13. KECEWA

1795 Kata
"Lo kok ngeyel banget sih Fay?" protes Satya saat melihat Fay muncul dari dalam kelasnya. "Satya?--" "Lo ngangetin gue tahu enggak sih? Untung aja gue enggak jantungan, kalau iya? Kan kasihan dia,” sahut Fay sembari mengusap perutnya dengan lembut. Satya berdecak. "Kan dokter waktu itu bilang biar lo bedrest paling enggak seminggu sampai lo benar - benar pulih." "Gue udah sehat kok,dua hari udah cukup buat gue sama dia buat istirahat. Kalau kelamaan, papa akan curiga kan? Masa gue bilangnya flu biasa tapi enggak masuk sekolah sampai selama itu?" "Ya tapi kan--" "Manggala Bimasatya, sahabat gue tersayang..." Nyes. Sakit yang Satya rasakan ketika kata sahabat kembali ditekankan oleh Fay terhadapnya. Berbanding terbalik dengan rasa dan harapannya pada gadis itu. "Gue dan dia sudah sehat dan baik - baik aja. Kami enggak akan kenapa - kenapa cuma karena gue duduk manis di kelas dengerin celotehan guru - guru yang bakal gue tulis lagi di buku." Satya hanya bisa menghela nafas. "Hari ini gue harus ikut tim sains buat pertandingan karya ilmiah di Balai Kota, gue enggak bisa jagain lo." Fay tergelak. "Gue kan udah besar, masa harus lo jagain? Kaya anak kecil aja." "Bukan lo, tapi dia,” kata Satya sambil melirik ke arah perut Fay. "Dia?" Satya mengangguk. "Kan ada gue Sat, gue pasti jagain dia lah. Lagian kan enggak ada yang tahu soal dia, jadi enggak bakal kenapa - kenapa." "Termasuk bapaknya?" Deg Raut wajah Fay berubah menjadi tegang. Kilasan perilaku Fagha yang nyaris membuatnya kehilangan sang buah hati kembali berputar di kepalanya. "Kalau itu gue--" "--Gue bakal jagain dia lebih ekstra lagi dari sebelumnya. Gue enggak akan mengizinkan siapapun termasuk Mas buat deketin dia dan mencelakannya." Fay kemudian mengalihkan pandangannya pada Satya dan menepuk bahu sahabatnya itu sambil mengukir senyuman. "Jadi lo tenang aja, gue dan dia akan baik - baik aja. Kami akan nunggu lo pulang bawa piala dan traktir kita berdua makan kaya biasanya." *** "Fay, cepat ganti baju lo." "Ha? Baju apaan?" tanya Fay bingung kala salah satu teman basketnya mendatanginya sembari membawakan baju basket untuknya. "Eh...gue kan udah bilang sama Mas--em maksud gue ke Fagha kalau gue enggak ikut pertandingan--" "--Gue juga udah bilang ke Fagha kalau gue minta dia ngajuin pengganti posisi gue bukan buat pertandingan ini aja tapi buat beberapa bulan ke depan." Gadis bernama Sifa itu memicingkan matanya. "Ha? Fagha enggak bilang apa - apa kok. Sampai tadi pagi, nama lo tetap tercatat sebagai pemain utama di list yang gue serahin ke Pak Beno dan itu juga sepengetahuan Fagha sebagai wakil ketua basket." Hati Fay mencelos. Fagha sama sekali tak menggubris permintaannya. Ia tak meminta Fagha mengakui dan menerima anak mereka, ia hanya meminta Fagha mengizinkan dirinya untuk menjaga. "Yuk Fay, udah ditungguin Pak Beno. Lo tahu kan itu orang kalau ngamuk gimana?" "Tapi Sif, gue--" "Gue tunggu di lapangan ya? Inget Fay, kursi kapten basket di depan mata lo. Gue duluan ya Fay kesayangaku...." Sifa langsung berlari meninggalkan Fay yang hanya bisa menghela nafas. Perempuan itu hanya dapat memandang pakaian basketnya dengan tatapan nanar. "Kamu kuat kan?" tanya Fay lirih sambil mengusap perutnya. "Aku harus main basket, kamu mau ikut enggak?" Fay tersenyum sendu. "Mungkin nanti ayah nonton. Kamu kepingin ketemu ayah ya?" Fay kembali terkekeh kecil sembari menghapus air matanya. "Kamu udah enggak marah sama ayah lagi kan? Ayah sayang kamu kok, cuma kaget aja karena kamu datang tiba - tiba." Fay menarik nafasnya lalu menghembuskanya. "Hari ini temenin aku main basket ya? Jangan rewel ya--" "--Kalau aku menang, nanti sore aku beliin es krim lagi kaya yang dibeliin Satya kemarin. Kamu suka kan?" Fay tersenyum lebar. "Jadi anak baik ya. Aku sayang kamu." *** "Gha..." Suara lembut itu membuat Fagha menoleh. "Ya Nay?" sahut Fagha sambil tersenyum. "Kamu serius ajak aku ke sekolah kamu?" tanya Naya ragu - ragu. Fagha menggenggam tangan Naya. "Kalau enggak serius, sekarang kita enggak ada di halaman sekolah aku." "Kalau aku nyusahin kamu gimana?" Fagha tertawa. "Enggak akan, tenang aja. Lagipula pertandinganku enggak hari ini." "Terus ini pertandingan apa?" "Ya basket juga, cuma khusus putri--" "--Beberapa tim basket dari sekolah - sekolah lain bakal datang dan ikut tanding." "Termasuk sekolahmu?" "Iya. Jadinya daripada kamu nonton sendiri pas aku tanding, mending kita nonton bareng pas pertandingan putri. Kan lebih asyik." Naya mengulum senyumnya kecil. "Kamu enggak malu?" Fagha mengerutkan keningnya. "Buat apa malu?" "Ya karena ajak orang buta kaya aku." Fagha terkekeh. "Apa jangan - jangan kamu yang malu ya jalan sama cowok dekil kaya aku?" Naya tertawa kecil. "Menurutku kamu ganteng." "Oh ya? Sok tahu kamu ah, kan belum pernah lihat aku." "Aku bisa rasain kok. Mungkin belum bisa pakai mataku, tapi aku bisa merasakannya pakai tanganku. Kan waktu itu udah pernah." Fagha mengangguk. "Lupa enggak? Coba pegang wajahku lagi biar kamu bisa ingat." Naya kembali tertawa. "Pacar kamu enggak akan marah?" "Enggak akan, tenang aja. Aku lagi enggak punya pacar kok." "Oiya? Trus yang kemarin? Yang namanya Mona?" "Kan udah enggak." Naya menggelengkan kepalanya. "Kamu cepet banget sih gonta - ganti pacar?" "Dari pada gonta ganti istri,” sahut Fagha cuek. "Jadi mau enggak pegang wajah ku lagi, biar kamu inget terus nih." "Serius?" "Iya dong, sini deh tangan kamu." Fagha meraih tangan Naya lalu mengarahkannya di wajah. Naya pun tersenyum. Ia mulai meraba wajah Fagha dengan tangannya. Sementara Fagha hanya memandang wajah Naya dengan raut berbinar. "Cantik, kamu selalu cantik Nay. Kamu beda dan hal itu yang buat aku cinta sama kamu bukan sekedar suka kaya aku ke cewek lainnya." Tanpa Fagha dan Naya sadari, seseorang tengah mengamati interaksi keduanya sambil mengepalkan tangannya. Kedua matanya tampak basah karena air mata. *** "Fay, kenapa baru muncul?" "Maaf Pak, saya kira saya enggak jadi ikut. Kemarin saya udah minta Fagha buat cari pengganti saya." Pelatih basket bernama Beno itu menggelengkan kepalanya. "Dia enggak bilang soal penggantian kamu, lagipula susah buat cari pengganti kamu Fay. Tim kita tanpa kamu serasa enggak hidup." Fay menunduk. Ia tahu bahwa banyak orang yang berharap dengan dirinya untuk memenangkan pertandingan ini. Fay tak ingin membuat banyak orang kecewa, tapi ia juga takut mencelakakan sang bayi yang berada di perutnya. "Fay, bapak berharap banyak sama kamu. Ini bukan hanya masalah jabatan kapten yang bisa kamu raih buat periode selanjutnya, tetapi juga kelangsungan basket di sekolah kita." Fay mengangkat kepalanya. Ia pun akhirnya mengangguk mantap. "Ya Pak, saya akan berusaha semampu saya. Membawa kemenangan ini untuk sekolah kita." *** "Pelita...Pelita!!" Sorak sorai dari suporter semakin membakar tim basket putri dari sekolah tersebut untuk memenangkan pertandingan. Tak terkecuali dengan Fay yang nampak lincah berlari kesana kemari untuk mencentak angka hingga pada akhirnya tim mereka berhasil memenangkan pertandingan kali ini. Fay tersenyum lebar sembari membalas pelukan teman - teman satu timnya. Tanpa ada yang menyadari bahwa dirinya sedang menahan rasa sakit di perutnya. "Gila Fay, lo keren banget. Banget!" ucap Sifa sembari merangkul Fay. "Lo juga keren kali Sif,” sahut Fay sembari membalas rangkulan temannya itu. Sifa mengerutkan keningnya saat melihat wajah pucat Fay. "Fay, lo pucat banget sih. Lo beneran sakit ya Fay?" Tanya Sifa panik. "Ha?" Fay menggeleng. "Enggak kok, gue cuma cape aja--" "--Sif, lihat Fagha? Gue kok enggak lihat dia ya?" Sifa mengendikan bahunya. "Tadi sih dia nonton kita bareng cewek yang kayanya buta gitu, tapi selesai pertandingan gue enggak lihat lagi." "Oh gitu, yaudah gue ke ruang ganti duluan ya? Gerah banget." "Eh nanti ikut kan jalan dulu kita, ditraktir Pak Beno." "Em, kayanya enggak deh. Gue ada acara nanti." "Ciye sama pacar ya Fay? Akhirnya temen gue enggak jomblo lagi." Fay tertawa. "Bukan kok--" "Tapi sama dia yang ada di perut gue." sahut Fay dalam hati. "Ah, gue kira. Yaudah deh Fay, gue duluan ya." Fay tersenyum kemudian mengangguk. Ia pun melepas kepergian Sifa yang sedang mendekati teman - temannya yang lain. Tak lama pandangannya tertuju pada sebuah tempat duduk yang berada di pojok lapangan. Dimana Fagha tengah tertawa lebar bersama gadis yang Fay duga adalah Naya. "Cantik, kalian cocok." Ucapnya miris. Sambil menyeka air matanya, Fay akhirnya memutuskan untuk berjalan menjauh dari hiruk pikuk lapangan. Tangannya tak pernah lepas dari perutnya seolah memberi kekuatan. *** "Lo mau ngapain, Mon?" "Kasih pelajaran buat cewek buta itu. Jadi alasan Fagha putusin gue cuma gara - gara cewek buta itu." Terdengar helaan nafas dari lawan bicara Mona. "Jangan macem - macem deh lo, resiko pacaran sama playboy kan gitu. Lo juga sih baru dipepet dikit langsung iyain aja si Fagha." Mona terkekeh sinis. "Gue enggak peduli, pokoknya gue bakal bikin cewek buta itu nyesel." Tanpa keduanya sadari, dibalik pintu salah satu kamar mandi Fay mendengar semua rencana Mona. Ia mulai khawatir jika Mona akan melakukan hal buruk yang dapat membahayakan gadis yang dicintai ayah dari anaknya itu. Sambil mengabaikan rasa sakit yang semakin mencengkeram perutnya, Fay segera keluar dan mengikuti Mona secara diam - diam. *** "Bangun lo cewek buta!" Naya yang sedang duduk sendirian sambil menunggu Fagha mengambil motornya di parkiran langsung terbangun. "Maaf....ada apa ya?" tanya Naya bingung. "Alah, enggak usah sok polos deh lo jadi orang. Cewek buta aja lo berani ngerebut Fagha." "Aku...aku enggak.." Plak "Lo emang pantes nerima ini. Ikut gue ayok!" Mona menarik paksa tangan Naya hingga tongkat Naya pun terjatuh. Mona membawa Naya hingga ke jalanan yang lumayan jauh dari sekolahnya berada. "Tongkat...tongkat aku dimana?" Mona tertawa. "Abis ini lo enggak akan perlu tongkat." Sambil tersenyum miring Mona dengan santainya mendorong tubuh Naya ke tengah jalan saat melihat ada sebuah mobil yang hendak lewat. Namun belum sempat mobil itu menabrak Naya, Fay lebih dulu berhasil mendorong tubuh gadis tersebut hingga terjatuh di tepi jalan bersamaan dengan dirinya yang ikut terjatuh dengan posisi perut yang menghantam perutnya. "Aaaakh!" teriak Fay dan Naya bersamaan. Keduanya sama - sama kesakitan, beberapa luka jelas terlihat di kaki dan tangan Naya sementara Fay merasakan nyeri di perutnya semakin hebat. "Naya!" Teriakan Fagha membuat Mona langsung berlari. Ia tak ingin Fagha mengetahui bahwa dirinya lah dalang dari kejadian tersebut. Fagha berlari kencang mendekati dua perempuan itu. Ia langsung membantu Naya yang ternyata mengalami luka di sudut keningnya dan mengabaikan Fay yang tengah menahan sakit di perutnya. "Nay, kening kamu berdarah." Ucap Fagha panik. "Mas..." rintih Fay terbata - bata. "Mas, tolong." Namun Fagha tampak mengabaikannya, ia terlihat jauh lebih khawatir pada Naya. "Kita ke rumah sakit ya Nay. Luka kamu bahaya." "Tapi, yang tadi nolong aku..." Fagha menoleh ke arah Fay. Lalu kembali menatap Naya. "Dia baik - baik aja, dia enggak kenapa - napa." "Nanti Mas telpon Satya ya La, mas harus bawa Naya dulu. Dia berdarah." Setelah itu Fagha langsung membawa Naya menuju rumah sakit terdekat. Meninggalkan Fay yang nyaris kehilangan kesadarannya. "Mas....tolong jangan tinggalin dia. " "Mas...tolong...mas jangan pergi, Mas ... anak kita ...." ***

Cerita bagus bermula dari sini

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN