12. DIA

1349 Kata
Fay menerjapkan matanya perlahan. Hampir dua jam kehilangan kesadaran, membuat kepalanya merasakan pening saat cahaya mulak masuk menerobos kedua matanya. "Fay...Fay udah sadar?" tanya Satya langsung ketika melihat adanya pergerakan pada tubuh Fay. "Eng..." "Fay? Ada yang sakit? Gue panggilin dokter lagi ya?" "Engg...Mas Aga..." Deg Hati Satya mencelos. Kala ia begitu mengkhawatirkan kondisi Fay, gadis yang dicintainya itu justru menyebut nama orang lain yang notabennya adalah penyebab dari kesedihan Fay. "Fay, ini gue Satya.…" Fay akhirnya membuka kedua matanya. Ia dapat melihat wajah Satya yang tengah tersenyu, kepadanya dengan jelas. "Sat..." Satya mengangguk sambil mengusap kepala Fay. "Hai...ada yang sakit?" "Mau aku panggilin dokter?" Fay memegang kepalanya. Sekelebat bayangan tentang kejadian yang tadi menimpanya membuatnya langsung bangun dan memeluk tubuhnya. "Sat, Mas mau bunuh dia. Sat, dia masih ada kan? Dia selamat kan? Dia enggak pergi tinggalin gue kan Sat?" Satya tersenyum lalu memeluk Fay. Ia mengusap punggung Fay dan sesekali mencium pucuk kepalanya. "Sat...jawab,” ucap Fay lirih. Air matanya mulai mengalir hingga wajahnya pun memerah. "Sat--" Ceklek Satya langsung menarik dirinya menjauh dari tubuh Fay saat mendengar ada seseorang yang masuk ke dalam ruang perawatan Fay. Baik Fay maupun Satya pun sama - sama menoleh ke ara pintu, dimana seorang wanita lengkap dengan jas putihnya mendekat ke arah brankar sambil tersenyum. "Hay? Sudah bangun?" tanyanya ramah pada Fay. Fay menengok sejenak ke arah Satya lalu kembali ke arah wanita yang ada di depannya dan mengangguk. "Sudah merasa lebih baik atau ada keluhan?" "Sedikit sakit, tapi sudah enggak apa - apa. Enggak kaya tadi, dok." Jawab Fay lirih sementara tangannya semakin erat menggenggam tangan Satya. "Syukurlah kalau gitu." Jawabnya sambil tersenyum. "Sebelumnya, kita boleh berkenalan lebih dulu?" Tanyanya penuh kelembutan. Melihat raut ketakutan di wajah Fay tentu membuat wanita itu harus berhati - hati membuka percakapan. Fay mengangguk. "Boleh..." "Jadi nama kamu siapa cantik?" "Fay--" "--Fayolla Alandari." Dokter wanita itu pun mengangguk. "Nama yang canik, persis seperti orangnya." "Kalau dokter, namanya siapa?" tanya Fay. Dokter itu mengusap wajah Fay dengan lembut. "Kenalin, nama dokter adalah dokter Erin." *** "Jadi dia benar masih ada di dalam perut saya dok?" tanya Fay semangat saat dokter kandungan memeriksa kondisi janinya. Dokter bernama Widya yang sebelumnya sudah memeriksa Fay dan kandungannya itu pun mengangguk sambil tersenyum. "Nih, mau lihat lagi enggak?" "Mau dok...mau," Fay dengan semangat pun mengikuti pandangan dokter Widya ke arah monitor. Dimana makhluk kecil yang sedang tumbuh di dalam perut Fay berhasil selamat. *** Sementara itu, di luar ruang pemeriksaan Satya dengan setia menunggu Fay. Ia tak sendiri kala dokter yang pertama membantnya untuk menyelamatkan Fay datang mendekati dan duduk di sampingnya. "Kamu enggak ikut masuk?" tanya dokter bernama Erindra itu. Satya mendongak kemudian menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. "Enggak dok." Erindra mengangguk. "Saya boleh duduk disini?" Satya mengangguk. "Silakan dokter." Erindra pun mengambil tempat persis di sebelah Satya. "Kenapa kamu enggak ikut masuk? Kamu enggak mau lihat kondisi calon bayi kamu?" Tanya Erin hati - hati. Bagimanapun berbicara dengan remaja seusia Satya memang memerlukan strategi. Satya yang tersentak dengan pertanyaan Erindra langsung menoleh dan menggelengkan kepalanya. "Bukan dok--" "--Bayi itu...bukan bayi saya." Erindra menyipitkan matanya. "Kamu dan Fayolla berpacaran kan?" Satya mengalihkan pandangannya ke arah dinding di depannya. Ia menyandarkan kepalanya lalu memejamkan mata. "Itu mau saya dok, tapi bukan maunya Fay." "Maksud kamu?" Satya membuka matanya. Ia menengok ke arah Erindra dan menatapnya dengan mata berkaca - kaca. "Kami bersahabat sejak kecil dok. Saya mencintai Fay dok, tapi Fay tidak--" Satya menarik nafasnya lalu tersenyum lirih. "--Dia mencintai orang lain dan orang itu ayah dari bayinya." Erindra menutup mulutnya. "Sejauh itu mereka berpacaran?" Sejujurnya ada rasa tak percaya sejak pertama Erindra melihat Fay. Gadis itu begitu polos, sulit unuk percaya jika gadis selugu dan semuda itu harus hamil di usianya yang belum genap tujuh belas tahun. Satya menggelengkan kepalanya lagi. "Enggak dok, Fay gadis baik - baik. Mereka enggak berpacaran bahkan Fay belum pernagh memiliki pacar." "Lalu? Mengapa dia bisa hamil?" Satya mendongak sejenak, berusaha mengalirkan air mata yang telah terkumpul di kedua matanya. "Dia diperkosa." Erindra membulatkan matanya. "Diperkosa?" Satya mengangguk. "Kalian enggak lapor?" Satya menggeleng. "Fay enggak mau." "Kenapa? Ini salah satu tindak kejahatan kan?" "Fay enggak mau melukai orang yang dia sayang." "Tapi cowok itu merusak masa depan gadis sebaik sahabat kamu." "Bukan hanya cowok itu dok, tapi juga semua keluarganya--" "--karena cowok yang membuat Fay hamil sekaligus Fay cintai itu adalah anak dari keluarga yang mengadopsi Fay menjadi anak." *** Fagha menaruh gitar di samping tubuhnya. Ia langsung kembali mengalihkan pandangannya pada Naya setelah berhasil menyanyikan sebuah lagu untuk gadis pujaannya itu. "Suara kamu bagus banget, aku suka lagunya." Fagha terkekeh. "Makasih ya...aku kira kamu bakal ngusir aku barusan gara - gara suaraku." Naya terkekeh. "Enggak bakal lah, aku suka banget. Besok kalau ketemu lagi, kamu nyanyi lagi ya?" "Iya...sesuai sama apa yang kamu mau deh." "Aku kaget waktu bibi bilang kamu tiba - tiba datang lagi ke taman dan minta tolong satpam buat kasih tahu ke rumah." Ucap seorang gadis yang pandangannya tertuju ke depan. Bukan maksudnya bersikap tak sopan pada seseorang yang sedang mengajaknya berbicara, hanya saja dirinya memang tak bisa melihat. Fagha tersenyum. "Sengaja, lagi kepingin main aja. Aku enggak gangg kamu kan Nay?" Gadis yang akrab disapa Naya itu tersenyum lalu mengangguk pelan. "Enggak kok, aku cuma kaget aja tiba - tiba kamu datang." Fagha menatap langit yang malam ini tak secerah biasanya. Bintang - bintang yang biasanya bertaburan malam ini memilih untuk menyembunyikan dirinya di balik awan - awan gelap. "Fagha,” panggil Naya lirih. "Hmm?" Sahut Fagha sambil menoleh ke samping. "Kenapa Nay?" Nay mengulum senyum manisnya. "Kamu ada masalah kah?" Fagha terkekeh. "Enggak kok, emang kenapa?" "Emm...suara kamu kedengeran beda. Aku kira kamu ada masalah." Fagha menyila rambut panjang Naya ke belakang telinga. "Enggak ah, perasaan kamu aja. Aku cuma sedikit capai aja karena harus latihan basket buat persiapan pertandingan akkbar." Naya mengangguk mengerti. "Pertandingan yang kamu ceritain kemarin kan?" "Iya, mau nonton?" Naya mengulum senyumnya. "Kamu nih lucu, aku mau nonton juga gimana caranya. Kan aku enggak bisa lihat." Fagha mengulurkan tangannya dan menggenggam tangan Naya. Ia mengusap punggung tangan Naya penuh dengan kelembutan. "Aku percaya, kamu akan segera sembuh dan bisa kembali melihat--" "--Kamu sendiri kan yang cerita kalau orangtua kamu lagi cari pendonor yang cocok buat mata kamu?" Wajah Naya tiba - tiba berubah sendu. "Iya, tapi aku enggak tahu bisa sampai kapan--" "--Kalau pendonor itu enggak ditemukan juga, aku tetap enggak akan bisa melihat kan?" Fagha tersenyum lalu mengusap air mata di wajah Naya. "Jangan sedih gitu ah, pasti nanti ada. Kamu harus yakin, katanya kamu mau sekolah bareng aku? Katanya kamu mau lihat aku pas tanding basket?" "Apa kamu yakin aku bisa kembali melihat seperti dulu lagi?" "Iya dong!" Jawan Fagha semangat. "Pasti, aku aja yakin masa kamu enggak?" Naya mengangguk pelan lalu menghapus air mata di wajahnya. "Iya...aku yakin, aku mau sekolah bareng kamu. Aku juga mau lihat pertandingan basket, bukan cuma mendengar." Fagha tertawa kecil. "Seneng aku lihat kamu senyum gini, jadi keliatan lebih cantik." Naya mengulum senyumnya. "Emang biasanya enggak ya?" Fagha berfikir sejenak sebelum menjawab. "Biasanya cantik, tapi kalau senyum gini jauh lebih cantik." Naya ikut tertawa saat Fagha tertawa. Tanganny kemudian meraba - raba dan berhasil merih tangan Fagha sehingga membuat Fagha menoleh. "Kamu udah enggak capai lagi?" "hmm?" "Suara kamu udah terdengar kaya biasanya, enggak kaya awal tadi." Fagha mengangguk. "Lumayan, cuma mungkin butuh semangat buat pertandingan nanti." "Semangat?" "Iya..." "Apa ada caranya biar kamu bisa semangat buat pertandingan?" "Emmm...ada, tapi kayanya susah." "Apa?" Tanya Naya semangat. "Aku mau kamu nonton perandingan aku." Naya menunduk dengan wajah sedih. "Kalau itu aku kan enggak bisa janji." Fagha terkekeh. "Iya..iya, yaudah ganti aja boleh enggak?" "Emang bisa diganti?" "Bisa dong.." "Apa?" Fagha terkekeh, "Sini deh cium pipi aku." Katanya sambil mengarahkan tangan Naya mengusap pipinya. "Ha? Cium?" "Iya, tapi kalau kamu enggak mau--" Cup Tubuh Fagha mematung. Kecupan itu benar - benar Naya berikan bahkan bukan di pipi tapi di ujung bibirnya. Matannya menerjap beberapa kali seolah mencari kesadaran "Dia cium gue? Naya cium bibir gue?" "Semangat ya Gha, kamu pasti bisa!" ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN