“Argh ...! Menyebalkan!” Crisy menoleh, menatap tajam ke arah dua orang pria yang tengah membersihkan tubuhnya yang basah berlumuran jus strawberry. Sedikit kesal, ah bukan sedikit, tapi, sangat kesal pada dua pria itu. Bagaimana tidak, satu di antara dua pria itu sudah dengan lancang mengotori pakaiannya dengan ....
Sumpah, Crisy tak mau mengingatnya. Ia melempar tissue yang telah kotor setelah digunakannya untuk membersihkan baju ke tong sampah, barulah berderap pergi dari sana.Ini merupakan kesialan keduanya selama sebulan terakhir, setelah beberapa minggu lalu bertemu dengan, Ken. Ya, Kenzo Adi Pratama. Si cowok beken yang jadi pacarnya sejak dua tahun lalu dan kedapatan keluar dari kamar hotel dengan seorang wanita. Bukankah itu penemuan yang ... wow?! Lalu sekarang pemuda itu menstalkingnya hingga ke hal-hal terkecil karena Crisy sama sekali tak menanggapi apa pun yang dia lakukan meski telah berjuang keras untuk membuatnya kembali.
“Ini bukan lagi soal cinta dan tidak.” Kalau kata Crisy. Namun, lebih pada soal komitmen, kepercayaan dan kesetiaan. Yah, hanya itu. Crisy hanya menginginkan hal itu. Tak peduli seberapa kayanya keluarga Adi Pratama, Crisy akan tetap mendepaknya dari daftar calon suami ketika kepercayaannya dipermainkan. Crisy bukan perempuan lemah lembut, pemaaf yang dengan rela menyerahkan dirinya untuk ditindas berulang-ulang hanya dengan kata maaf dan gombalan ala abege. No! Big No! She is a strong women, meski tak sekuat Wonder Women. Namun, setidaknya ia punya pendirian dan mental yang tangguh.
Sakit? Tentu saja Crisy sakit. Memangnya wanita mana yang tidak sakit hati setelah mengetahui kekasihnya selingkuh? Memporak-porandakan semua rencana yang sudah ia bangun untuk meniti masa depan bersama. Menjadi seorang ibu, untuk dua atau tiga orang anak sesuai program KB yang digadang-gadang pemerintah meskipun belum juga berhasil. Tentu saja sebuah peribahasa kuno mengambil porsi hampir 90% sebagai penentu keberhasilan program itu.
Peribahasa yang sudah mengakar dan mendarah daging dalam jiwa setiap warganya yakni, 'Banyak anak banyak rejeki'. Padahal justru dalam kenyataan adalah banyak anak banyak pengeluaran. Sementara ketika mereka berhasil mendapatkan sedikit rejeki, maka mereka akan menikah dan meninggalkan orang tuanya. Misalnya, mmm ... seperti Carlos kakaknya. Ah sudahlah, lupakan semua itu. Crisy melirik jam tangannya. Kembali menghela napas kesal sebelum mengambil ponselnya.
“Rio, bisa lo undur jam meeting hari ini? Hanya satu jam.” Crisy mendengkus sebal mendengar jawaban Rio dari seberang sana. Namun, berusaha untuk sabar, kembali menjawab dengan lembut meski masih saja terdengar sangar.
“Ada i***t aneh yang tiba-tiba ... ck, sudahlah, nanti gue ceritakan. Yang jelas sekarang gue harus pulang untuk ganti baju,” jawab Crisy sebelum mematikan ponselnya. Memasukkan benda pipih itu ke dalam tas dan bergegas masuk ke dalam mobil meninggalkan restaurant tadi. Jangan lupakan sambil menggerutu.
***
“Jadi, berapa banyak akhirnya pemegang saham yang tertarik dan mungkin menyetujui program baru itu dikerjakan?”
Rio berdiam diri sesaat, mencoba menghitung berapa persen dari seluruh pemegang saham yang menunjukkan minat pada lounching program baru mereka. “30%,” jawabnya kemudian.
Crisy mendecak sebal. “Itu makanya aku minta undurkan rapatnya, tapi kalian malah ... ah!” ucapnya geram. Jika di dalam rapat awal saja responsnya sudah serendah itu, lalu bagaimana peluncuran E-card itu bisa dilakukan. Padahal Crisy sudah menguras otaknya dengan teramat sangat, mencari kelemahan dan keunggulan dari E-card yang dikeluarkan bank lain selama ini, agar ia bisa memunculkan E-card yang baru dan lebih diminati masyarakat. Namun, jika hasilnya seperti ini maka semua akan sia-sia. Haruskah ia mengaku kalah sekarang? Entahlah. Otaknya sedang buntu dan kesal karena kejadian tadi.
Economic Card Visitor adalah bentuk dari kartu keanggotaan yang didapat setelah seorang customer melakukan pendaftaran pada perusahaan traveler itu. Perusahaan kemudian akan mendaftarkan customernya ke bank yang pelanggan inginkan sesuai rekening yang mereka miliki. Selanjutnya pihak bank yang dituju akan mengeluarkan alat p********n yang akan berlaku di seluruh negara.
Keuntungan dari ECV adalah, bahwa pelanggan tak harus membayar hingga puluhan juta untuk bisa melakukan traveler keluar negeri. Perusahaan dan semua bank yang diajak bekerjasama nanti akan membackup saldo dan jumlah uang yang dibutuhkan pelanggan selama perjalanan wisatanya. Ini hampir mirip seperti kartu kredit yang dikeluarkan oleh bank-bank pada umumnya. Hanya saja, ECV memberikan jaminan agar penggunaan saldo tidaklah kebablasan. Jadi negara tujuan dan jumlah p********n akan dibicarakan dengan pelanggan, hingga mereka tak akan terbebani cicilan yang berat tiap bulannya.
Di samping itu, saldo rekening pemegang kartu bisa dipotong lebih dulu sebagai bentuk simpanan, sehingga jika ia melakukan perjalanan wisata, mereka tak akan memikirkan pencicilan lagi karena mereka telah mencicil di awal. Dan, yang paling menarik adalah suku bunganya terbilang rendah. Jauh lebih rendah dari cicilan pinjaman bank pada umumnya. Pihak bank yang akan terlibat dalam pembuatan ECV sudah didaftar cukup banyak. Namun, jika rapat intern perusahaan saja belum menemukan titik temu, bagaimana Crisy bisa melakukan rapat kembali dengan bank-bank terkait.
“Argh!” Crisy menghentak kakinya hingga heels sebelas centinya terlepas. Rio melongo melihat tingkah gadis di depannya. Sefrustasi-frustasinya Crisy selama ini ia tak pernah terlihat seperti itu.
“Ini gara-gara dua pria sialan itu!” berang Crisy sambil membanting notulen rapat yang dipegangnya.
“Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa kau bisa terlambat? Padahal kau bilang sudah di Restaurant Mon-Mon untuk sarapan sebentar.” Rio mengambil heels Crisy yang terlempar mengenaskan di sudut ruangan. Crisy mendecak sebal.
“Ini gara-gara ada dua pria tengil yang baru pulang dari klub di jam tujuh pagi, lalu masuk restaurant itu dan mengoceh tidak jelas, mengganggu para pelanggan dan ... you know what? They make me crasy with ... argh!” Kembali Crisy menggeram.
“Wait ... jangan bilang mereka ....” Rio menatap jijik.
“Serius? Mereka muntahin lo?!” teriaknya kemudian. Crisy mendecak makin kesal.
“Ya elah, nggak usah teriak kali,” gerutunya. Rio pun mengulum tawa, ingin ngakak, tapi takut dosa. Akhirnya, ia hanya cengengesan membuat Crisy makin kesal.
“Dah, ah. Keluar sono lo. Gue udah nggak butuh lo di sini!” hardik Crisy. Rio pun tertawa, melangkah menuju pintu kaca yang membatasi ruangan itu denga koridor di luar sana. Namun, baru saja tubuh pria itu tertelan pintu. Ia kembali lagi membuat Crisy mengerutkan dahi.
“Ada apa lagi?”
“Gue baru ingat, ada bocoran soal perubahan keputusan para pemegang saham itu.” Crisy mengangkat kepala, sedikit tertarik dengan apa yang akan dikatakan oleh Rio.
“Putra presdir, dia akan datang dari Melbourne besok. Lo dekati dia, sebab seluruh pemegang saham sangat menanti gebrakan yang akan dikeluarkan CEO baru itu.”
“Pergi sana, mau muntah gue denger lo ngomong. Gue pikir lo mau kasi saran bagus apaan, rupanya lo mau gue jadi gundik pria tua itu,” sarkas Crisy.
“Yah, dibilangin juga. Lo kan nggak harus jadi gundiknya kali, Cris. Cukup adakan pendekatan internal agar dia setuju. Bayangin promosi jabatan yang akan lo dapat jika program kali ini berhasil. Lantai lima belas ini bakal berada di bawah kendali lo.”
“Dan berapa uang yang bisa lo dapat setelah kenaikan jabatan itu.” Rio sekarang tak hanya berdiri, melainkan duduk di depan Crisy sembari mengkalkulasi keuntungan dan fasilitas yang akan didapat Cris jika berhasil dengan program baru yang dirancangnya. Ada tiga kandidat yang diajukan dalam promosi jabatan kali ini. Menjadi assisten presdir dan liburan penuh selama satu bulan di negara manapun yang diinginkan.
Itu artinya, Crisy punya kesempatan besar untuk mencari keberadaan ibunya. Yang menjadi alasan baginya untuk mengajukan diri meskipun awalnya ia bukanlah kandidat utamanya. Di samping itu masih ada fasilitas lain berupa rumah dan mobil. Juga bonus melimpah jika programnya benar-benar berjalan dengan baik. Crisy sempat terlena sesaat. Namun, kenyataan kembali menyadarkannya dari lamunan. Mendekati atau menggoda putra presdir terdengar sama buruknya, meskipun tampak memiliki konotasi yang berbeda.
Maka alih-alih ia mengangguk, Crisy akhirnya mengusir Rio yang berteriak tak terima. “Ah sudahlah. Bosen gue,” gerutunya kemudian, lalu melempar map di tangannya ke atas tumpukan berkas di sudut ruangan.
“Mungkin bukan rejeki gue, masih mending kalau putra presdir itu bujangan tampan. Masih enak buat digoda. Lah ini ... sudah tua beranak tiga, ntar gua digampar sama bininya. Boro-boro dapat promosi. Adanya gue ditendang dari perusahaan.” Crisy terus bergumam sambil menekan pangkal hidungnya. Harus ada cara lain agar programnya disetujui dan diloloskan sebagai proyek utama perusahaan kali ini.
Meski berniat mengabaikan pengajuan itu, nyatanya netra Crisy masih terus memandanginya dengan perasaan kesal. Sampai kemudian Bu Farah atasannya memanggil.
"Crisy, bisa keruangan ibu sebentar?" Bu Farah memuculkan wajahnya di balik pintu.
Crisy pun mengangguk. "Iya, Bu," sahutnya lalu mendorong kursi kerja yang didudukinya. Bangkit berdiri dan berderap menjauhi ruangannya mengikuti langkah kaki Bu Farah.
"Crisy, ibu minta maaf karena tak bisa memperjuangkan programmu di hadapan para pemegang saham. Tapi, besok saat Pak Devandra datang, ibu akan mengajukan kembali programmu. Beliau orang yang sangat berpendidikan, jadi ibu yakin beliau akan bisa melihat keunggulan programmu. Kau harus sabar, ya."
"Iya, Bu Farah, tak apa-apa. Mungkin belum jatah saya juga," sahut Crisy sambil mendudukkan dirinya di kursi berseberangan dengan Bu Farah. "Tapi terimak kasih karena Ibu sudah selalu menuduk saya. Itu sudah cukup bagi saya untuk bisa bertahan dan berjuang lebih lagi."
"Iya, Crisy. Sabar, ya." Bu Farah menepuk pundak bawahannya dengan penuh rasa keibuan. "Oh ya, aku memanggilmu kemari karena ada tugas khusus yang ingin kuberikan padamu."
"Tugas apa, Bu?"
"Besok pagi kau berangkat ke Bandung. Tinggallah di sana selama tiga hari. Akan ada meeting khusus dengan pihak travel Bandung City yang akan menjalin kerjasama dengan kita terkait pengajuan pengembangan usaha mereka menjadi travel yang melayani perjalanan mancanegara."
"Oh iya, Bu. Saya ingat pengajuan itu sudah dilakukan seminggu yang lalu. Jadi saya berangkat dengan siapa?"
"Leny akan menemanimu. Jadi ini surat semua laporan yang akan kau butuhkan besok. Aku percaya kau bisa menanganinya dan bisa menilai apakah mereka cukup pantas menjadi mitra kita atau tidak."
"Baik, Bu Farah." Crisy menerima berkas yang disodorkan Bu Farah. Membuka dan membacanya sekilas, lalu menutupnya kembali. "Akan saya pelajari berkas ini malam ini."
"Terima kasih, besok Leny akan menjemputmu memakai mobil kantor. Jadi kau tak perlu singgah ke kantor lagi. Kalian langsung berangkat dari rumah saja."
"Baik, Bu. Kalau begitu sekarang saya permisi."
"Hmm ... terima kasih, Crisy, semoga sukses."
Setelah pembicaraan itu, Crisy pun keluar ruangan Bu Farah. Tungkainya melangkah pelan menuju ruangannya kembali. Ketika melewati ruang CEO, kakinya membeku. Sesaat menatap pintu ruangan itu, lalu menghela napas. "Haah ... semoga saja kau bisa mempertimbangkan pengajuanku seperti apa yang dikatakan Bu Farah dan Rio," ucapnya penuh harap, barulah kembali melanjutkan langkahnya.