9. POSITIF

1527 Kata
"Fay, please...jawab..." "Fay…" Fay yang sedari tadi hanya menangis langsung mengalihkan pandangannya pada seseorang yang duduk di sampingnya. "Sat, anterin gue ke apotek.”" "Buat?" pekik Satya. "Gue butuh testpack Sat, gue harus pastikan dia benar ada atau enggak di dalam perut gue,” ucap Fay dengan suara bergetar. Tangannya menggenggam tangan Satya penuh permohonan. Satya dibuat semakin terperangah. "Fay, lo udah---" Fay menundukkan kepalanya, tak lama ia mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh Satya. Hancur, kata itu lah yang terlintas di kepala Satya ketika sahabat masa kecilnya sekaligus gadis yang ia cintai secara diam - diam telah melakukan hal terlarang bahkan di usia yang masih begitu muda. Brak "Awwwh!” pekik Fay kala tiba - tiba lengannya ditarik dengan kasar oleh seseorang. Ia yang sedari tadi duduk terpaksa bangun karena tarikan tersebut. "Lepas Gha! Lo nyakitin Fay!” kata Satya coba menahan. "Diam lo! Jangan ikut campur, ini urusan gue sama Fay,” jawab Fagha dengan suara kerasnya. "Mas, lepasin...tanganku sakit,” pinta Fay lirih. Fagha langsung mengalihkan perhatiannya pada Fay. "Mas bilang apa La? Jangan deket - deket kan? Kenapa masih deket - deket sama Satya juga?" Bugh! "Ahh..." teriak Fay saat melihat Fagha tersungkur gara - gara pukulan seseorang. Bukan Satya, melainkan Lingga sepupu Fagha. "s**t!" maki Fagha sambil mengusap darah di sudut bibirnya. Ia mendongakan wajahnya lalu menatap Lingga dengan tajam. "Lo gila apa gimana sih Ling?" Fagha bangkit dan berdiri di hadapan Lingga. "Kenapa mukul gue?" Lingga memutar bola matanya malas. "Gue udah bilang berapa kali sih Gha, nama gue Lingga bukan maling,” tegur Lingga tak suka namanya tak sesuai dengan panggilan sesungguhnya. "Ah berisik lo! Minggir gue ada urusan sama Olla." Fagha mendorong tubuh Lingga, namun Lingga menahan dan berbalik mendorong tubuh Fagha. "Lo kasar sama Fay, gue enggak suka cowok kaya gitu sama cewek." Lingga langsung menoleh ke arah Satya. "Pulang deh lo sama Fay, Sat." Sontak Fagha membulatkan matanya. Ia tentu tidak suka dengan apa yang diucapkan Lingga pada Satya untuk membawa Fay pulang. "Eh apaan? Enggak! Gue yang pulang sama Fay." Fagha berusaha memberontak namun Lingga kembali berhasil menahannya. "Fay, pilih mau pulang sama Satya apa Fagha?" Fagha semakin geram dengan ulah sepupunya itu. Jika tidak ingat bahwa Lingga jago pencak silat dan bisa membuatnya bebak belur, sudah dirinya pastikan tinjuannya akan melayang mengenai rahang anak Deltafa Arman Hamid itu. "Lingga!" "Cepet Fay jawab!" Fay sempat berjengit karena terkejut dengan ucapan Lingga. "Aku...aku mau pulang sama Satya." "Fayolla!" Mata Fagha menatap tajam Fay yang kini terlihat ketakutan. "Tuh dengerin, Fay aja maunya pulang sama Satya. Jangan berlebihan deh jadi Kakak. Gue aja enggak pernah lo gituin, masa Fay lo gituin. Enggak adil lo namanya." Ucap Lingga panjang lebar sambil terus menahan tubuh Fagha sekuat tenaga. "Yaudah Sat, buruan bawa deh nih calon pacar lo. Gue yang urus abangnya nih." Satya pun mendekati Fay dan mengulurkan tangannya ke arah Fay. "Jadi Fay?" Fay menoleh kemudian mengangguk. "Jadi..." jawabnya sambil membalas uluran tangan Satya. Keduanya pun berjalan beriringan meninggalkan Fagha yang hanya bisa menatapnya dengan tajam sambil mengepalkan tangannya. Setelah Fagha dan Fay berlalu, barulah Lingga melepas cekalannya pada tubuh Fagha saat sepupunya itu menarik lengannya dengan kasar. "Sialan banget sih lo Ling? Lo bikin Fay pulang sama si Satya." Lingga terkekeh. "Lo aneh banget sih? Lo suka sama Fay apa gimana sih?" "Ya enggaklah, dia adik gue! Mana bisa gue suka sama dia." Lingga berdecak lalu memasukan salah satu tangannya ke saku. "Sikap posesif lo ke Fay tuh udah berlebihan Gha. Kalau lo cuma anggap dia adik, lo enggak akan segitunya lihat Fay jalan sama cowok lain." "Gue posesif ke dia itu karena gue sayang Fay, gue enggak mau lihat adik gue disakitin cowok apalagi tipe - tipe Satya gitu." "Tapi lo enggak segitunya ke Echa?--" Bibir Fagha terkatup tiba - tiba. Ucapan Lingga berhasil membungkam mulutnya. "Coba jawab gue, lo kenapa enggak seposesif itu sama Echa?" "Echa jelas - jelas adik lo, sementara Fay bukan?" "Ya..ya karena Echa masih kecil. Belum ada yang deketin." Lingga tersenyum sinis. Ia melangkahkan kaki hingga berhenti persis di samping Lingga. "Coba kita buktiin nanti, kalau Echa besar dan mulai ada cowok yang deketin. Kalau sikap lo ke Echa enggak segininya, berarti gue tahu jawabannya." Fagha membalasnya dengan seringai. "Trus kalo sikap lo ke dia apa namanya?" Lingga terkekeh. "Lo udah tahu jawabannya tanpa harus gue jawab kan apa arti sikap gue ke dia?" Lingga menepuk bahu sang sepupu pelan. "Gue duluan! Jangan macem - macem kalau lo enggak mau nyesel nantinya Gha!" Lingga pun kembali melangkahkan kakinya meninggalkan Fagha. Namun baru beberapa langkah kakinya berjalan, ia langsung menghentikan kakinya saat sosok dia yang baru saja menajdi topik pembicaraannya dengan Fagha muncul tak jauh dari tempatnya berdiri. Kedua pasang mata itu saling bersirobok penuh arti sebelum akhirnya gadis itu memilih memutuskan pandangannya dan memilih jalan lain untuk dilaluinya. Saat itulah, helaan nafas terdengar keluar dari bibirnya. "Huuuft...mau sampai kapan sih kaya gini terus?" *** "Fay, ban motor gue beneran bocor. Ada yang sengaja nusuk ban motor gue pakai pecahan beling,” ucap Satya menyesal. "Gimana dong? Lo mau jadi balik sama Fagha aja?" Fay langsung menggelengkan kepalanya. "Gue enggak mau, gue mau sama lo aja. Kan katanya lo mau nganterin gue pergi ke--" "Pulang sama Mas La!" Suara Fagha kembali terdengar. Fay memejamkan matanya sejenak sebelum memutar tubuhnya untuk melihat Fagha. "Enggak mas, Olla udah janji sama Satya buat pulang bareng." Fagha terkekeh. "Olla, lihat motor bututnya aja sekarang enggak bisa dipakai buat nganterin kamu. Trus kamu mau pulang naik apa?" Fay menyipitkan matanya. "Mas yang buat motornya Satya kaya gini?" Fagha berdecak. "Udah tahu kan? Makanya ayok pulang...." Fagha menarik lengan tangan Fay dengan paksa namun gadis itu menyentak. "Aku tetep bakal pulang sama Satya Mas, bukan sama Mas!" "Mau pulang sama dia gimana? Motor bututnya aja enggak bisa dinaikin, gimana mau pulang?" "Aku bisa jalan sama Satya, enggak masalah!" "Enggak ada! Kamu pulang sama Mas sekarang!" Fagha kembali menarik tangan Fay namun gadi situ kembali menyentaknya. "Enggak ya enggak, aku enggak mau tiba - tiba ditengah jalan diturunin lagi kaya waktu itu." Mata Fay langsung basah. Ia menatap Fagha yang kali ini hanya bisa diam membisu. "Mas selalu ada janji kan sama Naya sebelum dan setelah pulang jam sekolah, aku enggak mau ganggu waktu Mas sama Naya." "Mas batalin janji sama Sintya kan siang ini karena ada janji sama Naya? Trus mas langsung putusin dia tadi pas dia tanya kenapa mas batalin janji kalian? Sintya nangis di kelas Mas, dia sedih banget diputusin sama Mas tadi--" "--Jadi Mas pergi aja sama Naya, biar enggak sia - sia air mata Sintya yang keluar nangisin Mas." Fay pun memutar tubuhnya dan kembali berjalan mendekati Satya yang sebenarnya tadi hendak menahan Fay. Namun Fay mencegahnya agar dia yang menyelesaikannya sendiri dengan Fagha. "Acara Mas sama Naya enggak jadi, Naya harus kontrol ke rumah sakit jadinya Mas pikir lebih baik kita pulang bareng La." Fay menitihkan air matanya. Hatinya begitu sakit saat menyadari Fagha cuma menganggapnya pelampiasan saat Naya tak bisa berada didekatnya. "Maaf mas, tapi Fay udah ada janji buat makan es krim sama Satya. Mas pulang duluan aja dan hati - hati. Assalammualaikum..." "Yuk Sat..." Satya pun mengangguk. Keduanya pun berjalan sembari menuntun motor Satya menuju bengkel terdekat. "Walaikumsallam,” sahut Fagha lirih. Mau tak mau ia harus rela melihat Fay yang lebih memilih untuk pergi bersama Satya. Sementara Fay berusaha menguatkan hatinya. "Sesakit ini ya rasanya cuma jadi cadangan?" *** "Ini Fay, coba dipakai dulu. Kata mbaknya ini yang paling akurat." Ucap Satya pelan sembari mengulurkan kantung plastik berisi testpack yang baru dirinya beli untuk Fay. Fay mengangguk dan menerimanya perlahan. Kedua matanya menengok ke kanan dan kiri, banyak orang yang sedang memperhatikan keduanya sambil berbisik - bisik. "Mereka ngomongin kita ya Sat?" Satya terkekeh sambil mengikuti rah pandangan Fay. "Jangan dipikirain, yuk kita coba dulu. Katanya kamu mau tahu ada dia apa enggak di dalam perut kamu?" Fay mengangguk cepat. "Jangan disini ya? Kita coba di tempat lain aja gimana?" Satya mengendikan bahunya. "Yaudah, ayuk..." Keduanya pun berjalan beriringan keluar dari apotek. Fay dan Satya sepakat untuk mencobanya di kedai es krim yang sering keduanya kunjungi. Setelah keduanya sampai di kedai es krim, Fay dan Satya lebih dulu memesan Es krim lalu memilih tempat duduk. "Mau dimakan dulu es krimnya apa mau dicoba dulu testpacknya?" Fay mengigit bibit bawahnya. Ia mengeluarkan bungkusan berisi testpack itu dari dalam tasnya. "Gue takut..." "Kalau lo takut, lo enggak akan tahu dia beneran ada di perut lo apa enggak Fay." Fay menunduk. Namun ia kembali mengangkat kepalanya saat Satya menarik tangannya di atas meja dengan lembut. "Gue bakal disini, disamping lo apapun yang terjadi." Ucap Satya penuh keseriusan. "Lo bakal tetep jadi temen gue kan setelah lo tahu kalau gue udah enggak--" "Jangan berfikir macem - macem, gue bakal selalu ada buat lo selamanya." Senyum mengukir di bibirnya. Fay menarik nafasnya dalam - dalam. Setelah itu ia berjan menuju kamar mandi yang berada di dalam kedai yang sedang tidak ramai tersebut. --- Tangan Fay bergetar hebat, kedua matanya mulai basah saat menatap benda persegi panjang yang berada di tangannya. Kakinya benar - benar terasa lemas bahkan sekedar untuk berjalan kembali ke mejanya dengan Satya. Hingga akhirnya ia luruh di lorong kamar mandi dengan wajah yang telah basah karena air mata. "Fay..." Teriak Satya yang memutuskan untuk menyusul Fay karena merasa khawatir karena Fay yang tak kunjung kembali. Ia langsung menghampiri Fay dan menopang tubuh gadis yang terlihat rapuh itu. "Fay, lo kenapa? Fay..." Fay yang terisak lalu menyerahkan testpack yang berada di tangannya ke arah Satya. Satya pun menerima dan melihat ada dua haris merah yang terlihat jelas di benda tersebut. "Ini?" tanya Satya dengan suara bergetar. Sepasang matanya pun telah penuh dengan air mata. Fay menangis kencang. Ia memeluk tubuh Satya yang juga terasa lemah setelah melihat kenyataan yang begitu memilukan. "Dia ada diperut gue Sat, dia...dia datang buat nemenin gue..." ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN