Keputusan Ngontrak

1599 Kata
"Boleh kalau gua ngerepotin lu, kan?” Putra mengabaikan pertanyaan yang Fikri buat. Dia berjalan ke arah dapur dan meninggalkan Fikri yang sudah duduk di atas karpet ruang tamu. Fikri tahu kalau Putra sedikit tidak suka dengan dirinya lantaran Fikri terlahir sebagai anak dari keluarga yang kaya. Hal itu sangat berbeda dengan Putra yang hanya sebagai anak sederhana. Oleh karena itu, Putra sering menyindir Fikri hanya untuk menyalurkan emosi. Namun, Putra tidak sejahat itu. Tetap saja dia adalah teman yang paling Fikri pegang erat. Dia teman yang selalu menemani Fikri saat pria itu kesusahan. Pernah Putra berkata, “Kalau omongan gua nyakitin, jangan salahin gua. Salahin diri lu yang orang kayak mau temanan sama gua yang orang nggak punya.” Tenang saja, Fikri sudah paham dengan sikap Putra sejak lama. Dia tidak masalah dengan itu semua. “Warga pada ngeliatin gua tadi, serasa jadi model pria terkeren yang lagi cat walking di tengah jalan aja. Yang lain di pinggir jalan sambil liat gua yang jalan di tengah-tengah,” kata Fikri. Sesaat setelah itu, Putra kembali membawa segelas penuh air mineral dan tangan satunya memegang minuman kaleng. Dia berikan kedua minuman itu pada Fikri yang disambut dengan senyuman. “Terima kasih Abang Putra yang baik hati.” “Selalu begitu, mujinya kalau gua baikin doang. Lagian lu kenapa over percaya diri, sih? Mereka bukan anggep lu model pria terkeren, tapi nganggep sejak kapan kampung ini nerima orang udik seperti lu?!” sindir Putra dengan mudahnya. Sudah biasa seorang Putra berbicara yang pedas untuk para sahabatnya. Semuanya sudah tau tipikal gaya berbicaranya. Mendapati sindiran tak membuat Fikri merasa buruk. Dia justru menyanggahnya. “Udik gimana? Orang outfit gua hari ini modis banget. Masa dibilang udik? Lu aja yang nggak kenal gaya!” “Mungkin bagi lu itu modis, tapi bagi warga sini itu udik! Orang sini nemu gua yang pakai jaket aja heran, apalagi lu yang pakai pakaian begini? Beruntung nggak ada yang ngira kalau lu tukang pijit gara-gara pakai kaca mata hitam. Lu jadi tinggal di sini?” Fikri tersenyum menanggapi dan menunjuk kopernya di sampingnya. “Berarti orang sini harus gua kasih pelajaran penting tentang gaya berpakaian. Gua udah bawa beberapa pakaian yang gua butuh untuk beberapa hari. Nanti kalau kurang, gua tinggal ambil di rumah, deh. Kamar gua di mana?” Pertanyaan yang membuat Putra langsung melotot. Dia menggelengkan kepala, kebingungan karena orang di depannya ini sedang menghina atau memang tidak mengerti. “Kamar apaan maksudnya? Di sini nggak ada kamar lagi selain kamar di tengah. Kalau lu mau tidur misah, ya tidur di ruang tamu pakai karpet ini. Jangan samain kontrakan gua sama rumah lu yang gede!” Putra menjawabnya dengan nada sewot. Fikri pun tertawa mendengarnya. Sejujurnya Fikri sudah tahu di mana dia harus tidur. Dia memang sudah melihatnya sejak awal datang. Namun, dia pikir akan ada kasur tambahan setelah dia tiba. “Yah elah, bercanda, Put. Lu sewot banget hari ini, ya? Habis datang bulan hari pertama atau jangan-jangan bisnis MLM lu gagal, ya?” “Habis kedapetan beban keluarga yang sebentar lagi akan jadi beban gua di sini. Sejak kapan gua nggak sewot sama orang modelan kayak lu yang senengnya morotin uang orang tua?” “Yah gua langsung pamit undur diri dari perdebatan yang lu buat, deh. Susah kalau udah ngomongin morot-morotan. Jadinya gua tinggal di sini bayar juga, Put?” tanya Fikri. “Sesuai kesepakatan kemarin aja. Lu bayar setengah, gua bayar setengah. Terus lu harus bantu cuci baju gua minimal tiga kali seminggu. Gua nggak pernah masak lauk, paling hanya masak telur atau mie aja, tiap hari gua beli lauk. Kalau lu mau masak silakan. Cuma gua nggak yakin kalau lu bisa pakai kompor selain buat masak telor ceplok,” jawab si Putra. “Enak aja! Kenapa omongan lu selalu bener, sih? Heran banget. Lu sejak kapan ngintipin keseharian gua? Nggak sampai ngintipin onderdil daleman gua, kan?” “Ngapain juga gua ngintipin keseharian lu? Kayak orang nggak ada kerjaan aja. Mending gua sisirin bulu domba, lebih bermanfaat karena melatih kesabaran. Orang modelan seperti lu itu kalau nggak beli makanan, paling nyuruh asisten buat masak,” sahut Putra. Kalau dipikir-pikir memang sangat merugikan bagi Fikri. Dia tetap harus membayar sewa kontrakan, tetapi harus membantu mencucikan pakaian Putra juga. “Gua disuruh bayar juga, tapi disuruh nyuci juga. Lu tega banget, Put. Nggak asik lu!” “Kalau lu nggak mau bisa keluar sekarang! Silakan aja. Gua masih sanggup bayar kontrakan ini sendirian tanpa bantuan uang lu,” jawab Putra yang langsung pergi ke dalam. Tersisalah Fikri seorang diri di ruang tamu. Dia masih memikirkan kembali hal yang menjadi bayaran dia untuk tinggal di kontrakan Putra. “Laundry aja nggak boleh, Put? Gua yang bayar, deh.” “Nggak ada pake jasa orang lain buat nyuci baju sendiri! Lu masih sehat, jangan jadi pemalas!” seru Putra dari arah dapur. “Itu baju lu, Putra! Bukan baju gua doang. Ngomong-ngomong masalah pemalas, kalau begitu kenapa lu nyuruh gua? Lu juga masih sehat, kenapa harus gua yang disuruh nyuci?” tanya Fikri. “Pintu keluar masih terbuka lebar, Fik. Silakan aja kalau mau keluar, tutup lagi pintunya jangan lupa!” seru Putra yang tidak peduli perkataan Fikri. Fikri pun mulai menyerah dengan keras kepalanya Putra. Rayuan Fikri tidak ada yang berhasil. Terlalu asyik melamun, Fikri sampai tidak sadar kalau Putra sudah berdiri di dekatnya sambil bersandar di tembok. Putra memegang gelas berisikan air siriup yang dia buat tadi. “Lu mau mie rebus?” Fikri pun terlonjak mendengar pertanyaan Putra yang terkesan mengejutkan. “Mau dong satu. Put, gimana kalau gua yang bayarin semua biaya kontrakan ,tapi gua nggak mau nyuci.” Putra beralih ke dapur tanpa menjawab pertanyaan Fikri. Jelas saja Fikri marah. Akhirnya Fikri mengikuti Putra ke dapur. “Kenapa pertanyaan gua nggak dijawab? Mau kan kalau gua yang bayar semuanya?” tanya Fikri. “Sesuai dengan yang gua omongin tadi. Gua masih sanggup bayar kontrakan ini sendirian. Kalau lu masih mau tinggal di sini, harus setuju sama penawaran. Kalau nggak, ya silakan cari tempat lain.” “Lu nggak ada pedulinya banget sama temen, sih? Ya udah gua lakuin, tapi lu harus bantu gua! Pokoknya nanti sore gua mau keliling daerah sini. Titik nggak boleh pakai koma apalagi pembantahan.” Setelah Fikri berkata seperti itu, dia pun langsung kembali ke ruang tamu untuk mengambil koper yang tadi dia bawa. Kalau dibiarkan sampai Putra menjawab obrolannya, pasti temannya Fikri akan menolak untuk membantunya. “Kenapa gua harus punya temen kayak lu yang mirip kulkas berjalan, sih? Padahal gua berharap akan punya temen yang bisa nerima keadaan gua, terus bisa nemenin saat gua susah atau senang,” kata Fikri yang sedang menarik kopernya ke dalam kamar. Sindiran yang bisa langsung didengar oleh Putra. Beruntung Putra tidak terlalu sensi, dia enggan untuk menjawabnya. “Ini gua taruh baju di mana, Put?” tanya Fikri dari arah kamar. Selagi menunggu jawaban Putra, Fikri dengan lancangnya membuka pintu lemari. Matanya langsung melebar melihat satu bungkus kecil berwarna biru di selipan bawah baju yang dia lipat. Bruk! Pintu ditutup paksa oleh Putra. Fikri pun dapat melihat wajah Fanar yang datar dengan rahang yang mengeras. “Oh oow! Salah buka, ya? Maaf ya, Put.” “Peraturan pertama. Jangan sentuh barang yang gak pernah gua kasih izin untuk lu sentuh. Termasuk HP dan laptop gua,” sahut Putra dengan suara meninggi. “Kalau nggak boleh buka lemari yang ini, soalnya ada satu bungkus barang buat begituan sama cewek, ya? Lu main sama siapa, Put? Emang di kontrakan ini boleh bawa cewek dari luar?” Pertanyaan yang Fikri ajukan benar-benar membuat Putra semakin geram. Dia tidak bisa marah, karena pasti Fikri hanya tertawa menanggapinya. Putra pun menarik napasnya dengan kasar lalu mengembuskannya dengan kasar pula. “Peraturan kedua. Jangan kepo sama hal yang bukan urusan lu tentang hidup gua. Pikirin urusan lu sendiri tanpa harus ngerecokin hidup gua!” kata Putra. Fikri menatap Putinya, kemudian menunjuk telunjuk dan tengahnya bergantian. “Tadi suruh nyuci baju itu dihitung peraturan apa enggak? Kalau dihitung, seharusnya udah peraturan ketiga.” “Aaarghhhh!” Putra pun memukul lemari di sampingnya sampai menimbulkan suara kencang. Dia semakin enggan menghadapi temannya yang satu ini. “Sejujurnya gua juga bingung kenapa harus punya temen yang seperti lu? Hobinya nyusahin dan buat orang repot aja. Intinya peraturan pertama dan kedua tadi adalah peraturan mutlak. Kalau nyuci baju gua itu ada di ketentuan untuk tinggal di kontrakan ini.” Fikri mengangguk menanggapinya. Dia lalu melihat pintu sebelah lemari yang tadi dia buka. Masih ada kunci yang menggantung di sana. “Jadi ini lemari gua? Lu baik banget, Put. Kalau cewek udah gua pacarin, nih.” Putra memang sudah merapikan kontrakan ketika Fikri bilang akan datang di hari minggu siang. Dia tidak mau kontrakannya acak-acakan ketika ada teman yang datang ke kontrakannya. “Lu kenapa harus banget tidur di kontrakan ini, sih? Kenapa lu nggak main ke sini tiap hari atau tiap malem? Dengan cara begitu juga lu pasti bisa ketemu sama Bu Alin.” Fikri mulai merapikan baju yang dia bawa di koper ke dalam lemari. Pertanyaan Putra tidak dia gubris karena memang dia belum tau alasannya. Dia hanya memiliki rencana untuk beberapa bulan ke depan. “Lagian ini lu beneran suka sama dia, Fik? Lu nggak lagi kepentok batu, kan? Lu masih waras, kan?” tanya Putra. Dia sudah berjalan kembali ke dapur. “Jangan dipikirin masalah gua, Put. Intinya lu bisa tidur tanpa gangguan gua. Lu juga masih bisa bermain yang tadi sama perempuan lain asal kalau nggak ada gua aja di sini dan nggak kebablasan.” “Pergi ke neraka sana!” balas Putra.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN