6. KELAM

1421 Kata
Fagha menarik rambutnya dengan kasar. Setelah apa yang dia lakukan pada Fay, gadis itu memilih langsung meninggalkannya dan masuk ke dalam kamar. Fay tak sedikit pun menjawab panggilannya dari luar kamar. "Bego banget sih lo Gha, bisa - bisanya kelepasan gitu--" Fagha meneguk minuman keras yang beberapa kali ini telah dirinya konsumsi. Hampir satu botol sudah dirinya habiskan sejak pertengkarannya dengan Fay lebih dari sejam yang lalu. Ia memang baru membelinya tadi sebelum berangkat ke rumah Gani. Awalnya ia tak berniat meminumnya saat ini, namun nyatanyaia membutuhkan hal itu untuk menenangkan pikirannya. "--Ah, tapi kan gue kesel. Masa si Satya datengin Fay. Kalau Fay diapa - apain gimana? Di rumah kosong gini lagi, jadi wajar kan gue marah. Lah kan gue kakaknya, emang udah jadi tugas gue kan jaga adik gue?" "Tapi si Olla marah banget ya? Pasti pipinya sakit banget..." Fagha melangkahkan kakinya di dalam kamar yang biasa dirinya tempati setiap kali menginap di rumah Gani. Ia mencoba berfikir bagaimana cara agar dirinya bisa masuk ke dalam kamar Olla dan mengobati luka yang dirinya ciptakan di wajah cantik Olla. Jujur saja, Fagha benar - benar merasa khawatir dengan kondisi Fay. Senyum manis tercipta di bibir Fagha ketika ia mengingat sesuatu hal yang bisa membawanya masuk ke dalam kamar Fay. Fagha segera menarik salah satu laci kabinet untuk mengambil sesuatu di dalamnya. "Nah, coba dari tadi keingat. Enggak sampai pusing deh kepala gue." Ucap Fagha sembari melihat kunci duplikat kamar Fay yang memang sengaja Fagha minta dengan alasan untuk berjaga - jaga. "Akhirnya kepakai juga nih kunci duplikat." Setelah itu Fagha lebih dulu menyambar beberapa peralatan yang ia butuhkan untuk membersihkan dan mengobati luka di tubuh Fay. Ia yakin, luka itu tak hanya ada di wajah Fay tetapi juga di tangan dan kaki Fay mengingat gadis itu tadi tersungkur cukup keras di halaman belakang. Dengan langkahnya yang semakin gontai karena pengaruh ari minuman beralkohol itu, Fagha tetap memaksakan diri untuk melangkahkan kakinya agar bisa masuk dan menyelinap ke dalam kamar Fay. *** Ceklek Fagha membuka pintu kamar Fay secara perlahan setelah berhasil membukanya. Ia bersyukur ternyata kebiasaan Fay yang selalu mencopot kunci kamarnya setiap kali tidur tak pernah berubah sehingga memudahkan dirinya untuk menyelinap ke dalam kamar anak gadis Algani Prama Rianda itu. Gelap. Itulah yang ada di kepala Fagha saat mengamati sekeliling kamar Fay saat ini. Jauh berbeda dengan saat awal dia datang ke rumah tersebut. Hanya ada sinar lampu dari arah balkon yang samar - samar menerangi wajah Fay yang telah terlelap tidur. Fagha menyunggingkan senyum tipisnya kala ia dapat melihat wajah Fay. Walaupun penerangan yang tak begitu terang, setidaknya wajah cantik Fay masih dapat terlihat jelas oleh dirinya. Fagha menyingkirkan anak - anak rambut yang menutupi wajah Fay dan menyelipkannya ke belakang telinga. Sentuhan tangannya kini beralih untuk mengusap wajah Fay untuk menyusuri jejak - jejak air mata yang jelas terlihat di wajah cantik itu. "La....sakit ya?" Tanya Fagha lirih. Kedua matanya menatap wajah Fay penuh kesenduan. Tamparannya jelas meninggalkan jejak di pipi putih nan mulus itu. "Maafin Mas ya La, Mas beneran kelepasan tadi." Tangannya terus mengusap wajah Fay penuh kelembutan. "Mas obatin bentar ya sayang?" Fagha tersenyum kecil sebelum memberikan sebuah kecupan tepat di kening Fay. Cup Setelah itu, Fagha langsung memulai aktivitasnya untuk memberikan obat pada luka di wajah Fay. Rasa perih membuat Fay sedikit bergumam dalam tidurnya, namun sebisa mungkin Fagha kembali menenangkan Fay agar tidur gadis tersebut tak terganggu. Fagha menekan lebih dalam dibagian sudut bibir Fay yang ternyata memang sedikit robek. Ia tak menyangka jika bisa sekasar itu pada Fay hanya karena tidak suka Fay didekati dengan teman laki - lakinya. Bagi Fagha, Fay adalah seorang adik yang harus ia jaga. Ia tidak ingin Fay terluka dan sakit hati karena sikap para lelaki. Maka itu, dari kecil dirinya selalu bersikap over protective pada Fay yang notabennya bukanlah adik kandungnya. Selesai dengan area wajah, Fagha bergeser memastikan luk alain yang mungkin ada di tubuh Fay. Akhirnya Fagha menemukan luka lecet itu pada area siku tangan Fay karena tergores saat Fay terjatuh lagi. Fagha kembali mengusap kepala Fay setelah memastikan tak ada lagi luka di tangan maupun kaki Fay akibat terjatuh tadi. Senyum kembali merekah di bibirya saat menyadari bahwa nyaris tak ada yang berubah dari wajah Fay. Gadis itu masih sama sangat cantik seperti saat awal mereka bertemu. Bahkan menurutnya Fay juah berkali - kali lipat lebih cantik saat ini. "La, Mas enggak tahu kenapa Mas takut banget kamu deket sama cowok-- "--Mas takut kalau kamu juga sakit hati gara - gara deket sama cowok." "Maafin Mas ya, Mas benar - benar enggak nyangka bisa kelepasan kaya tadi. Mas enggat tahu kenapa enggak bisa nahan emosi Mas kalau lagi sama kamu." "Jangan marah ya? Mas sayang banget sama Olla, sayang banget kaya sayang Mas ke Kak Leya dan Echa. Kamu juga adik buat Mas, selamanya." Cup Fagha kembali mengecup pucuk kepala Fay dengan khidmat. Ia bahkan memejamkan mata sembari menikmati aroma strawberry yang menguar dari rambut hitam anak angkat omnya itu. Tak cukup sampai disitu, kali ini ia memberanikan diri mengecup lembut bibir merah Fay yang sebenarnya sejak lama sudah menarik perhatiannya. Jika sebelumnya ia selalu bisa menahan diri, entah karena apa kali ini ia benar - benar tak bisa menahannya. Sisinya sebagai anak laki - laki yang baru saja beranjak remaja ingin merasakan empuknya bibir tipis itu. Cup Fagha kembali menjauhkan wajahnya dari wajah Fay. Ia mengusap bibir itu setelah berhasil memberikan sebuah kecupan. "Sekali lagi ya La?" Bisiknya sebelum kembali merasakan manisnya bibir Fay. Suaranya semakin terdengar Awalnya memang hanya sebuah kecupan biasa. Begitu lembut dan penuh kasih sayang, namun semua itu tak berjalan lama. Entah mendapat dorongan darimana Fagha kini semakin menekan tengkuk Fay hingga lidahnya dipaksa untuk melesak masuk menjelajahi rongga mulut Fay. Fay yang merasa kehilangan nafasnya seketika membuka mata. Ia langsung mendorong tubuh Fagha saat tahu kini pria yang dicintainya itu beradapersis di atas tubuhnya bahkan nyaris tak ada jarak. "Mas, ngapain? Lepas Mas!" ucap Fay panik. Ia terus meronta agar doronya dilpaskan. Namun semua terlambat, Fagha bagai dirasuki hingga mencekal tangan Fay dengan kencang dan terus memaksa menciumi Fay yang kini telah beralih ke leher jenjang Fay. "Mas Aga, sadar....lepas Mas. Jangan gini!" Fay memohon dengan uraian air mata. Namun kenyataannya semua itu tak berpengaruh pada Fagha, pengaruh akohol yang sebelumnya ia tenggak jelas benar - benar memicu gairahnya hingga tak mampu menahan diri. Fagha menjauhi wajhnya lebih dulu dari wajah Fay. Ia menatap Fay sendu lalu menghapus air mata di wajah Fay. "La, Mas...Mas enggak bisa berhenti." "Mas sayang Olla...Mas janji enggak akan sakit." Setelah mengatakan itu ia membuka pakaian yang melekat pada tubuhnya dan membuangnya sembarang. Racauan Fay untuk minta Fagha menghentikan aktivitasnya tak berpengaruh. Air mata terus mengalir membasahi wajahnya, tubuhnya terus meronta untuk meminta dilepaskan namun tenaga Fagha nyatanya jauh lebih besar dari yang Fay kira hingga perlahan kesadarannya mulai menghilang bersamaan dengan berhasilnya Fagha menerobos identitas kegadisannya. Semua hancur, masa depan yang Fay harapkan berantakan. Ia gagal menjaga kegadisannya untuk suaminya kelak. Jauh dalam hati Fay memang berharap jika Fagha, cinta pertamanya itu akan menjadi satu - satunya cinta dan menjadi suaminya untuk mengambil kegadisannya. Tapi bukan dengan cara seperti ini. Saat keduanya masih berusia enam belas tahun, saat keduanya masih bersekolah dan sama sekali tak ada cinta di antara keduanya. Karena disini hanya Fay yang mencintai, tidak dengan Fagha. "Kamu jahat....Mas,” ucapnya berbisik karena benar- benar sudah kehilangan tenaga dan akhirnya benar - benar kehilangan kesadarannya. Tak lama kemudian ia merasa sesuatu yang hangat menyiram rahimnya dengan deras. *** Fagha menutup wajahnya dengan tangan kala sinar matahari yang menerobos kaca jendela di kamar Fay menganggu tidurnya pagi ini. Fagha kemudian memegang keningnya yang terasa pening karena efek mabuk semalam. Setelah berhasil duduk dan menyenderkan tubuhnya pada sandaran ranjang, Fagha mengamati sekeliling kamar dan terkejut kala sadar ini bukan lah kamarnya. Mata Fagha semakin melar kala menyadari bahwa hanya selimut putih yang menutupi tubuh polosnya. Belum lagi bercak darah yang ia temukan di beberapa bagian selimut dan sprei di ranjang tersebut. Suara isak tangis yang terdengar samar - samar dari balik pintu kamar mandi akhirnya menyadarkan Fagha bahwa sesuatu yang buruk telah terjadi padanya juga Fay. Gadis yang dirinya jaga dan sayangi selayaknya adik selama ini. "Olla….” cicitnya sembari menyentuh bercak darah yang tercetak jelas di sprei berwarna putih dengan corak bunga sakura itu. Fagha langsung menyibak selimut yang menutupi tubuhnya. Ia mengambil pakaiannya yang tercecer dan dengan gerakan cepat kembali menggunakannya. Setelah itu ia langsung menggedor pintu kamar mandi. "La...buka La...." Tok Tok "La, Mas minta maaf La...Mas beneran nyesel." "La, sayang---" "Pergi kamu! Pergi!" Sahut Fay dari dalam kamar mandi. "Olla, keluar. Mas minta maaf. Mas khilaf...." "Pergi, pergi!" "La--" Ceklek Fay akhirnya membuka pintu kamar mandinya dan menatap Fagha dengan tajam. Seluruh tubuhnya basah dengan wajah yang sembab karena air mata. Senyum yang sempat terpatri di bibir Fagha karena mengetahui Fay akan membukakan pintu untuknya mendadak lenyap saat mengetahui kondisi Fay. "La--" Plak "Aku benci kamu!" ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN