Tragedi

1065 Kata
Sesaat bertemu dengan Fikri saja mampu membuat Carlina pusing kepala. Apa lagi jika dia hidup bersamanya? Mungkin Carlina akan mengalami tekanan darah tinggi. Bagi Carlina, Fikri itu tidak lebih dari seorang mahasiswa nakal yang hobinya menjahili dia di kampus. Setiap bertemu, dia pasti menggoda Carlina. Fikri tidak peduli, apakah ada orang di sana atau tidak, bahkan dia tidak peduli jika di sana ada dosen lain atau tidak. Sekarang, perempuan itu sedang bersantai di balkon kamarnya. Dia memegang secangkir kopi hangat di tangan kanan, sedangkan tangan kiri dia lipat di d**a. Penyembuhan diri terhadap hari ini bagi Carlina adalah menatap langit malam dengan hembusan angin yang menerpa kulitnya. "Fikri ....." Satu kata terlontar dari mulutnya. Sejenak dia mengalihkan tatapannya ke arah cangkir, lalu tertawa. "Apa tidak ada perempuan yang menyukai dia?" Diam-diam, Carlina memikirkan kejadian siang tadi. Dia mulai heran dengan tingkah Fikri yang semakin aneh. "Sadar, Carlina! Dia mahasiswa nakal yang tidak punya sopan santun!" Perempuan itu duduk di kursi dan meletakkan kopi yang sedang dipegang. Tangannya beralih memainkan ponsel. Bruk! Carlina menoleh dan menatap seorang pria yang tiba-tiba melompat ke balkon kamarnya. Dia berpakaian serba hitam dengan wajah yang ditutup dengan masker hitam. "Siapa kamu?" tanya Carlina yang mulai gemetar. Dia takut kalau pria di hadapannya adalah seorang maling. Dia sedang sendirian di rumah, tidak ada yang bisa menolongnya. Dia ketakutan sampai air keringat membasahi tubuhnya. Pria itu langsung menarik Carlina masuk ke dalam kamar. Lalu, dia menutup rapat pintunya. "Hei, apa yang akan kamu lakukan?" pekik Carlina. Pria itu tidak menjawab pertanyaan Carlina. Dia menutup gorden sampai tidak ada yang bisa melihatnya dari luar. Carlina ketakutan, dia mengambil sebuah penggaris untuk memukul pria itu. "Pergi! Pergi dari kamar saya!" "Aduh! Aduh!" pekik pria itu tertahan. Setelah penggaris direbut, pria itu menahan tangan Carlina agar tidak bisa bergerak. Wajah mereka bertatapan, tetap saja Carlina tidak tahu siapa pria di depannya siapa. "Tolong!" Carlina mulai berteriak. "Tolong saya" Pria itu mendorong Carlina ke kasur. Sehingga, Carlina terjatuh. Pria itu langsung membekap mulut Carlina dengan satu tangannya. "Ini saya," kata pria itu sambil melepas penutup wajahnya. Setelah terlepas, pria itu tersenyum lebar. "Jangan teriak, Bu! Saya nggak akan macem-macem." Carlina berusaha melepaskan tangan dan mulutnya yang ditahan. Dia tidak bisa berbicara. "Eh ... sorry, Bu!" Pria itu melepaskan bekapan mulut Carlina. "Fikri! Kurang ajar kamu! Lepasin saya!" pekik Carlina nyaring. "Bu, janji dulu nggak akan teriak-teriak! Saya akan lepasin Ibu kalau udah janji!" kata Fikri sambil berusaha meredamkan emosi Carlina. "Kurang ajar! Lepasin saya sekarang juga! Saya ini dosen kamu, bukan teman kamu!" sahut Carlina dengan berteriak. Fikri langsung membekap mulut dosennya lagi. "Tuh, Ibu berisik banget, sih! Nanti saya ketangkep sama warga, Bu. Tadi saya habis ngintipin anak gadis mandi, terus ketahuan. Jangan berisik, Bu!" Mata Carlina terbelalak. Dia berontak, tetapi tenaga Fikri lebih besar dan dia tidak bisa melawannya. "Bu, jangan teriak, ya? Saya lepasin, tapi jangan berisik. Nanti kalau warga tahu saya ada di sini, bisa makin gawat, nih!" Fikri melepaskan tangan kanannya dari mulut Carlina. "Fikri—" Tidak jadi, dia membekap mulut dosennya kembali. Tangan kirinya menahan kedua tangan Carlina di atas kepalanya. "Bu, saya mohon jangan teriak! Saya bisa habis dipukulin warga kalau Ibu teriak. Saya janji nggak akan ngapa-ngapain Ibu di kamar ini," ucapnya dengan penuh harap. "Kalau bisa nahan, sih ...." Ceklek! Mereka berdua langsung menatap pintu yang terbuka tiba-tiba. Carlina langsung terbelalak menatapnya, sedangkan Fikri mulai kepanikan. Itu adalah ... ayahnya Carlina, Irwan Syahreza. Dia tidak berbuat apa-apa selain diam di daun pintu. Matanya menatap kedua insan yang sedang berada dalam posisi Fikri menyangga Carlina. "Saya tunggu kalian berdua di bawah!" ucapnya dengan nada tegas. Carlina langsung memekin tertahan. Merasa tidak enak, Fikri langsung berdiri dan melepaskan bekapan tangannya. Dia langsung menatap dosennya yang mulai menyorotkan kemarahan di matanya. "Nggak di kampus, nggak di taman, sampai rumah pun kamu nyusahin saya," ketusnya dengan mata melotot. "Semua ini salah kamu! Kamu harus katakan yang sejujurnya di bawah! Jangan sampai saya kena masalah!" Carlina berjalan keluar dari kamarnya. Setelah melewati pintu, dia berbalik dan menatap mahasiswanya sedang menggaruk kepalanya. "Aduh, jadi makin kacau urusannya," gumam Fikri yang terdengar di telinga Carlina. "Ayo, jangan sampai buat ayah saya menunggu." Carlina menyilangkan tangan di d**a. Fikri pun mengikuti dosennya ke lantai bawah. Pikiran buruk mulai datang ke dalam benaknya. Dia ketakutan akan dibawa ke kantor polisi dalam kasus pelecehan atau tindak asusila. "Bagaimana hidup gue di penjara nanti? Susah buat makan enak, deh,” batin Fikri. Sesampainya di lantai bawah, kedua orang tua Carlina sudah duduk di sofa ruang tamunya. Mata mereka memancarkan kemarahan, Fikri dan Carlina tahu itu. "Siapa kamu?" tanya Irwan ke Fikri setelah pria itu duduk. Fikri menatap Carlina sekilas. Dosennya tidak menatap balik, justru mengalihkan pandangan dan menghela napasnya dengan kasar. "Saya Fikri, Om." Hanya itu yang dapat keluar dari mulut Fikri. Dia bingung harus menjawab dengan kalimat apa lagi selain perkenalan diri. "Ada hubungan apa kamu dengan putri saya?" sahut Irwan sangat ketus. "Saya ... saya ... saya—" "Dia mahasiswa Alin, Yah." Sontak jawaban Carlina membuat kedua orang tuanya terbelalak. "Mahasiswa kamu? Sudah main gila kamu rupanya, Lin!" "Ayah, Alin bisa jelasin—" "Nggak ada yang perlu dijelasin. Apa yang dilihat ayahmu tadi sudah menunjukkan sesuatu yang benar-benar kotor!" ketus ibunya, Rini. Carlina hanya bisa menyandarkan tubuhnya di sofa. Dia menatap Fikri dengan tajam. "Tanggung jawab!" bisiknya. "Maaf, Om, Tante," kata Fikri menyela pembicaraan. "Sebelumnya saya mau minta maaf atas kejadian tadi. Yang Om lihat tadi, bukan apa-apa—" "Nggak perlu dijelaskan! Saya tidak mau mendengar alasan kalian berdua. Saya mau kalian berdua nikah!" "APA?! NIKAH?!" pekik Fikri dan Carlina bersamaan. "Ayah, nggak bisa begitu, dong!" bantah Carlina. "Alin nggak ngelakuin apa-apa, tadi cuma insiden yang nggak disengaja aja." Sementara Fikri sudah tersenyum menaikkan sebelah bibirnya. Dia membuang muka, lalu tersenyum lebar. Memang itu yang dia harapkan, bukan? Mendapatkan dosennya yang cantik. "Ayah tidak peduli," sahut Irwan dengan mata melotot. Dia beralih menatap Fikri. "Telepon orang tuamu sekarang! Malam ini juga kita bicarakan pernikahan kalian berdua!" "Ayah! Seharusnya Ayah dengerin penjelasan Alin dulu!" tegas Carlina. "Ayah nggak bisa asal nikahin Alin sembarangan." "Kamu aja bebas berhubungan sama siapa pun sembarangan, sampai ketahuan sama Ayah lagi. Kenapa Ayah harus izin kamu dulu sekarang? Pokoknya kalian berdua harus menikah!" "Nak Fikri, ayo telepon orang tuamu!" kata Rini. Fikri menatap Carlina sekilas. Dosennya melotot ke arah dia. "Eh-eh, iya, Tante,” jawab Fikri ragu-ragu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN