7. RINDU MILIK SIAPA

1687 Kata
Hampir sebulan berlalu semenjak kejadian tersebut, Fagha masih belum bisa berbicara dengan Fay. Gadis itu benar - benar menutup akses bagi Fagha untuk bertemu dengan dirinya baik di sekolah maupun di rumah. Beberapa kali Fagha coba mendatangi Fay ke rumah, menghubunginya lewat telpon atau bahkan mengajaknya berbicara di sekolah Fay selalu memiliki alasan untuk menghindar. Fagha melemparkan ponselnya ke ranjang kala lagi dan lagi panggilannya di tolak oleh Fay. Ia meremas rambutnya sendiri lalu menggebrak meja belajarnya dengan kasar. Fagha segera menyambar sebungkus rokok dan korek api yang berada di meja belajarnya kemudian berjalan menuju balkon kamarnya. Sebelumnya ia memastikan dulu pintu kamarnya terkunci rapat agar tak ada satupun orang yang melihatnya sedang menghisap lintingan tembakau tersebut. "Please La, jangan terus - terusan menghindar dari Mas. Mas mau ngomong sama kamu, Mas mau minta maaf sama Olla,” ucapnya lirih d sela - sela kepulan asap yang keluar dari mulutnya. "Mas kangen banget sama Olla..." *** Huek Huek Huek Fay langsung memutar kran di wastafel yang beradi di kamar mandinya. Membiarkan air mengalir dan menggunakannya untuk membersihkan sisa - sisa cairan bening yang telah ia muntahkan. Ini sudah ketiga kali Fay memuntahkan isi perutnya yang ternyata hanya cairan bening dalam sehari. Tak hanya itu, rasa mual dan juga pening di kepala membuat tubuhnya semakin lemas. Sejak pulang sekolah siang tadi, Fay yang biasanya ikut berlatih basket di sekolah memilih untuk izin. Bukan saja untuk beristirahat karena tubuhnya yang terlalu lemas, tetapi juga menghindari Fagha yang juga tergabung dalam tim basket putra. Melihat apalagi berdekatan dengan Fagha jelas mengingatkannya pada malam kelam itu. Malam dimana Fagha berhasil merubah status gadisnya menjadi wanita seutuhnya ketiga Fagha berhasil merobek selaput kegadisannya secara paksa. Ingat, secara paksa! Memaksa diri untuk menghentikan tangisannya. Fay tak lupa mengusap wajahnya dengan air yang mengalir tersebut. Setelah dirasa lebih baik, Fay memutuskan keluar dari kamar. Fay terperenjat saat melihat sang papa yang ternyata sudah menunggu di dalam kamarnya sembari membawakan makanan untuk dirinya. "Pa..." Gani menoleh saat mendengar suara sang putri memanggilnya. Ia tersenyum lalu meminta Fay mendekat dan duduk di tepi ranjang. "Sini Fay, duduk dulu sayang." Fay pun mengangguk, kemudian berjalan mendekati ranjang untuk duduk di tepiannya. "Papa udah pulang dari Malang?" "Iya nih barusan..." Sahut Gani sembari mengikuti sang anak untuk duduk. "Gimana Bang Aslan?--" "--Udah mau papa ajak ngobrol?" Gani menghela nafas. Ia tersenyum kecut sambil menggelengkan kepalanya. "Papa masih harus kerja keras lagi buat naklukin hati dia--" "--Mamanya juga bilang gitu, luka di hati abang pasti lebih dalam. Apalagi selama tinggal sama papa, papa sering bersikap enggak baik sama dia." Fay tersenyum lalu mengusap punggung tangan sang papa. "Sabar ya pa, semua kan butuh waktu. Kalau pada akhirnya tante Frisa aja bisa maafin papa suatu saat abang pasti bisa. Tapi mungkin waktunya jauh lebih lama." Gani mengulum senyum dan merangkul tubuh sang putri. "Semoga saja secepatnya ya, papa kangen banget sama Abangmu..." "Aamiin..." Sahut Fay lalu menyelipkan tangan ke perut Gani untuk membalas pelukannya. Gani kemudian menarik diri menjauh dari tubuh Fay. "Bibi bilang dari pulang sekolah kamu belum makan, kenapa?--" "--Wajah kamu juga pucat." Tanya Gani khawatir. Fay meringis. "Cuma lagi enggak enak badan aja kok. Jadi belum mood makan tadi pa." "Kamu sakit?" Gani menyentuh dahi Fay dengan punggung tangannya. Memeriksa suhu tubuh sang anak. "Enggak kok pa, cuma enggak enak badan aja." "Serius? Telpon ibu ya minta cek dulu." Namun Fay langsung menggeleng. "Pa, Fay enggak sakit. Cuma enggak enak badan aja, jadi cuma perlu bobo. Nanti juga sehat lagi." "Kamu yakin? Pucat banget loh ini." Ucapnya sambil merangkum wajah sang anak. Fay mengangguk yakin. Senyum manisnya tersungging untuk meyakinkan sang papa. Gani mendesah kemudian mengangguk. "Yaudah kalau gitu, istirahat dulu tapi nanti pas bangun harus makan ya. Perut kamu harus diisi, jangan biarin kosong." Fay mengangguk patuh. "Iya Pa." "Yaudah, papa tinggal keluar dulu ya? Kayanya papa juga butuh istirahat nih." Fay terkekeh. "Udah tahu cape bukannya langsung istirahat." "Kangen kamu kan?" Gani tersenyum lalu mengacak gemas rambut sang putri. "Istirahat yang bener." "Siap bos..." Gani pun bangkit dan kemudian berjalan keluar dari kamar Fay. Meninggalkan gadis yang semula menyunggingkan senyum manis, kini berganti senyum perih. "Maafin Fay ya pa, maafin Fay udah kecewain papa." Fay mengedipkan matanya. Membiarkan air mata yang sedari tadi ia tahan, kembali menetes membasahi wajahnya. Ia menengadah ke langit - langit kamar dan tak lama kemudian memandang fotonya bersama Fagha yang ternyata masih terpanjang di meja tak jauh dari ranjangnya. Gadis berambut panjang itu tersenyum kecut. Ia mengambil bingkai foto yang ukurannya tidak terlalu besar itu dan menatapnya dengan mata memerah. "Aku adikmu kan?" "Tapi apa ada seorang kakak laki - laki memperlakukan adiknya seperti apa yang kamu lakukan ke aku?" *** "Mas..." Fagha yang baru saja masuk ke dalam rumah Gani langsung menghampiri omnya itu dan mencium tangannya. "Udah pulang Om? Kirain masih di Malang." Gani terkekeh. "Walaikumsallam..." Fagha meringis lalu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Assalamualaikum...." "Walaikumsallam, nah gitu dong." "Iya nih, enggak tega ninggalin Fay kelamaan--" "--Kamu mau cari Fay?" Fagha mengangguk. "Tumben, sebulan ini kalian jarang banget bareng ya? Enggak lagi berantem kan?" Fagha terllihat gelagapan. "Enggak...enggak kok om, cuma lagi sibuk sendiri - sendiri aja." Gani mengangguk dan mempercayai keponakannya tersebut. "Fay ada di kamar, tadi om suruh tidur. Katanya badannya enggak enak, mukanya pucet banget." "Olla sakit Om?" tanya Fagha spontan. "Kata dia cuma enggak enak badan. Yaudah gih sana ke kamar Fay, tapi kalau dia masih enggak mau bangun jangan dipaksa ya?--" "--Biarin istirahat dulu." Fagha mengangguk lalu menyerahkan sebuah kotak makan kepada Gani. "Ini apa?" tanya Gani bingung. "Puding dari ibu, katanya buat Om dan Olla. Mas ke atas dulu ya Om..." Tanpa menunggu jawaban dari Gani, Fagha langsung berlari menuju lantai dua dimana kamar Fay berada. Tujuannya adalah bertemu dan memastikan kondisi gadis itu baik - baik saja. *** Fagha menatap sendu wajah Fay yang terlelap. Rona wajah yang biasanya tercetak jelas di kulit putihnya kini tak nampak dan hanya menyisakan pipi pucat saja. Fagha pun mendekat dan duduk di tepi ranjang Fay. Tangannya terulur untuk mengusap wajah pucat yang sangat dirinya rindukan itu. Cup "Apa kabar cantik?" tanya Fagha setelah mengecup dahi Fay. "Mas kangen banget sama Olla, marahnya udahan dong. Mas enggak betah didiemin Olla kaya gini." Keluhnya sambil memainkan rambut panjang Fay. Fay bergerak dalam tidurnya. Ia memutar tubuhnya hingga kini punggungnya lah yang berhadapan dengan wajah Fagha. Fagha terkekeh. "Segitu marahnya sampai Mas dikasih punggung?" Melihat sisi ranjang yang kosong, Fagha tak ingin menyia - nyiakan kesempatan. Kerinduannya pada gadis yang merupakan anak angkat sang om tak lagi bisa terbendung. Bermodalkan rasa nekat, ia memberanikan diri untuk merebahkan diri di samping tubuh Fay. Fagha juga menyelipkan tangannya untuk mengusap perut Fay lalu menarik gadis itu ke dalam pelukan. Cowok enam belas tahun tersebut pun membenamkam wajahnya di ceruk leher Fay, menghirup rakus aroma yang sebulan ini dirinya rindukan. "Mas kangen Olla--" Fagha terkekeh. "Asem - asemnya Olla ngangenin banget tahu, tapi Ollanya masih marah terus sama Mas." Fay kembali menggeliat. Kali ini ia kembali memutar tubuhnya hingga wajah Fagha dan Fay nyaris bersentuhan. Fagha tersenyum kala Fay justru menyelipkan tangan untuk memeluknya. Tak hanya itu, gadis itu juga memilih untuk menyelipkan wajahnya ke sela - sela leher Fagha. Cup Cup Fagha tentu mengeratkan pelukannya pada tubuh Fay. Kecupan - kecupan kecil dari Fagha pun mendarat di pucuk kepala gadis yang semakin melelapakan tidurnya dalam pelukan Fagha. "Mas kangen...kangen...kangen banget sama Fay." Perlahan rasa kantuk itu mulai datang, membuat Fagha akhirnya pun ikut memejamkan mata tanpa melepaskan pelukannya di tubuh gadisnya-Fayolla Alandari. *** Fay menggeliatkan tubuhnya. Bola matanya berputar - putar siap untuk membuka mata. Ia masih belum sadar posisinya selama tidur. Setelah beberapa hari tidur tak nyaman karena rasa mual yang suka muncul secara tiba - tiba, siang ini dia bisa tidur dengan nyenyak. Aroma maskulin yang menyeruak ke dalam hidungnya benar - benar membuat dirinya tenang, rasa mual yang biasanya menyiksa kini benar - benar hilang. Mata Fay sontak terbuka saat tangannya tanpa sengaja menyentuh tanngan yang memelukanya erat. Begitu ia membuka mata, pemandangan di depannya langsung membuat jantungnya berdetak kencang. Kilasan peristiwa yang terjadi malam itu langsung berputar bagaikan kaset rusak. Fay langsung mendorong d**a Fagha hingga pria dengan mata sipit itu membuka matanya. "La..." "Kamu ngapain ha? Mau ngapain kamu?" tanya Fay dengan suara yang menyiratkan ketakutan. Air mata tiba - tiba mengalir di wajahnya. Gadis itu pun menutupi tubuh bagian depannya, menjadikannya perisai dari sentuhan Fagha. "La, Mas--" "Stop! Keluar kamu keluar. Aku benci kamu, benci." Fay memukul Fagha dengan bantal di tangannya. Tangisannya semakin kencang hingga membuat Fagha kewalahan. Fagha tak punya jalan lain, ia langsung menarik lengan Fay hingga tubuh gadis itu kembali dalam dekapannya. Tak hanya tangan dan juga tubuhnya, bibirnya pun ia gunakan untuk membungkam bibir Fay dengan sebuah ciuman. Fagha meronta, namun tangannya digenggam begitu kuat hingga akhirnya ia tak punya pilihan lain. Ia membiarkan bibirnya kembali disentuh oleh bibir Fagha yang dengan ciumannya, keduanya sama - sama menitihkan air mata, hingga rasa asin dapat sama - sama keduanya rasakan. Fagha melepaskan ciuman itu kala merasa isakkan Fay mukai mereda. Ia mengusap wajah dan bibir Fay lalu mengecup kepala Fay penuh sayang. "Kamu jahat..." "Iya, iya aku jahat..." "Aku benci kamu Mas..." "Tapi Mas sayang Olla..." Fagha pun kembali mengajak Fay berbaring. Kali ini tak ada penolakan karena tenaga Fay kali ini benar - benar habis. Logikanya ingin menolak pelukan Fagha, namun entah mengapa hatinya ingin berlama - lama di dalam dekapan hangat yang telah merusak masa depannya itu. Aroma tubuh Fagha yang melesak ke dalam indera penciuman Fay begitu memabukan. Wangi itu sangat dirinya rindukan dan entah mengapa rasa mual dan pening yang beberapa hari ini ia rasakan menguap begitu saja. Fagha dan semua yang ada pada dirinya seolah menjadi obat ampuh bagi Fay yang beberapa hari kebelakang merasa tubuhnya melemah. "Jangan marah lagi La, Mas tahu Mas salah. Mas minta maaf...tapi Mas...Mas mabuk kemarin..." Fay memejamkan matanya. Membiarkan buliran bening itu mengalir dan membasahi kaos yang dikenakan oleh Fagha. Tanpa terasa wajahnya semakin ia benamkan di d**a Fagha, mencoba untuk meredakan tangisannya. "Mas tahu kamu marah, mas tahu kamu benci sama mas. Tapi jangan jauhin Mas--" "--Mas enggak bisa, Mas...mas kangen Olla..." "Mas harap apa yang terjadi kemarin enggak merubah apapun di antara kita ya?" "Jangan pergi ya La, tetap jadi adik mas...Mas enggak bisa...Mas enggak bisa lihat kamu jauh." Air matanya mangalir semakin deras. Hatinya semakin hancur hingga tak terbentuk. Ingin memaafkan, namun luka itu justru semakin menganga. "Mas mau kamu jadi orang pertama yang tahu kalau nanti Mas berhasil pacarin Naya...Mas mau kamu ada disana, disaat Mas punya keberanian mengungkapkan perasaan ke Naya." "Jadi jangan menghindar lagi ya?--" "--Mas sayang Olla, Mas kangen Olla..." "Dan rindu dan cinta di hati ini bahkan tak tahu siapa pemiliknya kan? Saat kamu, yang aku harapkan dalam doa - doaku, justru mengharapkan orang lain dalam doa - doamu."   ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN