Pertemuan Keluarga

1393 Kata
Halo Semuanya! Jangan lupa ditap love ya cerita ini hehehe. “Ternyata kamu nggak hanya menyusahkan saya aja. Kamu juga nyusahin teman kamu sendiri,” kata Carlina sambil mendengkus. Mendengar cerita Fikri tentang kepindahannya ke kontrakan Putra membuat Carlina semakin sadar. Ternyata Fikri selama ini memang sudah berniat membuat keributan dengannya. Dia bahkan mengingat pertama kali Fikri memergokinya senam di halaman rumah. “Kamu ini sebenarnya manusia atau bukan, sih?” “Ya manusia, Bu. Kalau saya iblis, Ibu sudah saya culik ke dunia saya terus saya nikahin di sana.” “Fikri!” pekik Carlina dengan lantang. Wajahnya yang semakin mengeras membuat Fikri perlahan tersenyum. “Jangan marah-marah mulu! Nanti saya makin cinta.” Dalam hatinya Carlina berkata, memang sudah tidak bisa Fikri dihentikan. Semakin aku hentikan, dia akan semakin menjadi berkata lancang. “Kalian berdua sedang membicarakan apa di luar sana? Jangan buat rencana kabur, ya!” tegur Rini dari dalam rumah. Kabur? Ada rencana pergi saja mereka berdua tidak ada. Carlina tidak mungkin lari dari masalah ini, apalagi Fikri sang pembuat onar. Walaupun Fikri sedikit lancang, setidaknya dia masih bertanggung jawab atas perbuatannya. Tidak lama kemudian, sebuah mobil berwarna putih membunyikan klaksonnya dari luar gerbang. Mereka berdua menoleh. Fikri yang tahu kalau itu kedua orang tuanya langsung berjalan dan membuka gerbang. Sementara Carlina sudah masuk ke dalam. Setelah mobil masuk, Fikri langsung berjalan ke depan pintu rumah Carlina. Fikri tengah berdiri dengan rona wajah yang memudar. Dia masih belum tahu apa yang akan terjadi nanti. Fikri hanya menduga kalau insiden dengan dosennya tadi bukan sebuah hal yang membawa dampak baik. "Kamu buat ulah apa lagi, sih, Fik? Kenapa sampai Ayah dipanggil sama orang tuanya?" tanya Pandu dengan tangan yang dilipat di depan d**a. "Nanti Fikri jelasin, Yah. Fikri nggak ada banyak waktu sekarang. Ayah sama Ibu masuk ke dalam dulu aja, temuin ayah dan ibunya Bu Carlina." Sontak saja Pandu dan Santi membulatkan matanya mendengar kata "ibu" dari nama Carlina. "Bu Carlina? Siapa dia? Apa yang kamu lakuin ke dia, Fik? Ibu Carlina apa yang kamu maksud itu gimana, sih?" Fikri sungguh berat menjelaskan dan menenangkan emosi ibunya sendiri. Alisnya yang bertaut belum cukup membuat kedua orang tuanya sadar kalau Fikri sedang kebingungan. Satu helaan napas membantunya berusaha lebih tenang untuk menjawab. "Bisa kita obrolin di dalam aja? Yang lain udah pada nunggu. Nanti Fikri jelasin semuanya di dalam." Fikri pun berbalik, mengambil ancang-ancang untuk masuk ke dalam rumah. Namun, suara berat Pandu menyadarkan sekaligus hampis membuat jantungnya sedikit berhenti berdetak. "Fikri kamu nggak ngehamilin anak perawan orang, kan?" Fikri sukses terbelalak mendengar pertanyaan Pandu. Dia bahkan sedikit menahan pekikan kejutan lantaran pertanyaan ayahnya sangat aneh. Akhirnya dia berusaha menarik napas panjang lalu membalikkan badan menghadap kedua orang tuanya yang sedang membutuhkan penjelasan. "Well ... secara teknis Fikri nggak ngelakuin hal itu, tapi secara kenyataan Fikri akan dapetin hukuman yang sama seperti menghamili anak perawan orang." Sekarang gantian Pandu dan Santi yang terbelalak. Mereka juga sama terkejutnya mendengar pengakuan Fikri. Mata yang terbelalak dan mulut yang menganga. Hampir saja Fikri tertawa, tetapi dia sadar kalau dia tertawa artinya dia tidak tahu waktu. Tanpa mau membuang waktu, Fikri pun menggandeng kedua tangan orang tuanya lalu ditarik ke dalam rumah. "Udah nggak usah dipikirin apa yang tadi Fikri bilang. Anggep aja Fikri lagi bercanda sama Ayah, kayak di rumah aja sering bercanda." Mereka bertiga pun berjalan memasuki rumah kediaman Carlina. Kedua orang tua Carlina sudah menunggu di sofa ruang keluarga. Rini dan Irwan langsung berdiri, melebarkan senyuman menyambut tamu. Aksi salam-salaman langsung saja terjadi. Tidak ada wajah cemberut layaknya orang yang sedang marah. Justru keluarga Carlina menyambut keluarga Fikri dengan ramah. "Perkenalkan nama saya Irwan, ayahnya Carlina. Di samping saya ini istri saya, namanya Rini," kata Irwan. Pandu pun menjawabnya. "Iya Pak, nama saya Pandu, ayahnya Fikri. Ini istri saya, Santi. Mohon maaf mengganggu malam harinya begini, Pak." "Nggak masalah, Pak Pandu. Justru harusnya kami yang minta maaf karena udah panggil kalian berdua malam-malam begini," jawab Irwan. "Ayo silakan duduk!" "Lin, tolong buatkan minum, ya!" titah Rini. Carlina yang dari tadi masih duduk pun langsung mengangkat tubuhnya. Dengan sedikit tatapan sinis ke arah Fikri, dia bergegas untuk ke dapur. Sambil berjalan, dia juga menarik lengan Fikri agar ikut dengannya. Sesampainya di dapur, Fikri dilepas dan Carlina langsung menunjuk wajahnya. "Kamu benar-benar manggil orang tua kamu? Kamu ini sadar nggak sih apa dampaknya kalau sampai orang tua kamu datang?" Fikri sudah berkeringat sejak tadi. Ditambah kemarahan Carlina, dia semakin panik. "Ya mau bagaimana lagi, Bu? Ibu juga tadi denger waktu saya telepon Ayah. Tante Rini juga tadi udah nyuruh saya buat manggil, masa saya bohongin, sih? Bohong itu dosa, Bu. Masa Ibu ngajarin mahasiswanya berbohong, sih?" Carlina tidak habis pikir dengan Fikri. Mahasiswanya yang satu ini masih saja bisa membalas ucapannya. "Kamu ini bener-bener keterlaluan, ya. Kenapa kamu nggak kasih alesan aja ke orang tua saya kalau orang tua kamu pergi gitu? Alesan aja, biar masalah tadi cepat selesai. Kamu sengaja ngerencanain ini semua, ya?" Fikri menggelengkan kepalanya sambil menjawab. "Saya nggak pernah ngerencanain ini semua. Sumpah, Bu! Saya juga nggak tau kenapa ini semua bisa terjadi. Lagian kenapa Ibu pikirannya negatif terus kalau sama saya, sih? Saya ini mahasiswa Ibu, lho. Padahal sama mahasiswa yang lain selalu positif, sama saya aja selalu negatif." Carlina sudah lelah berdebat dengan Fikri. Akhirnya dia merelakan malam ini terjadi sesuai takdir. Dia pun beralih membuat minuman untuk tamu dan mengabaikan Fikri. "Saya masih dibutuhkan di sini, Bu?" tanya Fikri sedikit ragu. Tidak ada jawaban. Fikri jadi serba salah kalau seperti ini. Wajahnya memberungut kesal. "Tadi saya ditarik sama Ibu. Kalau saya masih di sini, Ibu masih butuh saya buat di sini nggak? Kalau udah nggak butuh, saya keluar aja." Masih tidak ada jawaban dari Carlina. Akhirnya Fikri pun melakukan hal yang menurutnya benar. Fikri menarik cangkir yang Carlina pakai untuk membuat teh dan mengangkatnya. "Biar saya aja yang bawa ke depan," kata Fikri yang sudah mengangkat kedua cangkir di tangannya. Pria itu tersenyum untuk Carlina. "Kamu hanya bawa dua? Terus duanya lagi siapa yang bawa?" tanya Carlina yang sok penasaran dengan jawaban Fikri. “Kirain nggak butuh bantuan,” ucap Fikri. “Nggak peka banget jadi cowok.” Gelagat Fikri yang seperti orang kebingungan membuat Carlina sadar. Dia pun mengambil nampan dan meletakannya di meja. "Semua cangkirnya taruh di sana aja. Biar saya yang bawa makanannya." "Jadi ada makanannya malam ini? Ternyata Bu Alin juga udah mempersiapkan semua ini, ya? Apa jangan-jangan Ibu yang buat rencana tadi?" Fikri menggoda Carlina, alisnya bergerak naik turun. "Jangan sembarangan kalau bicara. Saya nggak mungkin buat rencana konyol seperti tadi. Memangnya siapa yang tiba-tiba loncat ke balkon rumah orang terus membekap pemiliknya? Lebih parahnya pemilik rumah itu dosennya sendiri. Kamu ini udah semakin nggak waras, ya? Udah jangan mikirin yang aneh-aneh hanya gara-gara makanan. Lagi pula makanan yang saya bawa juga makanan ringan rumahan. Ayo buruan!" Setelah Fikri mengangkat nampan dan Carlina menenteng setoples makanan ringan, mereka pun berjalan ke ruang tengah. Wajah Carlina terus ditekuk lantaran suasana hatinya sudah hancur sejak Fikri memijakkan kaki di lantai dua tepat di balkon kamarnya. "Lihat, mereka berdua tampak sangat cocok, kan? Bahkan saling membantu seperti itu. Mesra sekali," kata Rini yang membuka suara setelah melihat kedatangan Fikri dan Carlina. "Ya begitulah namanya manusia. Kalau memang sudah takdir mau bagaimana lagi, kan? Sudah harus dijalanin," jawab Santi. Fikri langsung membagikan keempat cangkir berisi teh. Carlina yang tidak tahu arah pembicaraan langsung duduk berseberangan dari ibunya sendiri dan membuang muka. "Alin, ayo kenalan dulu sama orang tuanya Fikri! kata Irwan dengan nada suara yang ramah. Jelas saja Carlina langsung menoleh seakan terkejut dan seolah-olah bertanya, "Apa yang terjadi pada otak Ayah? Kenapa jadi baik begini?" Sayangnya, Carlina terlalu takut mengatakan hal seperti itu. Akhirnya dia hanya menyanggupi perintah ayahnya. "Saya Carlina, dosennya Fikri di kampus." Selesai! Hanya itu yang Carlina katakan. Tidak ada alamat, tidak ada pemberitahuan usia, tempat kerja, siapa dia sebenarnya, atau hubungan apa yang terjadi pada dirinya dan Fikri. "Oh jadi kalian kenal dari kampus, ya? Sudah berapa lama?" tanya Santi. "Ya baru tiga tahun, Mah. Fikri juga kuliah baru tingkat tiga, kan," kata Fikri yang sekarang duduk di samping Carlina. Sekarang posisi Fikri dan Carlina tepat bersebelahan. Bagaikan sudah diatur oleh orang tuanya. "Diminum dulu minumannya!" Carlina sudah ingin pergi sejak tadi. Dia ingin kabur dari suasana yang tidak menyenangkan ini. Namun, dia tidak bisa. "Mau langsung dibicarakan?" tanya Irwan.   
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN