4. BUKAN AKU

1383 Kata
Kicauan burung pagi ini mengiringi langkah seorang gadis yang telah lengkap dengan seragam khas siswa SMA. Ia baru saja keluar dari kamarnya yang berada di lantai dua sembari bersenandung merdu menuju lantai satu kediaman Algani Prama Rianda - ayah angkatnya. Fayolla Alandari, namanya tercetak jelas di bedge yang berada di seragam putih yang dilengkapi dengan dasi dan rok sebatas lutut dengan warna senada. Gadis cantik berambut panjang itu tersenyum lebar kala melihat sosok sang papa tengah sibuk menyiapkan menu sarapan untuk mereka. Cup "Selamat pagi papa ku tersayang,” sapa Fay  setelah mencium pipi Gani, salah satu aktivitas yang selalu mereka lalui setiap pagi. Gani tersenyum lebar. "Pagi juga cantiknya papa, sini cepetan duduk. Sarapan dulu, ada nasi goreng sosis nih." Mata  Fay seketika berbinar saat melihat meja makan yang telah dilengkapi dengan nasi goreng beserta kawan - kawannya. Tak lupa segelas s**u juga telah disiapkan duda yang masih terlihat gagah diusianya yang tak lagi muda itu. "Papa apa bibi yang buat?" tanya Fay sembari menarik kursi yang akan ia duduki. "Papa dong, masa kamu enggak hafal bau masakan papa sih,” gerutu Gani yang jelas memancing gelak tawa Fay. "Iya - iya, jangan ngambek ah pa. Nanti makin jauh jodohnya." "Fay,” tegur Gani sambil menggeleng - gelengkan kepalanya yang disahuti dengan sebuah cengiran dari Fay. Sepasang ayah dan anak perempuannya itu pun memulai ritual makan mereka bersama. Perbincangan - perbincangan kecil juga menemani keduanya sepanjang sarapan itu berlangsung hingga makanan di piring mereka pun tandas. "Fay, papa nanti siang harus ke Makassar buat cek usaha papa disana." "Loh kok mendadak?" Gani menghela nafas. "Ada masalah teknis dan papa baru dapat kabar tadi subuh, jadi papa baru bisa berangkat nanti siang." Fay mengangguk pelan lalu meraih gelas susunya untuk ia habiskan. "Kamu enggak apa - apa kalau papa tinggal? Selama papa pergi kamu di rumah ayah dan ibu aja ya?" Fay buru - buru menggeleng. Bukannya ia tak mau menginap di rumah Hyra dan Galang, selain takut merepotkan ia juga sedang berusaha membatasi interaksinya dengan seseorang yang sering kali membuat jantungnya berdisko ria saat mereka bersama. Alasan lain yang menyebabkan Fay sedikit menghindar dari orang tersebut karena ia tak ingin terluka lebih dalam saat menyadari orang yang telah membuatnya jatuh cinta itu ternyata tak memiliki perasaan yang sama untuk dirinya, tetapi untuk gadis lain. "Enggak usah deh pa, Fay di rumah aja." "Eh, sendirian?" Fay menganggukan kepalanya cepat. Gani tentu menolak usulan anak perempuannya itu. Ia langsung menggelengkan kepalanya. "Enggak ah, mana papa tega. Bibi enggak bisa nginep hari ini. Anaknya lagi sakit sayang, papa enggak mungkin minta tolong bibi buat nemenin kamu di rumah." "Emang papa berapa lama? Paling malamnya juga pulang kan?" Gani menghembuskan nafasnya. "Kali ini papa enggak yakin bisa pulang cepet, makanya papa khawatir ninggalin kamu sendirian." Fay terkekeh. "Pa, Fay udah gede loh. Kalau cuma ditinggal beberapa hari sama papa aja Fay berani kok." "Fay, bukan masalah berani apa enggaknya tapi--" "Maaf Pak, Mbak Fay..." Fay dan Gani sontak menoleh ke arah asisten rumah tangga mereka. "Iya kenapa Bi?" tanya Gani pelan. "Itu pak, temennya Mbak Fay datang, katanya mau jemput Mbak Fay ke sekolah." "Teman?” tanya Gani bingung sembari menoleh ke arah sang putri. "Ah, iya Bi...tolong bilangin ya bentar lagi Fay keluar." "Iya Mbak..." "Makasih bi..." Fay pun bergegas bangkit dari tempat duduknya untuk merapikan seragamnya. Tak lupa ia mengambil tas yang telah ia sampirkan di belakang kursi tempat ia duduk sebelumnya. "Fay? Temen siapa? Laki - laki apa perempuan? Bukannya kamu biasanya berangkat sama Mas?" tanya Gani tak sabar. Fay menggeleng pelan sambil meringis kecil. "Itu Satya pa..." "Satya?" Fay mengangguk. "Satya yang--?" "Iya, Satya temen Fay di panti dulu." "Kalian pacaran?" tanya Gani langsung pada intinya. Fay tertawa kencang. "Enggak lah, cuma teman aja. Sama kaya Fay sama yang lainnya." "Trus kalau kamu berangkat sama Satya? Mas gimana?" "Mas enggak jemput,” jawab Fay sambil mencoba tersenyum. "Kenapa? Tumben?" Fay tertawa kecil. "Sibuk sama pacarnya--" "--Ya udah ya pa, Fay berangkat dulu ya." Cup Sebuab kecupan Fay berikan di pipi Gani. "Assalamualaikum papa, jangan lupa oleh - oleh dari Makasar ya." "Fay...Fay..." Gani coba memanggil anak gadisnya itu, namun Fay menghiraukannya dengan terus berlari. Gani hanya bisa menggelengkan kepala lalu menghela nafasnya panjang. Sebuah senyum terukir di bibirnya kala melihat punggung Fay yang semakin menjauh. "Walaikummusallam..." "Papa pikir kamu sama Mas bisa dekat lebih dari sekedar saudara--" Gani kembali menggelengkan kepalanya. "--Ternyata kalian emang cuma saudara ya?" "Semoga sama siapapun kamu nanti, Fay tetap bahagia ya nak. Semoga dia bisa menjaga dan mencintai kamu lebih dari yang papa bisa kasih ke Fay. Aamiin." *** Brak Mata Fay sukses melebar dengan sempurna kala wajah seseorang dapat ia lihat dari cermin di hadapannya. Saat ini Fay tengah berada di dalam toilet siswa perempuan, tentu saja Fay dibuat panik saat melihat seseorang yang akrab ia panggil dengan sebutan Mas Aga itu ada di belakangnya. "Kamu ngapain Mas?" pekik Fay. Ceklek "Ngapain dikunci pintunya?" tanya Fay semakin panik. Fagha hanya mengendikan bahu, ia menyenderkan tubuhnya lalu menyelipkan kedua tangannya di saku celana sekolahnya. "Berangkat sama siapa tadi?" tanya Fagha sedatar mungkin. "Ha?" Fagha menghembuskan nafas. "Kamu berangkat sama siapa tadi La?" Tanya Fagha sekali lagi. "Sama temen--" Fay buru - buru berlari menuju pintu toilet untuk membuka kuncinya. Namun tangannya lebih dulu ditarik kencang oleh Fagha lalu tubuhnya didorong hingga tubuh Fay terkurung oleh tubuh lelaki yang beberapa tahun ini sukses membuat kerja jantungnya jauh lebih keras, persia seperti yang sedang terjadi saat ini. "Temen siapa?" "Mas, nanti ada orang salah paham kalau lihat kita gini." Fay mencoba mendorong tubuh Fagha agar menjauh dari tubuhnya. Terlalu lama dalam posisi seperti ini tentu membuat kondisi jantungnya semakin tak karuan. "Jawab dulu sama siapa? Kenapa akhir - akhir ini kamu ngehindarin aku ?" Tanya Fagha sambil terus menatap kedua mata Fay begitu intens. Fay meringis kecil. "Sama Satya Mas..." cicitnya. Fagha memejamkan matanya sejenak. Telapak tangannya tiba - tiba terkepal. "Kenapa berangkat sama dia?" "Ya...ya kan Mas enggak jemput aku, trus Satya nawarin berangkat bareng jadi aku pikir kan enggak masalah berangkat bareng." "Tapi kan enggak mesti sama temen cowok La, kalau di jalan dia ngapa - ngapain kamu gimana?" Tanya Fagha dengan nada frustasi. Kedua tanganya yang semula mengungkung tubuh Fay di dinding kini sudah ia tarik. Tubuhnya dan tubuh Fay yang semula tak berjarak pun kini sudah memiliki jarak. Fay kembali meringis kecil. "Aku kan kenal Satya dari kecil Mas, enggak mungkin lah Satya macem - macem sama aku." "Olla, walaupun kalian temenan dari kecil tetep aja dia cowok. Mas enggak bisa jagain kamu terus buat pastiin kamu baik - baik aja, makanya Mas enggak suka kamu deket - deket cowok lain--" "--Mas harus jaga adik - adik Mas kan?" Fay tersenyum kecut, selalu seperti ini. Ketika hatinya merasakan sedikit kebahagiaan karena mendapat perhatian dari seseorang yang ia cintai secara diam - diam, nyatanya orang itu selalu menghancurkan hatinya hingga berkeping - keping setiap kali ia menjelaskan bahwa hubungan mereka tidak lebih dari sekedar saudara. "Kok Mas tahu tadi aku enggak berangkat sendiri? Mas ke rumah?" Ada nada penuh harap di balik pertanyaan sederhana yang diutarakan Fay tersebut. Fagha menggeleng kepala pelan, sementara tangannya merapikan anak - anak rambut yang menutupi wajah cantik Fay. "Enggak..." "Terus?" tanya Fay penasaran. Fagha terkekeh. "Tadi Mas lihat kamu turun dari motor bututnya si Satya." Fay melebarkan matanya. Ia lalu memukul bahu Fagha dengan cukup keras. "Sembarangan, jangan suka menghina orang." Fagha mengendikan bahunya lalu berjalan menjauhi Fay menuju wastafel guna membasahi rambutnya dengan air. Fay pun mengejar Fagha, hingga keduanya bersebelahan dan sama - sama menghadap  ke cermin. "Kalau Mas udah tahu aku turun dari motor Satya kenapa masih nanya - nanya? Aneh banget." Dengus Fay . "Biar Mas tahu, Olla jujur apa enggak sama Mas." Sontak Fay mendelik. "Emang Olla pernah bohong sama Mas?" Fagha terkekeh lalu mencak rambut Fay dengan gemas. "Kan namanya juga jaga - jaga sayangku." Deg deg deg Sederhana, namun panggilan sayang itu selalu terdengar istimewa di telinga Fay. Tanpa pernah Fagha sadari ucapan sederhana itu sebenanrnya sanggup membuat tingkat kebaperan Fay pada Fagha meningkat tajam. "Eh...eh Olla, Mas punya kabar bagus. Mas mau cerita nih." "Ha? Kenapa Mas?" Fagha berdecak. "Dih, malah ngelamun." Fay terkekeh kecil. "Maaf deh maaf, kenapa Mas?" Fagha tersenyum lebar lalu menggeser tubuhnya agar saling berhadapan dengan tubuh Fay. Kedua tangannya bertengger indah di pundak Fay, tatapannya begitu berbinar kala menatap mata Fay. "Mas?" "Mas udah tahu nama cewek yang enggak bisa lihat itu." Ucap Fagha dengan riang. Binar bahagia jelas terpancar dari wajah anak lelaki dari seorang fotografer terkenal itu. Deg "Mas tadi nyamperin dia ke taman, jadi enggak bisa jemput kamu." Fay berusaha menciptakan senyumnya, walaupun canggung Fay tetap berusaha agar Fagha tak menyadari seberapa hancur hatinya detik ini. "Oh iya? Siapa namanya?" Fagha terkekeh kecil. "Naya, Vichela Nayasara--" Fay memejamkan matanya sejenak, berusaha menahan rasa sakit yang tepat bersarang pada ulu hatinya. "Dan Mas yakin, Naya itu cinta pertama Mas dan bisa jadi yang selamanya Mas cintai." ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN