22. Bioskop

1486 Kata
"Wah ... wah ... wah! Sepertinya kalian pantas mendapatkan penghargaan best couple tahun ini." Sontak Zayn dan Irene saling melepaskan diri. Wajah Irene sudah semerah kepiting rebus karena tertangkap basah sedang berciuman di depan Vernon. Berbeda dengan istrinya, Zayn malah menampilkan raut wajah berbinar-binar. Pria itu mengusap bibirnya yang basah. "Kakek kenapa kemari?" "Tidak suka? Karena Kakek sudah menganggu romantisme kalian, begitu," sinis pria tua itu. "Huh! Pemarah," gumam Zayn. "Mana kuenya? Katanya kalian sedang membuat kue untukku," ucapnya mengalihkan pembicaraan. "Baru masuk oven, Kek. Tunggu sekitar ...," Zayn beralih menatap istrinya, "Berapa menit kira-kira kuenya matang?" "Empat puluh lima menit," Irene menyahut. "Empat puluh lima menit, Kek," ulang Zayn. "Sudah tahu!" Vernon mendekati Irene. Pria tua itu lantas mengedipkan sebelah matanya, yang kemudian di balas dengan acungan jempol oleh Irene. "Di depan ada merak centil, kau tidak pergi menemuinya," ujar Vernon. Zayn terdiam sesaat, lalu dia menatap istrinya seolah bertanya. "Temui dia," kata Irene. "Aku akan di sini saja, bersamamu. Menunggu kuenya matang." "Masih lama, Zayn." Lagi-lagi Vernon melirik cucu menantunya dan mengkode gadis itu. "Biar Sasa saja yang nanti mengurus kuenya," tutur Vernon. "Ayo, kita temui dia sama-sama." Tanpa menunggu persetujuan Zayn, Irene mengapit lengan suaminya dan berjalan menuju ruang tengah. Di sofa, Tiffany sedang duduk dengan anggunnya sambil melipat kaki. "Sudah lama," tegur Zayn. "Aku baru saja sampai," dustanya. Padahal Irene tahu betul jika perempuan itu telah cukup lama berada di rumah ini. Irene setengah melotot melihat Tiffany yang tanpa rasa malu, memeluk Zayn dan juga mencium pipinya. Sedangkan Zayn yang merasa risih, sedikit menghindar saat Tiffany berusaha menyentuhnya. "Mau minum apa, Fan?" tanya Irene. "Apa saja, boleh," sahutnya tanpa mengalihkan pandangannya dari Zayn. 'Benar-benar tidak tahu malu! Jelas-jelas istrinya ada disampingnya, tapi dia masih saja melihat suamiku sampai sebegitunya.' Irene yang baru akan melangkahkan kakinya dari sana tiba-tiba berbalik dengan kepalanya menubruk d**a bidang Zayn. "Zayn!" pekik Irene, terkejut. "Kau mau ke mana?" "Ke dapur, membuat minuman untuk temanmu," sahut Irene. "Minta pelayan untuk membuatkannya." Zayn mencondongkan tubuhnya kemudian membisikan sesuatu di telinga Irene, "Tugasmu adalah melayaniku, bukan yang lainnya," imbuh pria itu. Irene tersipu malu, dia yakin wajahnya sudah memerah saat ini. Berbanding terbalik dengan raut wajah Tiffany yang terlihat sangat menakutkan. Gadis itu terus mengutuk Irene dalam hati dengan terus menyumpahinya. "Hm, Zayn. Sudah lama kita tidak pergi bersama," ujar Tiffany. "Pergi bersama?" "Ya," jawab Tiffany, cepat. "Tapi rencananya aku akan pergi menonton ke bioskop dengan Irene." "Kenapa musti pergi ke bioskop jika di rumah pun bisa melakukannya?" "Tetap saja berbeda. Katakanlah aku akan pergi berkencan dengan pacarku," Zayn menimpali. "Bisakah aku ikut?" tanya Tiffany girang. 'Benar-benar tidak tahu malu,' batin Irene. "Tapi aku dan Irene akan ...," "Biarkan dia ikut, Zayn," kata Irene memotong perkataan suaminya. Zayn menatap lekat netra bening Irene. Dia sungguh tak habis pikir dengan apa yang ada dipikiran istrinya itu. Bisa-bisanya dia membiarkan Tiffany ikut bersamanya sementara dia sendiri hanya ingin menikmati waktu berdua dengannya. "Boleh ya, Zayn," rengek Tiffany. Zayn hanya mengangguk. Pasangan suami istri itu pun meniti anak tangga yang membelit bangunan tersebut menuju kamar untuk berganti pakaian. Zayn tercengang melihat penampilannya di depan cermin. Dengan kaos oblong putih yang dipadukan dengan celana jeans model sobek di bagian lututnya, penampilan Zayn sangat memukau dan dia terlihat jauh lebih muda dari usianya. Tak lupa Zayn menyambar sebuah topi yang telah disiapkan oleh Irene untuk menyempurnakan penampilannya sore ini. Pintu ruang ganti terbuka, menampakan Irene yang juga telah selesai berganti pakaian. "Ayo, Zayn! Jangan buat merak centil itu terlalu lama menunggu atau dia akan memelototi aku nanti," ajak Irene, setengah menyeret suaminya. Belum sempat Zayn menguasai dirinya yang terlampau terpesona melihat kecantikan Irene. Pria itu terus menatap istrinya dari ujung rambut hingga ujung kaki. "Zayn! Ayo!" Irene sedikit menaikkan volume suaranya karena kesal pada Zayn yang terus melamun. "Tu, tunggu sebentar." Secepat kilat Zayn menarik tangan Irene hingga tubuh keduanya saling berhimpitan. Zayn mendorong istrinya hingga Irene bersandar pada daun pintu. "Ada apa Zayn? Kau mau ap ...," Ucapan Irene kembali tertelan bersamaan dengan Zayn yang membenamkan bibirnya di sana. Pria itu tak puas hanya dengan kecupan singkat, hingga akhirnya dia menggigit kecil bibir bawah Irene. Dia tak ingin ada sesuatu yang menghalanginya jalannya. Terengah, Irene meraup oksigen sebanyak mungkin begitu Zayn melepaskan bibirnya. "Zayn!" protesnya karena Zayn mencuri ciumannya. "Jangan pernah menyalahkan bibirku, karena jika ada yang harus disalahkan, salahkan saja bibirmu yang selalu menggoda itu," cetus Zayn. "Aku tidak melakukan apa-apa jadi kenapa aku harus menyalahkan bibirku," tukas Irene. "Masih mengelak jelas-jelas kau yang ...," "Aku tidak pernah menggodamu, Zayn. Titik!" tegas Irene, tak mau disalahkan. "Ya sudah, iya." "Berhenti bicara omong kosong, ayo cepat kita turun sebelum merak centil kesayanganmu itu merajuk," ketus Irene. Gadis itu berjalan lebih dulu, meninggalkan Zayn yang masih larut mengagumi kecantikannya. 'Sengaja. Dia pasti sengaja memilihkan pakaian seperti ini agar kami terlihat seperti pasangan yang sedang berkencan sungguhan.' Zayn tertawa kecil. Irene sungguh cantik dengan balutan kaos warna senada seperti yang dipakainya. Dengan mengikat kecil bagian depan kaosnya, juga hotpants jeans di atas lutut, menambah kesan seksi. Zayn tahu, itu sama sekali bukanlah style-nya. "Kau tidak memakai pakaian yang baru saja kau beli dari luar negeri kan, Zayn," sindir Tiffany, sudah lebih dari tiga puluh menit dia duduk menunggu di sana. "Ah, maaf membuatmu menunggu lama," cicit Zayn. "Tidak masalah. Sebaiknya kita pergi sekarang." Tiffany beranjak dari duduknya, bersiap menggandeng lengan Zayn tapi kalah cepat. Irene dengan gesit mengapit lengan suaminya dan berjalan meninggalkan gadis yang masih menggeram marah di tempatnya. Sepertinya Tiffany telah salah menduga. Tadinya dengan mengikuti kedua orang itu, dia pikir bisa mencari perhatian Zayn dan membuat Irene cemburu. Namun, dia salah besar. Sejak mereka meninggalkan rumah, Zayn seperti perangko yang selalu menempel pada istrinya. Sulit untuk dipisahkan sehingga Tiffany tidak memiliki kesempatan sedikitpun untuk mencari perhatiannya. Zayn yang sekarang bahkan jauh berbeda dengan Zayn yang dulu Tiffany kenal. Zayn adalah pria dingin yang tegas, dia tidak mau melakukan hal kecil seperti nonton di bioskop seperti ini, misalnya. Namun, semuanya berubah semenjak Irene memasuki kehidupannya. "Zayn, aku takut!" Tiffany memekik saat melihat adegan menyeramkan. Ya, mereka memang memutuskan untuk menonton film horor yang tengah booming. "Setahuku kau tidak takut dengan film horor," cetus Zayn. Wajah Tiffany berubah menjadi merah. Bukan karena tersipu, melainkan sedang menahan amarah yang bersiap meledak. Terus menerus melihat kemesraan yang dirajut Zayn juga Irene membuat kewarasannya terganggu. "Sayang, aku takut," ucap Irene dibuat semanja mungkin, sambil mendekap lengan Zayn. "Sebentar lagi filmnya akan berakhir. Sabar," jawab Zayn. "Tapi aku takut, Zayn," rengeknya lagi. "Kau mau kita pergi sekarang?" tawar Zayn. "Sepertinya itu ide yang buruk, kita akan mengganggu penonton yang lain." Zayn tampak berpikir sejenak, kemudian tak lama setelahnya sebuah senyuman tersungging di bibirnya. "Baiklah, aku tahu apa yang harus aku lakukan agar kau tak merasa takut lagi." "Memang apa yang bisa kau lakukan Zayn? Jangan berbuat macam-macam!" "Aku tidak macam-macam, aku hanya mau satu macam saja," Zayn menyahut. "Apa itu?" tanya Irene, polos. Cup! Irene berusaha memberontak saat Zayn kembali menciumnya. Lagi-lagi dia kecolongan. Untunglah suasana di sana cukup gelap, beberapa penonton yang ada di sekitarnya juga tengah menghayati filmnya. Jadilah mereka tidak terlalu memperhatikan pasangan yang sedang dimabuk cinta itu. Terkecuali Tiffany. Gaun bagian bawahnya sudah kusut tak berbentuk karena dia jadikan sebagai ajang pelampiasan kemarahannya. Setelah hampir satu jam berada dalam gedung bioskop, mereka bertiga pun keluar dari sana. Tak jauh dari mereka, Hans dan Bryan yang selalu mengikuti ketiganya kemanapun mereka pergi. Melihat posisi Zayn, tidak mungkin pria itu pergi tanpa pengawalan. Tentunya dengan sedikit melakukan penyamaran agar tak terlihat mencolok. 'Aku tidak boleh kalah dari wanita kampung ini, dia hanyalah seekor bebek yang ingin berubah rupa menjadi angsa, dan akulah angsanya. Dia tak akan mungkin bisa mengalahkanku.' Tiffany menyeringai licik. "Zayn, kepalaku pusing. Apa mungkin karena terlalu lama duduk di dalam tadi," rengek Tiffany sambil memegangi lengan Zayn. Jengah, itu yang Irene rasakan. Melihat Tiffany yang tak tahu malu terus mencoba mendapatkan perhatian suaminya, sungguh membuatnya jijik. "Argh! Zayn!" tubuh Irene merosot di lantai. Tak mau kalah dengan trik murahan Tiffany, Irene harus tetap waspada menjaga suaminya. Ia akan melakukan segala cara agar tak ada celah untuk Tiffany menciptakan jarak diantara dia dan suaminya. "Ren, Irene! Bangun Ren!" pekik Zayn, panik mendapati istrinya jatuh tak sadarkan diri. "Ada apa, Tuan?" Bryan dan Hans berhambur mendekati tuannya. "Cepat siapkan mobil, kita ke rumah sakit sekarang!" titahnya. Zayn bergegas menggotong tubuh istrinya meninggalkan bangunan tersebut. Pria itu panik bukan main, hingga tak sadar dia meninggalkan Tiffany begitu saja. "Sialan! Kau boleh menang sekarang, tapi kita lihat saja nanti. Lihat apa yang bisa aku lakukan padamu!" Tangan Tiffany terkepal dengan rahang yang mengeras. Seperti Irene yang mengetahui segala macam triknya demi bisa mengalihkan perhatian Zayn, seperti itu juga ia yang tahu kalau apa yang baru saja terjadi adalah merupakan sebuah kepura-puraan saja. 'Aku tidak akan pernah membiarkan kamu mencicipi kebahagiaan. Tidak akan pernah! Aku bersumpah untuk itu!' Bersambung ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN