Kontrakan

1010 Kata
Sebagai seorang yang disangka melakukan tindak kejahatan, Fikri memang harus menghubungi kedua orangtuanya. Yah, hal itu dia lakukan semata-mata agar dia tidak mendapatkan tatapan tajam dari kedua orang tua Carlina. “Ayah lagi di mana?” tanya Fikri. Dia menghubungi ayahnya di teras rumah Carlina. Sendirian, dengan hati yang terus berdegup kencang lantaran mulai panik. “Ada apa nelepon?” tanya balik Pandu, ayahnya Fikri. Dengan suara yang serak seperti orang yang terbangun dari tidur. Wajar saja Pandu berbicara seperti itu, sekarang sudah hampir jam sebelas malam. “Fikri .... Datang ke alamat yang Fikri kirim sekarang, ya. Fikri lagi ada masalah,” jawab Fikri yang mulai canggung. Mendapatkan jawaban seperti itu, Pandu pun memekik keras. “Malam-malam begini buat masalah apa kamu? Jangan-jangan kamu menghamili anak orang, ya?” “Yah, bisa dateng aja? Fikri jelasin di sini nanti,” potong Fikri yang mulai segan mendengar pembicaraan ayahnya. “Sudah tidak pulang selama dua minggu. Telepon-telepon langsung dapat masalah. Ayah sama Ibu datang sebentar lagi.” Telepon langsung terputus setelah Pandu berbicara. Bingung, kesal, marah, takut, dan masih banyak perasaan yang sedang dia rasakan. Bagaimana tidak? Fikri sangat tidak mengharapkan hal ini terjadi. Ketika dia berbalik, Carlina sudah bersandar di daun pintu dengan tangan yang disedekapkan. Matanya yang menatap nyalang ke arah Fikri membuat pemuda itu semakin risau. “Maaf, Bu.” Fikri mengucap dengan suara pelan. Sangat pelan bahkan sampai Carlina mengira Fikri bergumam. Perempuan yang berbeda enam tahun dari Fikri itu pun mendengkus kesal. Dia semakin marah dengan tingkah mahasiswanya yang selalu berbuat masalah. Carlina sudah muak dengan Fikri di kampus. Ternyata Fikri mengacaukan hari dia sampai di rumahnya juga. “Kamu ini nggak ada habis-habisnya cari masalah.” Mendapatkan jawaban itu, Fikri menundukkan wajahnya. Dia sungguh malu. “Saya ... saya minta maaf, Bu.” “Kamu ini sebenarnya ada urusan apa di sini? Sudah lama saya lihat terus mondar-mandir area sini. Ada apa?” “Ya saya tinggal di sekitar sini, Bu.” Carlina terbelalak. “Oh kalau begitu bagus. Kita nggak perlu tunggu orang tua kamu lama-lama.” Fikri menggeleng membantahnya. Sambil tertawa kecil, dia membantah ucapan Carlina. “Saya di sini tinggal sama Putra. Kami berdua ngontrak di sekitar sini. Kalau orang tua saya tinggalnya jauh dari sini.” Dua minggu yang lalu .... Pemukiman ramai penduduk di daerah Jakarta menjadi saksi perjalanan Fikri yang sedang menarik koper besarnya dari ujung gang. Sudah pasti dihadiahi tatapan kebingungan dari para penduduk di sana. Bayangkan saja, dia memakai pakaian rapi dengan gaya yang sangat modis—kaus hitam polos yang dilapisi flanel merah, celana levis hitam, dan memakai kaca mata hitam untuk melindungi matanya dari sinar matahari. Caranya berjalan seolah seorang bintang dengan para penduduk yang melihat Fikri berjalan dari pinggir jalan beraspal. Yang ditatap justru tidak peduli, dia semakin merasa dirinya keren dipandang sebagai pusat perhatian oleh para penduduk. Semua itu Fikri abaikan dengan memandang lurus jalanan. Dia hanya harus sampai ke kontrakan nomor 76 di jalan Loka IV, kontrakan milik Putra. Seminggu yang lalu, dia sudah meminta izin pada Putra untuk tidur bersamanya sampai waktu yang tidak bisa ditentukan. Tentu saja tidak gratis, Putra meminta ganti rugi atas semuanya. Dengan berat hati, Fikri harus menuruti semua yang Putra pinta. Alasannya bukan lain hanya untuk seseorang yang juga tinggal di daerah Loka V juga. Sesampainya di depan sebuah kontrakan, Fikri langsung menggeser gerbang yang tingginya sedada. Dia menatap dengan alis yang mengernyit pada ketiga kontrakan yang berada di depannya. Lumayan kumuh, sangat jauh berbeda dari rumahnya yang luas dan bersih. “Pantes dia nggak mau ngundang temennya ke sini. Ternyata keadaannya menyedihkan.” Tangannya tergerak mengambil ponsel dari dalam saku, lalu menekan kontak Putra di sana dan menempelkan benda pipih itu ke telinganya. “Halo dengan Putra, mahasiswa Lentera ada yang bisa dibantu?” Fikri menjauhkan ponsel dari telinganya. Dia memandang benda itu dengan heran. Lalu dia berbicara menjawabnya. “Gua berteman sama lu udah hampir enam tahun. Masa nomor gue nggak lu simpen, sih?” “Tadi itu hal yang harus gua katakan saat dapet telepon orang. Bukan kayak lu yang langsung ngomel-ngomel ke orang saat teleponan. Ada apa nelepon gua siang-siang begini?” “Lu ini lupa ingatan apa emang sengaja ngelupain gua, sih? Gua udah sampai di depan kontrakan yang lu bilang depannya ada pohon mangga. Punya lu yang mana, nih?” tanya Fikri setelah panggilan dijawab oleh Putra. “Jadi juga lu ke sini. Kontrakan gua yang paling ujung. Di depan kontrakan ada sendal ijo. Lu sendirian ke sini?” jawab Putra dari dalam kontrakan. Tanpa membalas pertanyaan Putra, Fikri pun memutus panggilannya. Pria muda itu berjalan ke arah kontrakan paling ujung dari arah gerbang. Lagi-lagi matanya memandang dua kontrakan di samping kontrakan Putra dengan heran. Setelah itu dia berjalan kembali untuk mengetuk pintu kontrakan milik Putra. Tok! Tok! Tok! “Put buka pintunya!” seru Fikri dari luar rumah. Beberapa menit Fikri dibuat menunggu lantaran Putra tidak keluar juga. Pria itu bahkan sudah mengetuknya lebih dari tiga kali, apa yang sedang Putra lakukan? Entahlah, Fikri juga bingung. Ceklek! Akhirnya pintu rumah kontrakan Putra terbuka, menampilkan raut wajah Putra yang datar. Putra pun sama dengan penduduk tadi, memandang keheranan tubuh yang berdiri di hadapannya. “Lu yang bener aja. Masa ke kampung pakai model baju kayak begini? Warga pasti pada ngeliatin lu, ya? Lu beneran bodoh ya ternyata. Gua pikir selama ini lu hanya drama.” Fikri tidak menjawab pertanyaan Putra. Bola matanya memutar dan setelah itu dia menarik kopernya ke dalam rumah. “Hal yang harus dilakuin untuk menyambut tamu itu dipersilakan masuk tamunya, lalu dikasih minuman segar. Kalau ada makanan, boleh sekalian dibawa. Bukan langsung protes kayak lu.” Sontak saja perkataan Fikri membuat Putra mendelik. Apa dia sudah lupa kalau sebentar lagi statusnya bukan seorang tamu melainkan seorang tuan rumah? “Hari ini gua nggak terima tamu. Kalau lu mau bertamu, akan gua usir saat ini juga,” sahut Putra. “Yah elah. Masa begitu aja baper, sih? Bercanda doang, Put. Lagian gua nggak mau bertamu, gua mau numpang hidup. Boleh kalau gua ngerepotin lu, kan?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN