis. Tersenyum menyeringai ketika menemukan foto Crisysian. “Rupanya dia,” gumamnya.
“Eh?” Sedikit terkejut Devan, mengangkat alisnya. “You know her?”
“Sassy girl,” gumamnya sebagai jawaban atas pertanyaan Devan. “Terima program itu, biar aku yang jadi patnernya nanti. Aku ingin mengenal gadis itu lebih banyak.”
***
"Menyebalkan." Clary mendengkus kesal sambil menghempaskan dirinya di atas sofa. Tanpa disadarinya Rio sedang memerhatikannya sejak tadi.
"Lo kenapa lagi, Nona galak? Bagaimana hasilnya setelah bertemu Pak Devan."
"Bagaimana apanya? Dasar bos songong, baru ketemu sudah ngundang emosi. Rasanya pingin gue hajar, syukurnya dia tampan, kalau tidak pasti sudah gue tujes-tujes pakai sepatu gue."
Rio tertawa ngakak. "Dasar gadis galak. Pantas saja pacar lo nggak betah."
"Diam lo Rio. Pakai bawa-bawa pacar segala. Mau mati lo."
"Ups, maaf. Ya, udah gue ambilin minum biar otak lo tuh adem. Mau es buah Pak Lim, nggak?" tanya Rio.
Tanpa sadar Crisy sudah membayangkan rasa es buah milik Pak Lim penjual es pinggir jalan di depan kantor.
"Sekalian belikan aku martabak juga, ya," pesan Crisy ketika Rio akan menghilang di balik pintu kaca.
"Dasar maruk, lo!" jerit Rio.
Sementara Crisy terkekeh. "Lo yang terbaik, Rio!" teriak Crisy membalas jeritan sahabatnya, meski ia tahu Rio tak akan bisa mendengarnya.
Sementara Rio pergi membelikannya es buah itu, Crisy kembali pada pekerjaannya. Namun, konsentrasinya buyar setiap mengingat perlakuan Devandra tadi.
"Dasar bos sialan, baru datang sudah membuat gara-gara," gumamnya ketika dering telepon membuyarkan kekesalannya.
"Kantor Travel J pusat dengan Crisysian di sini, ada yang bisa saya bantu?"
"Iya, Crisy, hanya kaulah yang bisa membantuku."
Crisy membungkam mulutnya ketika mendengar suara di seberang sana.
"Crisy, aku tahu kau masih marah, tapi tolong izinkan aku untuk bertemu. Beri aku waktu. Tidak banyak, Crisy, hanya lima menit itu sudah cukup bagiku."
"Kau akan mendapatkan waktumu saat aku menginginkannya, bukan saat kau memintanya, Sudahlah, jangan menggangguku. Aku sedang sibuk."
"Crisy, Sayang, dengar dulu ... aku tahu aku salah tapi ...."
Tut, tut, tut.
Tanpa aba-aba Crisy langsung menutup teleponnya sepihak. Ia mengela napas. "Kenapa akhir-akhir ini semua kesialan datang padaku, nggak Kenzo, nggak si Devan sialan itu."
Crisy menelungkupkan wajahnya di atas meja. Rasanya melelahkan harus bertarung dengan masalah setiap hari. Ini membuat konsentrasinya buyar begitu saja, dan tak berniat lagi menyelesaikan pekerjaannya.
Tak berapa lama Rio datang membawa dua bungkus es buah dan martabak. "Makanan datang!" jerit Rio, tetapi kemudian suaranya terhenti ketika dilihatnya Crisy tengah menelungkupkan wajahnya. "Cris ... lo nggak papa, 'kan?"
Rio menyentuh bahu gadis itu. "Lo nangis hanya karena Devan bersikap bosy sama elo?"
"Kenzo ... Kenzo barusan nelepon gue."
Mendengar nama Kenzo keluar dari bibir Crisy, Rio pun menarik kepala wanita itu dan memeluknya erat. "Sudah tenanglah, jangan dipikirkan. Pria b******k itu lupakan saja."
"Tapi, dia nelepon gue, Rio ... dia terus meminta bertemu, Rio."
Rio mengurai pelukanya, menangku wajah gadis itu dengan kedua tangannya. "Lupakan dia, dan kuatkan diri lo. Apa lo bisa bertahan untuk tak kembali padanya jika lo bertemu dengannya sekarang? Seluruh kenangan tentangnya masih membekas dalam ingatan lo, Crisy, dan dia akan manfaatin lo. Manfaatin perasaan lo untuk bisa nyakitin lo lagi dikemudian hari."
"Lo benar, harusnya gue bisa bertahan dan nggak terpengaruh dengan sikapnya, Rio. Terima kasih, lo teman terbaik gue," sahut Crisy. "Sekarang mana esnya, Rio. Mungkin saja es itu bisa benar-benar mendinginkan kepala gue."
"Bagus inilah yang gue suka dari lo, Cris. Lo sangat tangguh." Rio pun berderap menyiapkan es yang dibelinya. Mereka pun menikmati es itu dengan canda tawa.