Zayn mengamati sepotong roti lapis daging yang saat ini sedang dia genggam. Memutarnya, membolak-balikkan demi bisa melihat dengan benar tumpukan rotinya.
"Apa yang kau lihat? Aku sama sekali tidak menaruh racun didalamnya," sungut Irene, kesal.
"Sama sekali bukan itu yang aku pikirkan," tampik Zayn. Pria itu lantas mulai menggigit rotinya.
"Enak," ucapnya, lalu kembali menggigit rotinya.
"Tentu saja, aku sendiri yang membuatnya," celetuk Irene.
"Aku tidak menyangka kalau kau pandai memasak."
"Ini hanya roti lapis, Tuan Zayn yang terhormat. Siapapun bisa membuatnya."
"Tapi tidak seenak buatanmu. Aku masih dapat merasakan enaknya masakan pertamamu untukku. Ya, meskipun kau menaruh daging seafood cincang di dalamnya."
Zayn tersenyum mengingat kejadian nasi goreng seafood yang membuatnya terkena alergi hingga tidak bisa tidur semalaman.
"Kau menyindirku?" Irene mengerucutkan bibirnya.
"Sungguh, masakanmu memang enak sekalipun pada akhirnya aku harus terkena dampak karena telah berani memakan udang," kekeh Zayn.
"Dasar!"
"Lain kali tolong buatkan yang tanpa cincangan udang dan cumi. Bisa?"
"Tentu saja," balas Irene singkat.
"Good, habiskan makananmu setelahnya kita akan pergi membeli oleh-oleh untuk Kakek dan Mommy," beritahu Zayn.
Irene mengangguk. Masih ada beberapa potong roti lagi dalam genggamannya yang harus dia habiskan.
Zayn menghentikan kunyahannya saat tak sengaja matanya menatap sisa saus yang menempel di sudut bibir Irene. Entah kenapa, perpaduan antara saus tomat dan juga saus mayonaise yang menempel di sana membuat pikirannya berkelana. Terlebih saat lidah Irene terjulur untuk menyapu sisa saus di sudut bibirnya, Zayn merasa tubuhnya terbakar.
'Sial! Padahal dia hanya melakukan hal sepele seperti itu, tapi kenapa terlihat begitu menggoda sekali,' batin Zayn.
"Melamunkan apa?"
Zayn terkesiap ketika mendengar suara Irene menginterupsinya. Makanan yang dia telan terasa mengganjal di tenggorokannya, alhasil Zayn tidak dapat bersuara sekedar memberikan jawaban pada Irene.
"Rotinya masih baru dan terasa lembut, tapi kenapa sepertinya kau kepayahan untuk menelannya?" Irene menyodorkan segelas air putih untuk Zayn.
'Bukan rotinya yang membuatku kesulitan untuk menelannya, melainkan sikapmu yang secara tidak langsung telah menggodaku.'
"Rotinya memang sangat lembut, tapi daun seladanya seperti tersangkut di tenggorokan," balas Zayn asal.
"Masa? Coba aku lihat! Perasaan tadi aku sudah menyobeknya menjadi helaian yang nyaman untuk dimakan," Irene menimpali.
"Aku hanya bercanda. Sudah, cepat habiskan rotimu, kita harus pergi."
Zayn mengembalikan gelasnya di atas meja setelah sebelumnya menghabiskan setengah badan isi gelas panjang tersebut.
***
Zayn dan Irene terus memasuki satu per satu toko yang menjual berbagai macam jenis souvernir, padahal barang belanjaan mereka di toko sebelumnya telah menggunung. Cukup menguras tenaga anak buah Albert yang mesti keluar masuk mengangkutnya ke dalam mobil. Namun, sepertinya Zayn masih belum memberikan tanda-tanda jika dia akan menghentikan aktifitasnya, sebelum hasrat berburu barangnya masih belum terpuaskan.
Sesekali Zayn terkikik ketika melihat istrinya yang sejak keluar dari rumah itu terus menekuk wajahnya. Zayn sendiri tidak tahu kenapa Irene memiliki wajah yang loveable. Wajah yang selalu saja terlihat mempesona dalam keadaan apapun.
"Jangan terus memajukan bibirmu seperti itu, atau kau mau bibirmu bertambah panjang," goda Zayn.
Irene menghentakan kakinya di lantai. Baju yang dia pakai terasa sangat tidak nyaman, kakinya yang terasa pegal akibat heels setinggi tujuh centi yang melapisi telapak kakinya ditambah dengan Zayn yang terus menggodanya. Lengkap sudah semua poin yang membuatnya menjerit histeris. Kepalanya serasa mau meledak.
"Kita hanya membeli oleh-oleh untuk Kakek dan Mommy saja, Zayn. Kenapa sebanyak ini," keluhnya.
"Kau sendiri yang memintaku untuk membelikannya untuk para pelayan di rumah, juga." Zayn mendengus.
"Tapi tidak perlu sebanyak ini juga, kau seperti mau membuka toko saja."
"Baiklah. Setelah ini selesai kita akan makan siang dan setelahnya kita kembali ke villa." Zayn mengalah.
Zayn kembali menyapukan pandangannya menelusuri setiap bagian toko. Mencari sesuatu yang bisa menarik minatnya lalu menyuruh Albert menaruhnya dalam keranjang belanja.
"Hanya wanita super saja yang sanggup memakai sepatu seperti ini selama puluhan jam," sungut Irene. Dia melempar sepatunya kasar.
"Paman!"
Dua orang dibelakang Irene pun mendekat.
"Ya, Nyonya."
"Apa kalian sering menemani Zayn berbelanja seperti ini?" tanyanya pada Bryan.
"Belum pernah, Nyonya. Selama lebih dari delapan tahun kami mengabdi pada Tuan, baru kali ini Tuan mengajak kami berbelanja," tutur Bryan.
"Apa?" Irene tak habis pikir.
"Iya, Nyonya."
'Jangan bilang kalau ini juga merupakan kali pertama Zayn pergi berbelanja, selama ini kan segala kebutuhannya sudah dipenuhi hanya dengan menjentikkan jarinya saja.'
Mata gadis itu tak lepas mengawasi Zayn, pria itu sudah seperti kuda lepas dari kandangnya. Loncat sana, loncat sini. Gerakannya juga sangat gesit. Irene baru kali ini melihat ada pria yang gila belanja, hal yang umumnya identik dengan wanita.
Matahari telah tergelincir saat Zayn akhirnya menyerah. Hasil perburuannya sudah lebih dulu di bawa pulang oleh beberapa bodyguard yang Zayn utus untuk segera kembali ke villa. Sementara Zayn dan Irene, juga Albert, Bryan dan Hans yang berada di mobil terpisah sedang menuju sebuah restoran.
"Kenapa tidak sekalian makan malam saja. Sudah sore begini baru mengajak makan sementara di toko tadi dia tidak mengingatku sama sekali," gumam Irene.
"Kau mengatakan sesuatu?" Zayn menoleh sebentar.
"Tidak ada," tampik Irene.
"Tapi kudengar kau seperti mengatakan sesuatu tadi."
"Lupakan!"
Suasana hening kembali tercipta hingga mobil yang ditumpangi mereka telah terparkir cantik di depan sebuah restoran mewah.
Irene berdecak kesal. Saking asyiknya berbelanja, Zayn sampai melupakan dirinya. Menyebabkan cacing diperutnya berdemo meminta haknya dan kini dia bertahan dengan sisa-sisa tenaganya. Berjalan cepat begitu selesai melepas sabuk pengamannya.
Zayn tersenyum jahil melihat Irene sudah lebih dulu berjalan meninggalkannya. Keempat pria itu pun berjalan beriringan, dengan Irene yang telah berada jauh di depan sampai tiba-tiba, Hans dan Bryan menunjuk ke arah Irene.
"Ada apa?" tanya Albert yang melihat wajah aneh dua anak buahnya.
"Itu, perhatian Nyonya dengan baik!" lagi-lagi, Bryan dan Hans menunjuk Irene yang masih terus berjalan dengan anggunnya.
"Memang kenapa dengan Nyo ... astaga!"
Albert terkejut melihat pemandangan didepannya, dia pun bergegas mendekati Zayn.
"Tuan," panggilnya.
"Ada apa?" tanya Zayn tanpa mengalihkan pandangannya dari layar ponselnya, pria itu terlihat sedang berbalas pesan dengan seseorang.
Albert pun mendekatkan bibirnya di telinga Zayn. Membisikkan sesuatu yang membuat mata pria itu melotot. Sedetik kemudian, Zayn menajamkan pandangannya ke arah Irene yang masih memimpin jalan. Ia segera memasukkan ponselnya kemudian setengah berlari mendekati Irene.
"Tunggu sebentar!" titah Zayn, membuat langkah Irene terhenti.
Sementara Irene yang terkejut hanya bisa diam. Pun ketika suaminya yang tiba-tiba membalutkan selembar jaket di bagian bawah tubuhnya. Mengikat kedua lengan panjang jaket itu, dibagian perutnya.
"Ada apa Zayn?" tanpa berbalik, Irene menanyai suaminya.
"Bulanmu datang," cicit Zayn tepat di telinga gadis itu.
"Apa?"
Sontak Irene segera berbalik. Gadis itu mencibir saat melihat Zayn sedang berdiri menatapnya sambil sesekali menaik turunkan alisnya, lengkap dengan senyum miring yang membuatnya kesal bukan main.
Bersambung ....