11. Dibawah sinar rembulan

1598 Kata
Zayn dan Irene tiba di villa saat malam telah mendekap bumi sepenuhnya. Gugusan bintang yang terbentang di langit, ditemani cahaya rembulan yang memancar dengan sendu makin menyemarakkan suasana malam ini. Irene yang baru saja turun dari mobil, tak langsung pergi dari sana. Ia terpukau begitu melihat Dewi bulan duduk anggun di atas singgasananya. Perlahan kakinya mulai melangkah, Irene ingin menikmati pemandangan indah itu dengan leluasa. Mendapati Irene masih setia berdiri di pelataran villa membuat Zayn urung masuk ke dalam. Pria itu lantas mendekati istrinya dan berdiri tepat dibelakang Irene. Manik mata birunya tertuju pada titik di mana Irene tak bisa melepaskan pandangannya sama sekali, sampai-sampai gadis itu tidak menyadari kedatangan suaminya. "Bulan yang indah," bisik Zayn. Irene berjengit. Sensasi panas menjalar di sekujur tubuhnya saat Zayn membisikan kata-kata itu tepat di daun telinganya. Gadis itu pun menoleh dan lagi-lagi dia merasakan detak jantungnya bertalu lebih cepat. Dia tidak menyangka Zayn sedang berada dibelakangnya dengan posisi sedekat ini, membuat hidung mereka saling bergesekan. "Ka ... kamu. Sejak kapan berdiri di sini? Aku pikir kau sudah masuk ke dalam." Irene meringis sambil menggaruk pelan keningnya, hal yang selalu dia lakukan ketika sedang salah tingkah. Irene memundurkan tubuhnya karena saat ini keduanya sangat dekat dengan posisi saling berhadapan, dan itu membuatnya canggung. "Tadinya aku ingin segera masuk dan berisitirahat, tapi tidak lagi begitu aku melihat pagelaran indah ini," sahut Zayn. Perlahan, pria itu melangkah maju agar bisa kembali dekat dengan Irene. "Kau mau apa?" "Mau melihat bulan, memang mau apa lagi?" Zayn terkekeh. Melihat rona merah yang menyembul di kedua tulang pipi Irene adalah kebahagiaan tersendiri baginya. "Kau kan bisa melihatnya dari situ. Jangan terlalu dekat! Takut akan ada yang melihat nanti." Irene melangkah mundur seiring gerakan suaminya yang kian mendekat. "Memang kenapa kalau ada yang melihat kita berduaan? Toh kita juga telah menjadi sepasang suami istri yang sah. Tinggal bilang pada mereka, seperti mereka belum pernah mengalaminya saja," jawab Zayn asal. "Tidak semua penghuni rumah ini sudah menikah Zayn," cebik Irene. Secepat kilat, Zayn menarik tangan Irene hingga membuat kepala gadis itu menubruk d**a bidangnya. Aroma musk terasa begitu menusuk hidung Irene. Perlahan ia mendongak, membuat keduanya saling bertemu pandang. Manik mata biru tengah menyorotinya begitu dalam dan lagi-lagi Zayn tersenyum karena untuk kesekian kalinya dia kembali melihat semburat merah di wajah ayu istrinya. Zayn menangkup kedua bahu Irene kemudian membalikkan tubuh gadis itu. "Kita bisa melihat cahaya bulan purnama bersama," bisik Zayn lagi. "Tidak perlu terlalu dekat seperti ini juga kan," protes Irene. Gadis itu berniat kembali membuka suara tapi Zayn menyentuh dagu runcingnya dan dengan lembut mengarahkan ke depan. "Lihat itu!" Zayn menunjuk bola cahaya yang masih memendarkan sinarnya di atas langit. "Sangat indah," gumam Zayn. "Namanya juga bulan purnama, sudah tentu indah. Kau bicara seakan baru pernah melihatnya saja." "Aku memang baru pernah melihatnya, dan aku baru tahu kalau ternyata menatap bulan purnama itu bisa menimbulkan efek kebahagiaan dalam diri kita." "Hm, sudah kuduga. Kau mana ada waktu untuk melakukan hal sepele seperti ini. Semua kegiatan dalam hidupmu itu sudah dijadwalkan dengan teratur, bahkan mungkin untuk buang air saja sudah ada jadwal khusus untukmu." tawa Irene pecah, ia membungkam mulutnya karena tak tahan. Kasihan sekali pria itu. Zayn memang hidup berkecukupan dan dengan gelimang harta yang dia miliki, Zayn bisa membeli atau melakukan apapun yang dia inginkan. Namun, rasanya sungguh miris sekali sampai untuk melihat bulan purnama saja dia tidak pernah. Zayn mencebikan bibirnya melihat Irene tak henti mentertawakan dirinya. Mendadak terbersit ide untuk mengerjai Irene. Pria itu pun mengerling nakal lalu menarik tangan yang Irene gunakan untuk menutupi mulutnya. Cup. Tubuh Irene membeku seketika. Tawanya surut dengan bola mata membulat penuh. Irene hendak protes tapi sepertinya dia harus mengubur dalam-dalam keinginannya karena Zayn terus membungkam mulutnya. Zayn tersenyum miring. Biarkan saja Irene terus memberontak karena Zayn tidak akan melepaskan gadis itu begitu saja. Zayn masih melakukan kegiatannya membungkam tawa Irene hingga matanya menangkap tiga orang pria yang sedang berjalan ke arahnya. Sontak pria itu mendelik, Zayn melepaskan bibirnya dan menatap tiga pria itu dengan tatapan membunuh. Sementara Irene yang terkejut, segera membalikkan badannya demi bisa melihat apa yang membuat suaminya murka. "Saya tidak melihatnya Tuan," cicit Albert. "Saya juga." disusul pria dibelakangnya, Hans dan Bryan. "Siapa yang menyuruh kalian berkeliaran di tengah malam begini!" seru Zayn. "Maaf Tuan, tadinya kami hanya berusaha mengecek keadaan Tuan saja karena sejak mobil Tuan terparkir di garasi, Tuan belum juga masuk ke dalam. Saya takut terjadi sesuatu pada Tuan dan Nyonya," terang Albert. "Alasan saja!" "Kami tidak berbohong Tuan, sungguh." "Pergi!" usir Zayn. Ketiga pria itu pun mengambil langkah seribu meninggalkan tempat tersebut. Mereka tidak tahu hukuman apa yang akan Zayn berikan karena mereka telah memergoki majikannya sedang berciuman. Semoga saja hukumannya tidak buruk. "Kau lihat sendiri kan bagaimana jadinya? Sudah kukatakan untuk lebih berhati-hati lagi. Kau ini!" geram Irene, dengan gemasnya dia mencubit perut suaminya. "Maaf, tadinya aku hanya ingin menggodamu tapi cecunguk itu datang di saat yang tidak tepat. Membuat jengkel saja." "Lain kali kalau mau melakukannya itu mesti lihat tempat." Irene berjalan masuk ke dalam villa, meninggalkan Zayn yang masih menggerutu di belakangnya. *** Keesokan harinya. Zayn menggeliatkan tubuhnya. Ia mengucek matanya pelan saat bias sinar mentari menerobos jendela kaca dan menerpa matanya. Tangan kirinya terasa berat dan susah untuk digerakkan. Ia pun menoleh dan sedetik kemudian seulas senyuman terangkai di bibirnya manakala melihat Irene masih tertidur pulas dengan menjadikan lengannya sebagai bantal. Perlahan, Zayn menyingkirkan kepala Irene dan menaruh bantal di bawahnya. Pria itu beringsut turun untuk pergi ke kamar mandi begitu melihat jarum jam dinding yang sudah menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. "Seumur hidup, aku baru pernah bangun sesiang ini," monolognya sambil memasuki kamar mandi. Tak butuh waktu lama untuk Zayn menyelesaikan ritual mandinya. Pakaian ganti juga sudah tersedia di atas kasur begitu pria itu keluar dari kamar mandi. 'Kemana dia,' batin Zayn yang tak mendapati Irene berada di kasur lagi. "Kenapa tidak membangunkan aku?" Irene muncul dari balik pintu dengan membawa nampan berisi secangkir kopi hitam dan juga piring berisi roti tawar lapis. "Kau terlihat sangat lelah, aku tidak tega membangunkanmu lagian aku juga masih bisa mengurus keperluanku sendiri," balas Zayn seraya memakai kaos polo-nya. "Jangan membiarkan aku menjadi istri yang durhaka dengan tidak melayanimu dengan baik." meletakkan nampan di dekat meja sofa lalu mendekati suaminya. "Ada begitu banyak cara untuk seorang istri mengabdi pada suaminya. Tidak melulu dengan harus menyiapkan dan melayani segala keperluannya saja. Mendengarkan apa kata suami, menuruti perkataan suami, itu saja sudah merupakan bakti seorang istri terhadap suaminya," jelas Zayn, panjang kali lebar. "Iya. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri, aku akan berusaha dan belajar menjadi istri yang baik. Aku akan selalu patuh padamu." "Ya, dan aku tegaskan padamu! Jangan sekali-kali melakukan pekerjaan seorang pembantu atau aku akan marah! Aku menikahimu untuk menjadikanmu teman hidupku, dan bukannya sebagai pembantu. Cukup selalu ada didekatku dan memberikan perhatianmu padaku, itu sudah lebih dari cukup." "Hm, bicaramu manis sekali." Irene menarik lengan Zayn lalu membawanya untuk duduk di sofa. "Sebaiknya kau sarapan dulu, aku akan mandi." "Aku akan menunggumu saja, kita sarapan bersama," ujar Zayn. "Ya sudah. Tunggulah sebentar." Zayn mengangguk. Sambil menunggu istrinya selesai, dia bisa mengecek pekerjaannya. Sebenarnya dia memang masih memiliki pekerjaan dan jadwal pertemuan dengan klien hari ini, tapi Zayn tidak mau mengecewakan Irene dengan mengacaukan liburan mereka kali ini. Jadilah dia menyuruh Albert saja untuk menghandlenya, sementara dia hanya perlu mengecek ulang. Liburan. Ya, Zayn menyebutnya demikian karena memang mereka tidak terlihat seperti pasangan pengantin baru yang sedang bulan madu. Ini adalah murni perjalanan bisnis yang kebetulan lokasinya berada tak jauh dari beberapa obyek wisata di kota itu. Bertemu klien di hari pertama mereka di kota itu, selanjutnya Zayn hanya ingin menghabiskan waktu dengan Irene. Zayn buru-buru menutup laptop dan menaruhnya di atas meja begitu mendengar pintu kamar mandi terbuka. Seperti biasa, tampilan gadis itu selalu memukau di mata Zayn. "Kenapa menekuk wajah begitu?" tanya Zayn. "Kemana perginya baju-baju yang aku siapkan di koper? Kenapa malah berganti menjadi pakaian yang kurang bahan, kurang jahitan begini, astaga," dumel Irene. "Tidak buruk. Baju itu bagus dan terlihat pas di badanmu, memang apa yang salah?" Zayn tak dapat menyembunyikan tawanya saat melihat istrinya mengoceh gara-gara pembantu di rumahnya mengganti semua baju-baju di koper Irene. Pakaian yang ada di dalam lemari pun telah diganti, semuanya adalah gaun keluaran perancang busana terkenal yang dibeli Zayn dengan model berbeda. Tak ada lagi baju usang milik Irene yang tersisa. Sampai underware pun, Zayn yang meminta pegawai toko untuk memberikan dengan model yang terbaik di kelasnya. Tidak turun langsung pastinya, Zayn menyuruh Albert membeli baju yang sekiranya modis. Bukan karena Zayn tak suka melihat kesederhanaan istrinya dalam berpenampilan, bukan. Melainkan karena Zayn ingin merubah Irene menjadi lebih anggun dan berkelas agar tak ada orang yang akan mengungkit masa lalunya. "Bagus dilihat dari mananya? Bisa-bisa aku masuk angin jika setiap hari terus berpakaian seperti ini." Berulang kali Irene menaikkan dress warna off white tanpa lengan itu ke atas. Dia sungguh merasa tidak nyaman untuk memakainya, pasalnya baju itu seakan hendak melorot ke bawah. "Kau itu cantik, sangat cantik. Aku juga heran kenapa baju-baju itu bisa pas dibadanmu sementara aku membelinya asal. Kau terlihat seperti seorang model." "Sayangnya aku tidak suka. Bajunya memang bagus tapi ini sama sekali bukan style-ku." "Tapi aku suka," balas Zayn. "Apa? Kamu suka aku berpakaian seperti ini?" tanya Irene memastikan. "Hanya jika di rumah atau saat bepergian tapi denganku." "Baiklah," pasrah Irene. Kalau bukan karena dirinya telah berjanji untuk mengikuti keinginan Zayn, mana mau Irene memakai baju-baju itu. Sepertinya Irene harus mulai terbiasa, demi bisa menyenangkan hati Zayn. Bersambung ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN