5.FAGHA DAN KEMARAHANNYA

1559 Kata
Ting tong Ting tong Fay yang tengah menikmati malam minggunya dengan membaca n****+ pun mendengus kala suara bel terdengar begitu nyaring. Ia mendongak untuk melihat jam yang menggantung di dinding kamarnya yang ternyata sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. "Siapa sih malam - malam datang? Gangguin aja,” dengus Fay kesal. "Enggak mungkin papa kan? Papa aja baru telpon kalau emang enggak bisa pulang hari ini kok." Ting tong Ting tong "Iya iya...berisik banget sih!" Fay pun mendaratkan kakinya yang semula di atas ranjang kini berada di atas lantai. Ia pun melangkahkan kakinya keluar dari kamar dan terus berjalan menuju lantai satu. Langkahnya terhenti kala melihat sebuah sapu tergeletak tak jauh dari tempatnya berdiri. Fay segera mengambilnya untuk dijadikan alat perlawanan jika orang yang datang ke rumahnya malam - malam adalah seorang penjahat. Walupun hal tersebut kecil kemungkinannya karena area kompleks tempatnya tinggal merupakan kawasan elit dengan penjagaan ketat dua puluh empat jam. "Buat jaga - jaga, siapa tahu itu emang perampok,” gumam Fay sebelum melanjutkan langkahnya. Sambil mengendap Fay menggenggam gagang sapu dengan kuat. Ting Tong TingTong Jantung Fay semakin berdetak dengan cepat saat untuk kesekian kalinya suara bel kembali terdengar. Kali ini bahkan diselingin dengan suara ketukan pintu yang semakin lama temponya terdengar semakin cepat. "Olla, buka cepet La, Mas kedinginan..." Fay yang mendengar suara yang sangat ia kenali itu kemudian bergegas membuka pintu. Ia menghela nafasnya lega kala yang berada di hadapannya benar - benar Fagha, bukanlah penjahat yang sepat ia kira. "Mas ngangetin aja sih, aku kira penjahat tahu enggak?" Fagha hanya meringis, "Maaf deh, lagian kamu buka pintunya lama banget sih, ini mas kan abis kehujanan, dingin tahu cantikku..." Fay segera mengalihkan wajahnya ke arah lain, ia tak ingin Fagha melihat wajahnya yang memerah setiap kali Fagha memanggilnya dengan panggilan - panggilan manis yang sebenarnya bukan hanya Fagha tujukan padanya, tapi kepada semua gadis yang ia dekati. "La, Ma enggak disuruh masuk nih?--" "--Dingin banget loh ini,” ucap Fagha sambil tertawa kecil. Fay yang tersentak pun langsung menggeser tubuhnya, ia menarik pintu agar terbuka lebih lebar. "Masuk Mas, kasihan kamu badannya udah basah banget gitu. Nanti malah masuk angin lagi." Cup Fay melebarkan matanya kala Fagha berhasil mencuri satu ciuman di pipinya. "Makasih adik sayangnya Mas..." Fagha pun melenggangkan kakinya, meninggalkan Fay yang masih mematung di tempatnya berdiri sembari mengusap pipinya perlahan. Ini bukan yang pertama kali Fagha menciumnya, namun setiap kali Fagha memberikan sebuah ciuman entah di pipi maupun dahinya, jantung Fay selalu terasa akan copot. Sensasi yang diberikan dari sentuhan lembut bibir Fagha pada bagian wajahnya nyatanya memang membuat cinta dalam dirinya semakin membuncah. "Bisa kah kita lebih dari sekedar adik dan kakak? Bolehkah aku berharap rasa sayang yang kamu miliki buat aku berubah menjadi rasa cinta?" *** "Minum dulu deh tehnya Mas, biar badan kamu hangat,” ucap Fay sembari meletakan cangkir berisi teh lemon buatannya. Fagha yang baru saja mengganti bajunya dengan baju miliknya yang memang berada di rumah Gani itu pun justru tiba - tiba memeluk Fay dari belakang. "Enak juga peluk kamu, lebih hangat dari pada sekedar teh hangat." "Mas Aga, apaan sih..." ucap Fay sambil melepaskan tubuhnya dari pelukan Fagha. Bukan Fay tak mau dipeluk oleh Fagha. Pelukan Fagha menjadi salah satu pelukan terhangat bagi Fay setelah pelukan Gani yang dapat menggantikan pelukan kedua orangtuanya yang telah lama tiada. "Ih, kok di lepas sih La?" protes Fagha saat tubuhnya terdorong hingga pelukanannya ditubuh Fay pun terlepas. "Ya Mas peluk - peluk gitu sih.." "Katanya biar hangat, itu kan tadi cara Mas menghangatkan tubuh." Fagha menaik turunkan alisnya yang mengundang delikan tajam dari mata Fay. "Kalau mau hangat ya minum tehnya Mas, bukan malah peluk - peluk." "Yang dingin kan badan luarnya Mas, Olla sayang....bukan yang dalam. Jadi butuhnya pelukan bukan teh hangat." "Yaudah, siram aja tehnya ke badan Mas. Nanti juga hangat badan Mas yang bagian luar." Sahut Fay yang diakhiri dengan Fay yang memeletkan lidahnya untuk menggoda Fagha. "Eh - eh, kamu ngeledek Mas ya La, awas ya kamu?" Fagha pun akhirnya mengejar Fay yang sudah berlari lebih dahulu. Keduanya saling berkejaran di dalam kamar Fay hingga saling melempar bantal dan guling satu sama lain. Saat melihat Fay yang menaiki ranjangnya, Fagha memiliki ide untuk menarik tangan gadis itu agar Fay kehilangan keseimbangan agar Fagha lebih mudah untuk menangkapnya. Namun, Fagha ternyata salah perhitungan. Ketika ia menarik tangan Fay bukan saja Fay jatuh ke atas ranjang tetapi juga dirinya yang jatuh tepat di atas tubuh Fay karena tangannya yang juga ditarik oleh Fay. Seketika suasanya berubah menjadi hening. Tak ada satupun kata yang kluar entah dari bibir Fay maupun Fagha ketika wajah keduanya nyaris menempel. Mata mereka pun saling beradu. Tanpa Fagh sadari, Fay sedang bersusah payah mengendalikan kerja jantungnya yang mendadak berpacu dengan cepat karena jarak keduanya yang terlalu dekat. Gadis itu bahkan berusaha agar tidak gugup di hadapan pria yang diam - diam ia cintai itu. "La..." panggil Fagha pelan. Matanya masih saja intens memeperhatikan wajah Fay yang berada persis di depannya. Fay menelan air liurnya susah payah. "Iya Mas..." Fagha terseyum kecil. "Mas kok baru sadar ya kalau kamu itu...." "Kalau aku? Kalau aku kenapa?" Tanya Fay terbata - bata. Ia berusaha mengendalikan dirinya agar tetap tenang, ia tak ingin Fagha tahu bahwa jantungnya nyaris meledak dengan hanya dilihat seperti ini oleh Fagha. "Kalau kamu---" "---Sekarang chubby banget..." Fagha langsung menyubit pipi Fay dan beranjak dari tubuh Fay. Ia tertawa kencang sambil memegang perutnya yang terasa sakit karena terlalu banyak tertawa. Fay merasa kesal dengan Fagha pun ikut bangkit lalu mendengus kesal. Ia melemparkan sebuah bantal tepat di wajah pria bermata sipit itu. "Dasar rese!" "Aww...! Aduh, Mas sakit La." "Bodo, rese....pulang sana gih, ngapain sih kesini malam - malam?" Tanya Fay masih dengan nada ketus. Ia mengambil bantal dan guling yang berjathan untuk dia rapihkan. "Mau nemenin kamu lah,” jawab Fagha santai. Ia beranjak dari ranjang Fay lalu berjalan untuk mengambil segelas teh yang tadi disiakan Fay untuk dirinya. "Nemenin? buat apa?" tanya Fay bingung. Pasalnya dia tidak merasa butuh seseorang untuk menemaninya walaupun saat ini dia sedang berada sedniri di rumah. Fagha menyeruput teh buatan Fay lalu meempelkan punggungnya ke dinding. Ia tersenyum saat melihat bagaimana luwesnya Fay menata ranjangnya yang semula brantakan karena ulahnya. "Buat kamu yang ngeyel, udah tahu sendirian disuruh nginep di rumah kenapa enggak mau sih?" "Mas tau dari mana?" "Ibu bilang tadi, pas tu kamu enggak mau ke rumah mas langsung aja berangkat kesini--" "--Nih demi kamu, Mas rela hujan - hujanan sampai basah kaya tadi." Fay memutar tubuhnya lalu terkekeh melihat wajah kesal Fagha. "Kala enggak ikhlas ya enggak usah dilakuin, kan aku enggak minta Mas kesini buat nemenin aku." "Trus aku semalaman enggak bisa tidur karena khawatir sama kondisi kamu yang sendirian di rumah? Gitu?" Sahut Fagha cepat dengan nada kesalnya. Ia yang melihat sebuah kotak martabak langsung membuka dan menyambar sepotong martabak itu. Sementara Fay yang baru saja menyelesaikan aktivitasnya hanya bisa mengulum senyum saat melihat tingkah lucu Fagha, pria yang bisa membuat hati dan perasaannya jungkir balik dalam waktu bersamaan. "Enak nih martabaknya, kamu beli dimana? Kok bukan yang biasa kita beli?" "Enggak tahu aku, Mas." "Lah, kok enggak tahu?  Eh, kamu keluar malam - malam beli martabak? Sendirian?" Tanya Fagha sambil memicingkan matanya ke arah Fay. Fay menggelengkan kepalanya. "Dibeliin tadi." "Baik amat ada yang beliin martabak seenak ini, siapa?" "Satya..." uhuk uhuk Fagha seketika tersedak saat mendengar nama Satya lah yang keluar dari bibir Fay. Martabak yang sudah berada di dalam mulutnya pun langsung ia muntahkan hingga mengotori lantai kamar Fay. "Mas...Mas kenapa?" tanya Fay panik. Ia menepuk - nepuk punggung Fagha kemudian memberikan air untuk Fagha minum. Fagha langsung menyambar gelas dan meminum isinya hingga tandas. Setelah itu ia mengusap bibirnya kasar dengan tangan. "Mas..." Panggil Fay khawatir. "Kamu baik --" "Ngapain si Satya kesini? Ngapain La?" Tanya Fagha dengan nada suara yang sarat akan kemarahan. "Mas, tenang..." Fay berusaha menenangkan Fagha. Ia tahu bahwa sikap tempramental Fagha akan mudah terpancing jika dirinya melakukan sesuatu hal yang tidak sesuai dengan keinginan Fagha. Hal ini sudah tak asing lagi bagi Fay. "Jawab Mas, Fayolla Alandari!" Jauh di luar kendalinya, Fagha mendorong tubuh Fay hingga membentur dinding. "Awww...." rintih Fay saat merasa punggungnya merasa nyeri. "Jawab Mas sekali lagi, Fay. Buat apa Satya datang dan nemuin kamu?" Tangan Fagha yang sedari tadi telah mengepal, ia hantkam pada dinding persis di sebelah wajah Fay. Bugh! "Aaah...Mas,” pekik Fay ketakutan. Belum lagi ia dapat melihat dengan jelas darah yang mengalir dari kepalan tangan Fagha. "Satya....Satya ngajak aku main keluar karena hari ini dia dapat gaji pertamanya di bengkel,” ucap Fay dengan suara bergetar. Bugh! "Lanjutin!" Fagha kembali memukul dinding dengan kepalan tangannya hingga darah itu mengalir semakin deras. "Tapi...tapi aku enggak mau, akhirnya dia main ke rumah dan beliin aku martabak. Kita enggak ngapa - ngapain Mas, aku dan Satya  cuma ngobrol kaya biasanya. Itu pun cuma di teras depan..." Emosi Fagha semakin tidak terkontrol. Ia langsung menyambar sekotak martabak yang sebelumnya ia makan untuk ia buang ke tong sampah yang berada di halaman belakang rumah itu. "Mas, mas mau dibawa kemana?" Fay mengabaikan rasa sakit di punggungnya, ia mengikuti langkah Fagha yang semakin menjauh dari kamarnya dengan membawa sebungkus martabak yang Satya belikan khusus untuk dirinya tadi. "Mas...Mas...jangan,” pinta Fay memohon. Dia masih terus mengejar Fagha hingga pada akhirnya Fagha benar - benar membuang sebungkus martabak yang belum satu potongpun ia makan. Plak Plak Fay tersungkur dengan darah mengalir di kedua sudut bibirnya. Tangannya bergetar ia gunakan untuk menyentuh bagian wajahnya yang nyeri karena tamparan seseorang yang sialnya sangat ia cintai itu. Fagha yang baru menyadari apa yang dirinya lakukan pada Fay pun bergerak menjauh. Kedua matanya memandang tangannya yang baru saja menampar Fay dengan kasar. "Olla, maaf....Mas enggak sengaja." Sambil menahan isakkannya, perlahan Fay mendongak dan menatap wajah Fagha yang menyiratkan sebuah penyesalan. Ia tersenyum kecil namun air mata jelas membasahi wajahnya. "Jangan pernah kasar ke perempuan lain ya Mas? Apalagi kalau dia perempuan yang Mas cintai." ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN