"Kau sudah menginterogasinya? Lalu apa yang dia katakan? Cepat katakan padaku, Al!" tuntut Zayn tak sabar.
"Sudah, Tuan."
"Berapa nama yang dia sebut?"
"Satu, Tuan.
"Siapa?" Zayn mengepalkan tangannya.
"Dia adalah ...,"
"Cepat katakan!"
"Tiffany," ucap Albert, mantap
Sebuah nama yang akhirnya meluncur dari bibir Albert, membuat Zayn limbung. Dia meraba tembok dibelakangnya untuk bersandar. Susah payah Zayn berusaha mengatur ritme nafasnya.
"Tiffany, apa mungkin dia ...,' Zayn menutupi wajah dengan kedua tangannya. Tak sanggup membayangkan gadis terdekatnya yang bertanggung jawab atas kejadian buruk yang mengancam nyawa istrinya.
Rentetan kejadian yang dialaminya bersama gadis itu selama ini, kembali terekam dalam benaknya. Teman masa kecilnya telah menjelma menjadi gadis dewasa yang cantik. Apa mungkin sikap arogan dan ambisiusnya itu tetap tertanam hingga sekarang?
"Saya sudah menekan orang itu, dan dia mengaku sebagai suruhan Tiffany," beber Albert.
"Tidak mungkin," desis Zayn.
"Awalnya saya juga tidak mempercayainya Tuan, tapi setelah segala upaya yang telah dilakukan, orang itu tetap menyebutkan satu nama itu."
"Tiffany tidak mungkin berbuat serendah itu pada Irene. Dia bahkan terang-terangan mengatakan kalau dia sudah menerimanya sebagai istriku dan juga menganggapnya sebagai teman. Tidakkah tuduhan itu terlalu kejam untuknya, Al?"
"Saya pun tidak berani mengatakan apapun Tuan."
Albert menundukkan kepalanya. Mengetahui kenyataan ini, entah kenapa membuat hatinya mendadak terasa perih. Ada luka yang tak dapat dia ungkapkan dengan kata-kata, terlampau menyakitkan.
"Kau bisa simpan rahasia ini dari Irene dan Kakek? Biarkan aku yang akan menyelesaikan masalah ini. Melihat kejadiannya yang tak berselang lama, tidak menutup kemungkinan kalau dia juga dalang dari kecelakaan di tangga itu," cicit Zayn.
Lagi, seakan ada yang menghantam dadanya hingga Albert kembali menekan bagian itu. Namun, tak peduli sekeras apapun. Albert masih dapat merasakan kepingan hati yang berserakan dengan impiannya, melebur menjadi satu.
"Saya mengerti, Tuan. Saya akan pamit undur diri jika sudah tidak ada lagi yang ingin Anda katakan," ucapnya sopan.
Zayn mengangguk, tapi tak lama setelahnya dia menyadari sesuatu. Ada yang aneh dalam diri asistennya, tidak biasanya Albert bersikap seperti itu padanya.
'Apa dia ada masalah pribadi? Aku perhatikan sejak tadi raut wajahnya berubah mendung.'
"Al."
Pria itu pun berbalik.
"Ada apa Tuan?"
"Kau sakit?" tanya Zayn. Tatapan matanya tajam penuh selidik.
"Saya baik-baik saja Tuan," sangkal Albert.
"Wajahmu tak seperti biasanya. Apa kau sedang dalam masalah?"
Albert menggeleng cepat.
"Kau tidak bisa membohongiku, kita telah hidup bersama dalam waktu cukup lama."
Zayn bangkit dari duduknya lalu mendekati Albert.
"Ambillah cuti dua hari, sepertinya kau perlu istirahat," ujar Zayn sambil menepuk bahu asistennya.
"Tidak perlu, Tuan!" tolak pria itu.
"Jangan membantah!"
"Saya berani bersumpah, saya baik-baik saja Tuan. Saya tidak mungkin cuti di saat seperti ini."
Zayn berlalu dari sana tanpa memperdulikan ucapan Albert.
***
"Zayn, lama sekali!"
Mendapati wajah cantik Irene yang menantikan kedatangannya, membuat kecemasan Zayn menguap seketika. Telah ada pelabuhan tempatnya kembali, tempat bersandar di kala lelah, tempat yang selalu ingin dia kunjungi dalam segala situasi. Segala rasa yang berkecamuk lenyap hanya dengan melihat senyum indah itu.
"Hanya dua puluh lima menit." Zayn mendekati bed.
"Kau menghitungnya juga," sahut Irene.
"Kau yang mengajariku untuk selalu menghitung waktu."
Keduanya tertawa bersamaan. Zayn diam saja saat Irene memeluknya dengan erat.
"Ada apa? Aku perhatikan sejak sadar kau menjadi sangat manja. Sebentar-sebentar memeluk, lalu mencariku dan sepertinya kau tak ingin jauh dariku," Zayn membalasnya dengan memeluk lebih erat lagi.
"Aku hanya tidak ingin membuang waktu."
Zayn mengurai pelukannya, kedua alisnya saling bertaut dengan tatapan penuh tanda tanya.
"Kita tidak tahu berapa usia yang kita miliki. Jika mendadak aku meninggalkanmu lebih dulu, siapa yang tahu," ucapnya, menjawab pertanyaan yang tidak sempat Zayn lontarkan.
"Jangan berkata seperti itu!" Zayn mendaratkan jari telunjuknya di depan bibir tipis Irene.
"Kita akan hidup bahagia selamanya."
"Aku hanya ingin merajut hari dengan kenangan yang indah. Agar suatu hari nanti jika aku benar-benar lebih dulu pergi untuk menghadap Sang Pencipta, aku akan pergi dengan ...,"
"Kau tidak boleh bicara seperti itu!" sambar Zayn.
"Berdua, selamanya kita akan hidup bersama."
Zayn merengkuh tubuh mungil itu lagi. Menghujani wajah juga puncak kepala Irene dengan kecupan.
Sungguh, hari ini adalah hari yang sangat melelahkan bagi Zayn. Bukan lelah karena sibuk beraktifitas, tidak banyak yang dia lakukan di rumah sakit meskipun sesekali berkutat dengan laptopnya. Apa yang terjadi padanya hari ini telah begitu menguras emosinya, yang membuat hati dan pikirannya lelah.
Zayn belum sepenuhnya menerima kenyataan bahwa Tiffanylah dalang di balik kecelakaan yang menimpa Irene. Satu misi gagal dan sekarang dia sudah kembali menyerang Irene dengan menyuruh orang untuk menyamar sebagai perawat dan menukar obatnya.
Perubahan sikap Albert yang juga begitu kentara menurutnya, dan di tambah sikap Irene yang menunjukkan kalau sebenarnya dia mengetahui sesuatu.
"Kenapa diam, Zayn. Aku sedang bertanya padamu, apa kau tidak mendengarnya?"
Zayn terkesiap. Dia melamun sampai tidak mendengarkan cerita istrinya.
"Hm, apa? Memang apa yang kau tanyakan?"
"Ya sudahlah aku mengantuk. Kita tidur saja," balas Irene.
"Kau tidur di sini saja ya, bersamaku," lanjutnya.
"Apa tidak terlalu sempit?"
"Tidak! Ini muat untuk kita berdua."
"Aku takut menyakitimu jika tak sengaja menyentuh lukamu pada saat kita tidur nanti," Zayn berusaha memberikan pengertian.
"Tidak akan! Percayalah padaku!" ucapnya meyakinkan Zayn.
"Baiklah."
Batin Irene bersorak. Pria itu selalu kalah jika Irene sudah menampilkan raut wajah memelasnya.
***
Cuaca sangat terik kala itu, padahal matahari telah tergelincir. Jika biasanya udara sudah menjadi sejuk di jam empat sore begini, tapi berbeda kali ini. Sinar matahari masih terasa panas membakar kulit.
Berulang kali Zayn melirik arlojinya. Sudah hampir dua puluh menit dia menunggu di sana akan tetapi yang ditunggu-tunggu tak kunjung datang.
"Hallo, kau di mana? Aku sudah menunggumu lama, kenapa kau tidak datang juga?" tanya pria itu sambil menempelkan gawainya pada daun telinganya.
"Baiklah."
Zayn kembali mengantongi ponselnya. Sambil mengancingkan jasnya, dia pergi meninggalkan restoran tersebut untuk menuju suatu tempat.
Pria itu sengaja mengemudikan sendiri mobilnya, menyusuri jalanan yang mulai padat karena bersamaan dengan jam pulang kerja. Ada sesuatu hal yang harus dia bicarakan dan dia tidak mau ada satupun orang yang mengetahuinya.
Mobil telah terparkir manis di sebuah kafe yang berukuran cukup luas. Zayn pun mengayunkan kakinya menuju tempat yang telah di pesan.
"Kenapa kau menolak bertemu di restoran tadi dan malah mengajakku bertemu di kafe seperti ini," ujar Zayn begitu sampai dan mendaratkan bokongnya di salah satu kursi.
"Santai Zayn. Duduk dulu, minum!"
"Aku tidak punya banyak waktu."
"Seharusnya aku yang berkata begitu Zayn. Jadwalku padat dan kau mendadak bilang ingin menemuiku," sahut Tiffany.
"Aku sudah memesan restoran yang dekat dengan tempat kerjamu, tapi kau memutuskan mengganti lokasi pertemuan kita yang malah lebih jauh."
"Aku hanya tidak ingin ada orang yang mengganggu kebersamaan kita, Zayn." menyedot minumannya dengan gerakan sangat anggun.
"Apa maksudmu? Aku hanya ingin bicara berdua denganmu, itu saja."
"Ya baiklah, tidak perlu marah-marah begitu. Aku perhatikan sejak menikah kau menjadi tidak sabaran."
"Aku tidak marah!" tampik Zayn, "Aku hanya ingin membicarakan sesuatu denganmu."
"Ya sudah, cepat katakan! Memang sepenting apa sampai kau ingin kita bertemu di sini, kenapa tidak di rumahmu saja."
Zayn menaruh kembali gelasnya. Tatapannya tak lepas barang sedetikpun pada gadis berambut cokelat di depannya itu.
"Kenapa kau melakukan semua ini!" ucap Zayn, dingin.
"Melakukan apa maksudmu?"
"Kecelakaan Irene, dan juga perawat gadungan yang kau bayar untuk menukar obat istriku."
"Apa! Aku sama sekali tidak mengerti apa yang kau bicarakan Zayn," Tiffany mengelak.
"Jangan pura-pura bodoh. Irene jatuh di tangga karena seseorang dengan sengaja menaruh minyak di sana, dan selang sehari dia dirawat di rumah sakit. Ada seseorang yang menyamar menjadi perawat dan menukar obat irene," ujar Zayn terus terang.
"Aku sungguh tidak mengerti apa yang sedang kau bicarakan Zayn. Sungguh."
"Kau kan yang sudah menyuruh orang untuk menyakiti istriku? Kumohon, jawablah dengan jujur pertanyaanku! Apa kau yang telah menyebabkan kecelakaan itu terjadi?"
"Tega sekali kamu Zayn menuduhku seperti itu! Ini tidak masuk akal. Aku tidak mungkin tega menyakiti Irene, istri dari sahabatku sendiri," Tiffany menaikkan volume suaranya. Beruntung dia memesan tempat yang agak terpisah dari keramaian, jadilah dia tidak mengganggu pengunjung lainnya.
"Apa ucapanmu bisa dipercaya?"
"Zayn!" pekiknya marah.
"Orang yang kau sewa untuk menukar obat Irene buktinya, dia sudah mengatakan kalau kau lah yang membayarnya untuk itu," beber Zayn.
"Aku berani bersumpah Zayn, aku tidak melakukannya. Percayalah padaku."
Tiffany menyeka sudut matanya yang mulai berair.
"Jika aku memang pelakunya, memang apa motifnya?"
Zayn diam, menatap iris mata sehitam tinta pada gadis di depannya. Bahasa tubuhnya mengatakan kalau Tiffany sedang tidak berbohong, tapi Zayn tidak mau mengambil kesimpulan. Barangkali saja memang ada orang yang sengaja memancing di air keruh. Zayn hanya perlu mencari bukti untuk menguatkan tuduhannya. Dia tidak mau gegabah, karena keselamatan Irene menjadi taruhannya.
"Lantas bagaimana bisa orang itu menyebutkan namamu jika memang kamu tidak terlibat dalam kasus ini," lagi, Zayn berusaha mengorek informasi. Suaranya sudah enak di dengar sekarang, tak lagi meledak-ledak seperti tadi.
Melihat teman masa kecilnya itu menangis, membuat Zayn tidak tega sebenarnya. Namun, lagi-lagi dia berpegang teguh pada prinsipnya. Zayn harus waspada terhadap hal yang masih abu-abu. Tunggu setidaknya dia mencari bukti lain yang lebih kuat lagi.
"Aku sendiri tidak tahu menahu, Zayn. Aku berani bersumpah kalau bukan aku pelakunya."
Zayn memberikan sehelai tisu pada gadis itu. Untuk pertama kalinya Zayn menyesali kelemahannya, yaitu tangisan seorang wanita.
"Mungkin saja ada orang yang membenciku lalu menggunakan namaku untuk mengecohmu."
Zayn berpikir sejenak. Saat ini dia merasa serba salah. Satu sisi dia mempercayai ucapan Tiffany yang ada benarnya, tapi di sisi lain, Albert tidak mungkin memberikan keterangan palsu.
Sepanjang jalan Zayn terus merenung, memikirkan satu persatu kejadian yang telah terjadi, lalu merangkainya. Sayangnya, Zayn merasa ada yang janggal dan sialnya lagi, dia tidak tahu itu.
Zayn bergegas keluar dari mobilnya begitu dia sampai di rumah. Rasanya sudah tak sabar ingin menjumpai istrinya setelah sepuluh jam ini berpisah.
Empat hari berlalu dengan cepat. Irene telah kembali ke rumah meskipun masih harus menjalani rawat jalan. Kondisinya juga berangsur membaik karena Zayn merawatnya dengan baik. Pria itu begitu cekatan dan cerewet mengingatkan ini dan itu.
Irene sedang menikmati udara sore yang berhembus semilir dari balkon kamarnya. Matanya fokus pada layar ponsel yang menampilkan drama Korea favoritnya, sementara tangannya asyik memasukkan potongan buah segar dalam piring yang dia taruh di atas pangkuannya. Isi piringnya bahkan telah berkurang setengahnya, sampai tiba-tiba dia mendapat notifikasi pesan masuk.
Awalnya Irene tak begitu memperdulikannya, tapi karena pesan masuk itu cukup banyak dan mengganggunya. Mau tidak mau, Irene pun terpaksa menghentikan acara menontonnya.
Dibukanya aplikasi hijau yang mulai menampilkan pesan gambar, cukup banyak hingga membuatnya terbelalak.
"Irene, aku pulang!" teriak Zayn begitu menginjakkan kakinya di balkon.
"Zayn," panggilnya, kaku. Dengan cepat dia memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku celananya.
"Ada apa? Apa kau tidak suka melihatku pulang lebih awal?"
"Aku ...,"
Bersambung ....