"Cepat Ric! Kau ini bisa menyetir atau tidak!" teriak Zayn. Jelas sekali tergambar kecemasan dalam diri pria itu.
"Lebih cepat lagi, Ric!" perintah Bryan yang kebetulan sedang duduk di samping pria bernama Ricky. Pria itu menepuk bahu temannya.
"Baik, Tuan."
Ricky semakin menginjak pedal gas mobilnya. Sebenarnya dia sudah mengemudikan kendaraannya di atas ambang batas kecepatan yang diperbolehkan. Namun, apa boleh buat. Dari pada pekerjaan yang dia jadikan tempatnya mencari nafkah itu melayang, tak ada salahnya menuruti perintah majikannya.
"Sshh ... Zayn," Irene mendesis sambil memegangi kepalanya.
Hanya Irene dan Tuhan saja yang tahu betapa piawainya dia melakukan akting tersebut. Namun, dalam hati Irene terus menggumam kata maaf. Dia tidak bermaksud untuk membohongi suaminya, itu semua dia lakukan semata hanya demi menyelamatkan rumah tangga mereka.
"Kau sudah bangun?" Zayn kembali mendekap tubuh mungil yang sejak tadi terus berada dipangkuannya itu.
"Hm."
"Kita ke rumah sakit sekarang," ujar Zayn.
Irene menggeleng cepat.
"Aku baik-baik saja," sahut Irene.
"Kau baru saja tidak sadarkan diri dan kau bilang kau baik-baik saja?" Zayn menggeram, tak percaya.
"Aku tidak mau pergi ke rumah sakit," putus Irene.
"Tidak! Kita harus tetap ke rumah sakit. Kau harus diperiksa untuk memastikan apa yang menyebabkan kau sampai jatuh pingsan," oceh Zayn.
'Bisa gawat kalau sampai ketahuan aku hanya pura-pura pingsan.' Irene terlihat berpikir keras.
"Sa, Sayang. Zayn, aku baik-baik saja, mungkin aku hanya kelelahan itu sebabnya aku pingsan."
"Tidak ada bantahan! Ke rumah sakit Ric!" titah Zayn.
"Aku bilang pulang, Ric!"
Ricky dibuat pusing mendengar perintah berbeda dari tuannya. Zayn dan Irene masih saja berdebat di belakang.
"Aku bilang ke rumah sakit dulu, baru kita pulang."
"Tapi aku mau kita langsung pulang," kata Irene.
"Sekali tidak! Tetap tidak!" Zayn bersikukuh dengan pendiriannya.
'Bagaimana ini, rumah sakit sudah dekat. Berpikir Irene!'
"Kau mau mereka melihat kita bermesraan dalam mobil?" bisik Irene yang masih berada di atas pangkuan suaminya.
Zayn terkejut saat Irene mulai menghimpitnya, kedua tangan gadis itu juga sudah melingkar manis dilehernya.
"Buktikan saja kalau kau berani."
Nyali Irene menciut seketika. Bukankah dia yang berniat mengancam Zayn awalnya, tapi kenapa dia sendiri yang terancam sekarang. Tak ada pilihan lain.
Irene sedikit menggeser tubuhnya. Zayn berpikir gadis itu telah kalah, tapi sepertinya dugaannya salah besar. Nyatanya, Irene hanya menurunkan kakinya sebentar dan hal berikutnya yang gadis itu lakukan cukup membuat jantung Zayn berpacu dengan sangat kencang.
Irene tetap berada dalam pangkuan Zayn, hanya bedanya bukan dengan tubuh miring seperti tadi. Irene membenahi posisinya, mencari posisi ternyaman karena kini tubuh keduanya saling berhadapan.
"Apa yang akan kau lakukan?" Zayn memejamkan matanya, menghindari tatapan Irene.
"Sedang menjawab tantanganmu tadi."
Sumpah demi apapun, Zayn benar-benar kacau saat ini. Hangat nafas Irene yang menerpa wajahnya, d**a Irene yang menekan dadanya. Berada dalam jarak sedekat ini membuat Zayn frustasi. Sementara mobil terus melaju, tapi sudah lebih pelan daripada sebelumnya.
"Jangan gila! Ada orang di sini," bisik Zayn.
Irene terkikik melihat jakun Zayn naik turun, pria itu kepayahan menelan salivanya dan itu semua membuat Irene semakin bersemangat untuk menggoda suaminya.
"Jadi kau mau bukti sekarang?"
"Banyak orang di si ...,"
Zayn mendelik saat mendadak Irene meraup bibirnya. Tubuh pria itu menegang seiring dengan gerakan istrinya yang kian lincah.
Bryan mengalihkan pandangannya ke arah jendela. Pria itu memang telah menikah, tapi tetap saja dia merasa tak sopan jika harus menikmati pemandangan romantis itu.
Menyisakan Ricky di depan kemudi. Pria berusia dua puluh lima tahun itu tak tahu harus berbuat apa. Pasalnya, mobil yang dikendarainya telah tiba di pelataran rumah sakit sejak dua menit lalu. Mungkin akan berbeda ceritanya seandainya mereka belum sampai, Ricky bisa memusatkan perhatian sepenuhnya pada jalanan yang dilaluinya.
"Sstt! Bagaimana ini?" Ricky mencolek bahu Bryan, membuat pria itu pun menoleh akan tetapi masih dengan mata terpejam rapat.
"Apa sebaiknya kita turun saja," balas Bryan, pun dengan berbisik.
Kedua pria itu pun mengangguk dan bersiap untuk membuka pintu usai membuat kesepakatan. Namun, belum sempat mereka membuka pintu mobil, Zayn berdehem. Bryan dan Ricky pun mengurungkan niatnya.
"Kalian pergilah! Aku akan menyetir sendiri," ucap Zayn, datar.
"Tapi, Tuan."
"Sudah, cepat turun!" titah Zayn, tak mau dibantah.
Bryan dan Ricky saling bersitatap. Awalnya mereka mengira kalau Zayn akan melarang mereka keluar, tapi yang terjadi justru sebaliknya.
"Baik, Tuan."
Tanpa dikomando, dua orang ajudan Zayn itu pun bergegas meninggalkan mobilnya.
"Gadis nakal! Sudah puas sekarang." Zayn mencubit pucuk hidung Irene. Sementara yang dicubit hanya diam membisu.
"Ternyata kita sudah sampai," cicit Zayn.
Irene pun mengedarkan pandangannya, benar saja. Mereka sudah berada di pelataran rumah sakit sekarang.
"Yakin tidak mau masuk? Tanggung ini sudah sampai?" tawar Zayn.
"Tidak mau!" tegas Irene.
"Ya, baiklah. Kita pulang sekarang?"
Zayn dan istrinya telah berpindah tempat dari kursi penumpang di belakang.
Di sisi lain.
Bryan dan Ricky terus menggerutu menunggu Hans yang dinilai terlalu lama menjemput mereka.
"Aku berani bersumpah, sepertinya istri Tuan Zayn itu titisan dewi. Bisa-bisanya pria sedingin itu takluk kepada seorang gadis kecil. Ucapannya seperti mantra yang siap membuat siapa saja menuruti perkataannya," ungkap Ricky.
"Dia bukan gadis kecil seperti yang kau katakan! Nona sudah berusia dua puluh dua tahun, itu berarti dia sudah cukup dewasa," Bryan menimpali.
"Tetap saja dia itu gadis kecil jika dibandingkan dengan Tuan. Selisih usia mereka cukup jauh. Kalau tidak salah Tuan kan sudah berusia tiga puluh tahun."
"Kita tidak bisa memilih takdir Tuhan seperti apa yang akan digariskan untuk kita, pun ketika Dia menumbuhkan rasa dihati kita. Cinta tidak dapat memilih kepada siapa dia bertuan. Seperti itu juga kurang lebih yang saat ini Tuan Zayn alami."
"Ck ... ck ... ck. Apa kau ini reinkarnasi seorang pujangga? Aku sama sekali tidak menyangka kalau seorang bodyguard sepertimu bisa mengatakan hal seromantis itu."
"Bodyguard juga punya perasaan," Bryan mencebik.
"Oh ya, bukankah setahuku Tuan dan Nona menikah karena dijodohkan?" tanya Ricky.
Pria itu baru dua tahun mengabdi sebagai supir pribadi Zayn. Ya, meskipun Ricky terbilang jarang mengikuti Zayn karena majikannya itu lebih sering meminta Albert untuk menemaninya. Namun, dia mengetahui tentang latar belakang pernikahan Zayn.
"Kenapa memangnya? Ada yang salah dengan perjodohan itu?"
"Tidak! Hanya saja jika dilihat-lihat, sepertinya Tuan benar-benar jatuh cinta pada istrinya. Kau yang lebih tahu soal itu karena kau telah mengabdi jauh lebih lama dariku."
"Tidak mengherankan. Nona cantik, memiliki hati yang baik. Aku tahu dia gadis yang tulus kepada siapapun, meskipun aku baru mengenalnya."
"Ya juga. Jika dibandingkan dengan siluman rub ... maksudku, Nona Tiffany. Nona Irene terlihat seperti batu permata yang tersembunyi di tengah hamparan pasir sementara Nona Tiffany berkilauan seperti perhiasan."
"Nona Irene menyembunyikan kecantikannya dari dunia luar sementara Nona Tiffany sengaja mempertontonkan keindahan tubuhnya. Dia terlihat menarik seperti perhiasan, tapi mudah didapatkan. Tidak seperti Nona Irene yang terlihat mewah dan sangat berkelas," Bryan mencoba menyambung ucapan rekannya.
Keduanya masih sempat berbincang-bincang hingga akhirnya Hans datang dan membuat sesi pembicaraan mereka berakhir.
***
"Sebenarnya masih ada banyak waktu kalau kau mau mampir ke suatu tempat," Zayn membuka suara.
"Aku takut Kakek menunggu, Zayn."
"Kakek bukan anak kecil lagi, Ren."
"Tetap saja. Aku takut Kakek tidak makan dan meminum obatnya secara teratur."
"Sudah ada Bi Sasa yang aku percayakan untuk itu. Percuma aku membayarnya mahal jika dia tidak menjalankan tugasnya dengan baik. Aku malah akan memintamu untuk melaporkan kinerjanya setiap seminggu sekali."
"Apa itu tidak berlebihan?" Irene mencebikkan bibirnya.
"Kau harus terus memantau cara kerja para pelayan. Bi Sasa yang bertanggung jawab untuk itu dan aku pastikan untuk memecat jika ada salah satu dari mereka yang tidak profesional," oceh Zayn, lagi.
Irene menghempaskan tubuhnya pada jok mobil, kemudian mengalihkan pandangannya ke arah jendela. Lepas dari hawa panas yang diciptakan oleh Tiffany beberapa jam lalu, nyatanya bukan menghabiskan waktu berdua dengan sebaik mungkin. Zayn malah membicarakan hal yang sama sekali tidak penting.
Pasangan suami istri itu tiba di rumah saat jarum jam menunjukkan pukul lima sore.
Vernon terlihat sedang duduk di ruang tengah sambil menikmati secangkir teh chamomile dengan sepotong kue pandan yang berhasil dibuat oleh cucu kesayangannya, pagi tadi.
"Kakek," sapa Irene.
"Kalian sudah pulang?"
"Iya, bagaimana kuenya, Kek? Enak tidak?" tanya Zayn penasaran.
"Lumayan, masih bisa dimakan meskipun terasa kasar di tenggorokan."
"Benarkah?" Zayn mengambil alih sendok dari tangan kakeknya kemudian dia mulai mencobanya sepotong.
"Enak kok," imbuh Zayn begitu menelan makanannya.
"Menurutmu. Tidak bagi Kakek."
"Tapi memang kenyataannya enak, Kek." Zayn kembali memotong kuenya dan menyuapkannya pada Irene.
"Bagaimana, enak kan?"
"Ya, hanya saja kurang lembut," Irene menyahut.
"Kau ini, bukannya membelaku malah mendukung Kakek," cebik Zayn.
"Aku tidak berpihak pada siapapun. Aku hanya mengatakan kebenarannya saja."
Vernon terbahak melihat cucunya tersenyum masam saat mendengar Irene mengatakan hal itu.
"Oh ya. Mommy belum pulang? Apa akhir pekan begini dia juga di yayasan?" tanya Zayn.
"Memang seperti itulah kegiatannya sehari-hari, tak peduli hari apapun juga," Vernon menyahut, "Ya sudah kalau begitu sebaiknya kalian naik ke atas. Bersihkan diri dulu lalu kita bertemu lagi di ruang tengah untuk nonton TV bersama, bagaimana?"
"Baik, Kakek."
Zayn meraih tangan istrinya dan berjalan berdampingan meniti anak tangga menuju lantai atas.
Tak butuh waktu lama untuk mereka membersihkan diri dan setengah jam kemudian, sesuai janjinya. Mereka kembali turun ke bawah.
Zayn yang sibuk membalas pesan masuk dari ponselnya pun sedikit tertinggal dari istrinya. Seharian ini tak menyentuh benda pipih tersebut, dan ketika membuka aplikasi hijaunya, ada banyak pesan menumpuk di sana.
"Zayn. Berhenti bermain dengan ponselmu, aku takut menganggu kebersamaan kita dengan Kakek, nanti," ujar Irene sambil terus menuruni anak tangga.
"Justru itu, aku harus membalas pesan-pesan ini dulu sebelum aku menemuinya," jawab Zayn tanpa mengalihkan pandangannya.
Keduanya berpijak pada anak tangga yang berbeda hingga tiba-tiba Irene menjerit. Sedetik kemudian Zayn melihat tubuh istrinya menggelinding bak bola dan berakhir dengan jatuh di dasar lantai.
"Irene!" teriaknya sambil membuang ponselnya.
Pria itu melompati dua anak tangga sekaligus untuk mempercepat waktu. Semua orang sudah berhamburan mendekat begitu mendengar teriakan Zayn.
Zayn bergegas mengangkat tubuh istrinya begitu ia telah sampai di dasar lantai. Tubuhnya bergetar hebat dengan peluh bercucuran. Dilihatnya tangan yang baru saja ia gunakan untuk memindahkan kepala Irene.
"Irene! Bangun Ren!" Zayn tak kuasa menahan cairan bening yang menggenang di pelupuk matanya.
"Ada apa ini?" Vernon mendekat dengan tertatih.
"Astaga! Cepat siapkan mobil, kenapa malah diam saja!" teriak pria tua. Melihat Zayn pun ikut bersimbah darah, sepertinya luka Irene cukup parah.
Keributan terjadi di sana. Beberapa orang sigap dengan tugasnya masing-masing. Sementara Zayn, pria itu terus menitikkan air mata.
Mereka tak tahu kalau di salah satu sudut rumah itu, tengah berdiri seorang wanita dengan terus mengembangkan senyumnya.
'Ini baru permulaan. Aku pastikan kalian akan mendapatkan yang lebih dari ini.'
Bersambung ....