Zayn tak henti-hentinya menikmati wajah cantik istrinya. Gadis periang berhati lembut yang usianya terpaut delapan tahun dengannya.
Bola mata cokelat yang bening, begitu meneduhkan saat menatapnya. Surai sepanjang punggung berwarna seperti madu, alis yang hitam dan tebal, juga bulu mata yang panjang dan lentik. Zayn akan kehabisan stok kata-kata untuk memuji betapa indahnya Maha karya Tuhan yang terpahat di tubuh gadis itu. Hingga berbagai kidung pujian selalu terucap dari bibirnya.
"Apa semua makanan ini akan dihabiskan oleh Nona?" tanya Hans begitu selesai mencatat daftar makanan yang dipesan Irene.
"Tentu saja tidak! Tapi Paman harus tetap mendapatkan semua pesananku, OK?"
"Baiklah Nona."
"Paman hanya punya waktu satu jam, di mulai dari sekarang."
"Apa!"
Hans terperanjat. Ada banyak makanan yang harus dia beli di tempat berbeda sementara Irene hanya memberinya waktu satu jam. Hans melirik arlojinya, lalu setelahnya dia segera pamit dan meninggalkan tempat itu.
'Sial!' batin Hans sambil berlari kecil meninggalkan rumah sakit.
"Gadis nakal!" Zayn mencubit gemas pucuk hidung Irene.
"Hm, kenapa?" kembali menenggelamkan diri dalam dekapan Zayn.
"Aku tahu kalau kau hanya ingin mengerjai Hans saja," cetus Zayn.
Irene mendongak demi bisa melihat suaminya.
"Tak perlu kaget begitu. Aku tahu betul apa yang ada dalam pikiranmu," imbuh Zayn.
"Paman Hans yang sudah membuatmu mengingkari janji. Katanya hanya sebentar, tapi kau kembali setelah menit ke empat puluh tiga. Jadi, jangan salahkan aku," Irene mencebik.
"Ternyata kau cerdas juga ya. Selalu punya cara untuk menghukum anak buahku. Jangan hanya hukum Hans saja, hukumlah aku juga karena aku juga bersalah."
Usapan tangan Zayn di punggung Irene terhenti, seiring dengan tatapan penuh arti yang dilayangkan gadis itu padanya.
"Benar kau mau dihukum juga?"
"Jika hukuman itu diberikan olehmu, dengan senang hati aku akan menerimanya."
Sedetik kemudian, Irene tersenyum jahil, mendadak muncul ide di pikirannya untuk mengerjai Zayn.
"Apa?" tanya Zayn cepat begitu melihat senyuman di bibir Irene.
"Boleh minta tolong ambilkan sisir dan ikat rambut."
"Tentu saja," jawab Zayn.
Perlahan Zayn turun dari bed, tak lama setelahnya Zayn kembali dengan sisir dan juga ikat rambut di tangannya.
"Aku tidak bisa mengingat rambut seorang wanita. Aku belum pernah melakukan itu sebelumnya," ungkap Zayn.
"Memang siapa yang memintamu untuk mengikat rambutku? Kepalaku juga sedang sakit begini jadi tidak mungkin aku memintamu untuk mengikat rambutku," tukas Irene, cepat.
"Lalu?"
Zayn terlihat berpikir sejenak, sampai mendadak kepalanya terasa pening begitu sesuatu yang buruk melintas di pikirannya.
Selang lima belas menit kemudian. Zayn terus menekuk wajahnya, lengkap dengan bibir yang mengerucut. Awalnya dia mengira hukuman yang diberikan Irene adalah sesuatu yang menyenangkan, tapi nyatanya gadis itu malah menghukumnya seperti ini.
Dengan beberapa kunciran di atas kepala yang berhasil Irene buat dengan karet rambut berwarna-warni. Apa yang akan anak buahnya pikirkan nanti jika sampai mereka melihat Zayn dalam keadaan seperti ini?
"Ren! Apa tidak ada hukuman lain lagi? Kepalaku pusing," beritahu Zayn.
"Tentu saja ada," sahut Irene.
"Ya sudah lebih baik hukumannya diganti, aku pusing. Sungguh," rengek Zayn lagi.
"Baiklah. Sekarang aku akan melepas kunciranmu."
Zayn sedikit membungkukkan badannya, mensejajarkan diri agar Irene lebih mudah melepas ikatan warna-warni dari atas kepalanya. Detak jantung Irene, aroma tubuhnya yang manis, dapat Zayn rasakan dengan jarak sedekat ini.
"Sekarang naiklah," pinta Irene.
"Apa?"
"Cepat naiklah ke ranjang dan duduk di belakangku,"ulangnya.
'Sepertinya ini adalah sesuatu yang menyenangkan,' Zayn bersorak dalam hati.
Tanpa membuang waktu lagi, Zayn bergegas naik dan mengikuti titah sang ratu. Zayn telah duduk manis tepat di belakang istrinya, tangannya terulur hendak memeluk tubuh mungil itu sampai tiba-tiba gerakannya terhenti.
Irene menyibak rambutnya ke depan, menampilkan tengkuk yang indah. Tak hanya itu saja, tulang selangka Irene pun terlihat sangat menggoda. Seakan mengundang Zayn untuk menyentuhnya. Zayn menelan ludahnya kelat, berulang kali pria itu menggelengkan kepalanya demi menghalau pikiran nakal yang mulai menjamah otaknya.
"Ayo, pijat Aku Zayn! Kenapa Diam saja."
Zayn mengusap wajahnya kasar. Tangannya bergetar hebat sesaat begitu dia mendaratkan tangannya di bahu Irene.
'Aku tidak tahu apakah harus katakan ini sebagai anugerah ataukah musibah?'
"Ayo Zayn!"
"Iy ... iya, baiklah."
Tangan Zayn mulai bergerak kaku di bahu Irene. Pria itu terus memalingkan wajahnya, tak tahan jika harus melihat Irene. Zayn sendiri tidak tahu mengapa hanya dengan melihat Irene sekilas saja, dapat membangkitkan sesuatu dalam dirinya. Padahal selama ini dia sudah sering melihat wanita yang bahkan berpakaian minim. Tiffany selalu memakai baju renang super seksi jika berenang dengannya, tapi anehnya Zayn biasa saja. Tidak dia rasakan getaran yang sama ketika melihat Irene, sementara Irene masih berpakaian tertutup.
"Zayn."
"Hm."
"Punggungku gatal."
"Apa kau tidak bisa menggaruknya?" tanya Zayn, masih dengan memalingkan wajahnya.
"Aku tidak akan meminta bantuanmu kalau aku bisa melakukannya sendiri, Zayn!" seru Irene.
"Ya. Bagian mana yang gatal?" pasrah, terpaksa menghadap ke depan.
Sedetik kemudian, Zayn terperangkah melihat Irene menaikkan piyamanya. Memamerkan punggung mulus seputih s**u, juga kain bertali warna peach.
'Astaga! Ya Tuhan, lindungilah hambaMu ini.'
Zayn berusaha menggapai punggung Irene.
"Cepat Zayn, ini sudah sangat gatal!" Irene setengah berteriak sambil menghentakkan kakinya.
"Yang mana?" suaranya terdengar berat.
'Ini benar-benar ujian. Mana ada pria yang tahan dengan godaan seperti ini? Di saat dia sudah resmi memiliki tapi tak bisa menyentuhnya,' untuk kesekian kalinya, Zayn kembali menjerit dalam hati.
"Naik lagi Zayn!"
Terdengar titah sang Tuan putri yang menuntut.
"Lebih keras lagi Zayn, aku tidak akan terluka sekalipun kau menggosoknya dengan keras."
'Bisa diam tidak sih?'
Zayn tidak dapat membayangkan seperti apa wajahnya saat ini. Antara frustasi dan menahan sesuatu yang bergejolak dalam dirinya, ini sungguh menyiksa.
Zayn berharap agar waktu cepat berlalu, dia ingin drama ini segera berakhir. Mulutnya tak henti merapal doa, berharap bantuan segera hadir dan akan ada yang menyelamatkan dirinya.
"Sudah cukup Zayn." dengan cepat Irene kembali menurunkan piyamanya.
Gadis itu berbalik kemudian berusaha meraih ponselnya yang berada di atas nakas, tepat di belakang Zayn.
"Apa yang mau kau lakukan?" Zayn terkejut saat Irene telah berada di atasnya saat ini.
"Mengambil ini," Irene menyahut sambil memamerkan ponselnya.
"Kita lihat seberapa hebatnya Paman Hans," imbuhnya.
Gadis itu mengerling nakal dengan seulas senyum yang terus terukir di bibirnya. Tak menyadari kalau saat ini Zayn tengah berusaha mati-matian untuk menetralkan perasaannya yang campur aduk.
Tok ... tok ... tok.
"Saya Hans, Nona."
"Masuk!"
'Selamat.' Zayn mengelus dadanya.
Rasanya dia ingin istrinya itu lekas pulih dan segera pulang ke rumah. Zayn merasa ada yang berbeda dengan Irene, istri cantiknya itu terlalu sering bertingkah dan membuatnya selalu mengelus d**a.
"Paman terlambat tiga menit lima belas detik."
"Sungguh?"
"Aku tidak sedang berbohong." memperlihatkan ponselnya.
"Maafkan saya, Nona. Saya siap dihukum," Hans membungkuk hormat.
"Good. Sekarang makanannya taruh di di meja."
Hans menuruti perintah Irene. Selanjutnya, dia mulai membuka satu persatu bungkusan makanan yang dibawanya. Saking banyaknya, meja itu bahkan tidak dapat menampung seluruh makanan sampai Hans terpaksa menatanya juga di sofa.
Irene menggeser pelan badannya, bersiap untuk turun dari bed tapi dengan cepat Zayn mengangkat tubuhnya.
Hans sedikit melengos saat melihat Tuannya sedang memperagakan adegan romantis di depannya.
"Aku hanya mau yang ini. Ini, itu dan juga itu." Irene menunjuk makanan yang dia inginkan, selebihnya akan dia hibahkan pada para bawahan Zayn yang berada di luar kamarnya.
"Sisanya, Nona?"
"Bawa semua ke luar. Kalian harus memakannya, dan pastikan tidak ada yang tersisa. Mengerti Paman?"
Hans mengangguk. Dengan ekor matanya dia sempat menangkap senyuman yang begitu tulus dan mendalam dari Zayn yang masih setia menggendong istrinya.
"Terima kasih Nona," gumam pria itu sebelum meninggalkan tempat itu.
'Anugerah yang berakhir menjadi musibah. Sepertinya Nona mau membuat perut kami meledak karena menampung makanan ini,' Hans menggelengkan kepalanya.
"Cepat turunkan aku, Zayn!" Irene tak sabar mencicipi aneka makanan itu.
"Baiklah, Tuan putri." Zayn mendudukkan tubuh Irene, lalu dia sendiri pun menghempaskan bokongnya di sana.
"Kau bisa sedikit menjauh tidak."
"Kenapa?" dahi Zayn berkerut sempurna.
"Aku tidak bisa makan dengan leluasa," kata Irene.
"Huh, aku kira apa."
Irene mulai mencicipi makanan itu satu persatu.
"Cobalah ini, kau akan menyukainya." menyodorkan sepotong daging sapi berbalut bumbu hitam dengan taburan wijen di atasnya.
"Enak kan," imbuhnya.
"Hm, enak. Lagi," pinta Zayn, membuka mulutnya bersiap menerima suapan daging sapi lagi.
Sisa separuh, Irene ganti mencicipi iga bakar dengan sambal merah menyala di atasnya.
"Ini pasti sangat enak."
Berlanjut hingga suapan berikutnya. Melihat warna dan banyaknya sambal di atas daging iga membuat Zayn bergidik ngeri, tapi melihat cara makan Irene membuatnya penasaran. Zayn memang tidak begitu menyukai makanan pedas, pernah sekali dulu dia memakan masakan Bi Sasa yang dibuat sangat pedas dan dia harus berakhir di rumah sakit setelahnya.
"Ayo, a ... buka mulutmu!"
Zayn menelan ludah melihat sepotong daging berbalut sambal itu Irene sodorkan di depan mulutnya. Bau cabainya saja sudah begitu menyengat.
"Kenapa diam? Buka mulutmu, ini sangat enak. Aku janji," kata Irene.
"Tapi kelihatannya itu sangat pedas," tolak Zayn.
"Tidak terlalu."
"Tidak mau."
"Ya sudah."
Iga tersebut pun kembali Irene masukkan ke dalam mulutnya. Sesekali Irene melirik suaminya yang sedang menatapnya sambil menelan ludah.
"Jangan menyesal kalau aku menghabiskannya," ujar Irene, disusul dengan memasukkan potongan iga terakhir.
"Aku juga ingin mencobanya," cetus Zayn.
"Kau ini bicara apa? Aku sudah menawarkannya padamu sejak tadi tapi kau menolak, giliran sudah habis kau malah memintanya. Bagaimana ini ...,"
"Aku masih tetap bisa mencobanya sekalipun iganya sudah habis."
"Bagaimana bisa?"
Sedetik kemudian, Zayn menarik tengkuk Irene dengan lembut dan membenamkan bibirnya di sana. Zayn memulai pergerakannya hingga membuat Irene memberontak. Namun, Zayn tak peduli. Dia terus bergerak sampai akhirnya Irene luluh dan mulai larut dalam permainannya. Irene biarkan Zayn puas mengabsennya, sampai mendadak Zayn membebaskan bibirnya dari sana.
Zayn yang terbatuk pun menerima gelas yang disodorkan Irene padanya. Tenggorokannya terasa lebih dingin begitu air itu masuk dengan perlahan hingga isinya tandas.
"Uhuk ... uhuk." Zayn mengusap matanya yang memerah. Sambal pada iga bakar itu sungguh sangat pedas, lidahnya serasa terbakar tadi.
"Bagaimana rasanya? Enak?" tanya Irene begitu melihat suaminya sudah lebih baik.
"Pedas!" Zayn mencebik.
"Lagipula kau ini ada-ada saja."
"Aku tidak berani memakannya langsung, itu sebabnya aku perlu mencicipinya dulu. Ternyata sangat pedas, memang tidak sakit perutmu kalau makan pedas begini?"
"Tidak! Aku terbiasa memakan makanan pedas," Irene menyahut.
"Rasanya lidahku seperti terbakar."
"Masa? Mau lagi tidak?" goda Irene.
"Ciumannya?"
"Ya, ciuman rasa sambal."
Tawa Irene meledak, sementara Zayn mencebik. Hari telah berganti malam, tapi sepertinya drama seperti ini akan masih terus berlangsung.
Zayn baru saja merebahkan Irene di bed saat seseorang mengetuk pintu.
"Maaf mengganggu, Tuan." Albert muncul. Kali ini dengan baju yang terlihat santai, pria itu sempat pulang dan membersihkan diri sebentar.
"Sudah tahu mengganggu, tetap saja masuk," sindir Irene.
Albert mematung di tempatnya, dia tidak menyangka Irene akan memarahinya.
"Aku hanya bercanda," imbuh Irene, membuat Zayn dan Albert tertawa renyah.
"Pergilah, mungkin ada yang perlu kalian bicarakan!" titah Irene.
"Baiklah kalau begitu." Zayn sempat mengecup kening istrinya sebelum pergi dari sana.
"Tunggu aku ya, aku tidak akan la ...,"
"Jangan berjanji kalau tidak bisa kau tepati!" tukas Irene cepat.
Zayn tersenyum kecut.
Di tempat yang biasa mereka gunakan untuk berdiskusi, sudah duduk Zayn dan Albert saling berhadapan.
"Apa kau sudah menemukan sesuatu?" Zayn menatap lekat pria yang hampir tujuh tahun menemaninya itu.
"Ya, Tuan," lirih Albert.
"Cepat katakan!"
"Obat itu ... ternyata bukan sembarang obat, Tuan. Obat itu bisa melumpuhkan saraf secara perlahan jika diberikan secara terus menerus," jelas Albert.
"Apa!"
"Orang itu mau membuat istri Anda hidup menderita, kemudian berakhir mati dengan sendirinya."
Penjelasan Albert membuat kepala Zayn pening seketika. Matanya berkilat menahan amarah, rahangnya juga mengeras dengan gigi yang gemerutuk.
"Pelakunya?"
"Sudah saya amankan. Dia berhasil ditangkap anak buah kita begitu dia tiba di rumah."
Berulang kali Zayn membuang nafasnya kasar, pertanda dirinya telah diliputi amarah yang siap berkobar kapan saja.
"Kau sudah menginterogasinya? Lalu apa yang dia katakan? Cepat katakan padaku, Al!" tuntut Zayn tak sabar.
"Sudah, Tuan."
"Berapa nama yang dia sebut?"
"Satu, Tuan.
"Siapa?" Zayn mengepalkan tangannya.
"Dia adalah ...,"
Bersambung ....