Sesekali Zayn melirik istrinya. Sejak meninggalkan pemakaman, gadis itu mengunci rapat mulutnya. Tangisnya memang telah reda, Irene jauh lebih baik sekarang, tapi ada yang menggangu pikiran Zayn.
Pria itu menghembuskan nafas panjang sebelum akhirnya membuka mulutnya.
"Apa yang kau pikirkan? Sudah kukatakan untuk menceritakan apapun yang kau rasakan dan berbagilah denganku, kenapa kau masih saja diam?"
"Karena memang tidak ada yang harus aku katakan padamu, Zayn. Aku sudah membagi perasaanku padamu, tadi," tampik Irene.
"Lantas kenapa sejak tadi kau diam? Wajahmu murung begitu."
"Sungguh Zayn, aku tidak apa-apa."
"Ya sudahlah. Aku akan mengantarmu pulang, tapi setelah ini aku akan pergi ke kantor," terang Zayn.
"Aku tahu. Kau kan manusia paling sibuk yang pernah aku kenal setelah ayah."
"Dasar!" Zayn yang merasa gemas pun mengacak rambut Irene hingga gadis itu menjerit kesal.
Sepanjang perjalanan pulang, suasana dalam mobil tak lagi sepi karena mereka isi dengan obrolan ringan yang sesekali diselipi candaan.
Irene tak langsung turun dari mobil sewaktu Zayn telah memarkirkan mobilnya yang hanya sampai di depan pintu gerbang, memudahkan agar dia kembali putar balik menuju kantor.
Perlahan, Irene melepas sabuk pengamannya. Dia menatap Zayn tepat pada manik mata biru milik pria itu. Sorot mata yang begitu dalam, akan tetapi meneduhkan. Perangainya yang hangat dan juga ramah diluar sikap kekanak-kanakan dan keras kepalanya, itu semua sungguh membuat hati Irene menghangat.
"Terima kasih," cicitnya.
Lalu tanpa aba-aba gadis itu menjatuhkan tubuhnya dalam dekapan Zayn. Zayn yang terkejut mendapatkan serangan mendadak itu pun tak dapat menghindar. Perlahan tangannya terulur untuk membalas pelukan itu hingga sebuah lengkungan tipis terbentuk di sudut bibirnya.
"Terima kasih untuk apa?"
"Semuanya. Aku kira kau lupa dengan janjimu membawaku pergi mengunjungi ayah saat kita pulang."
"Aku ini pria terhormat. Aku tidak pernah mengingkari janji yang telah aku buat," tutur Zayn. Tangannya masih terus bergerak mengusap punggung Irene.
"Maafkan aku. Aku tidak bermaksud untuk meragukanmu." Irene makin mengeratkan pelukannya.
Zayn merasakan sesuatu yang panas mengalir ke sekujur tubuhnya. Jarak keduanya yang sangat dekat menimbulkan gelenyar aneh dalam diri pria itu, ditambah dengan hangat nafas Irene yang menerpa tengkuknya. Lengkap sudah derita Zayn kali ini.
Zayn sendiri tidak tahu kenapa tubuhnya bereaksi hanya karena hal sekecil itu, padahal selama ini dia juga sering berpelukan dengan Tiffany dan anehnya dia tidak merasakan getaran apapun saat sedang bersama gadis itu.
Sumpah demi apapun Zayn berani bertaruh. Seandainya saja tidak ada rapat penting yang harus dia pimpin pagi ini, dia lebih memilih untuk menghabiskan waktu berdua dengan Irene. Mengunci gadis itu di kamar dan melakukan sebuah perjalanan panjang, ritual suci yang membawanya menuju nirwana dan melengkapi pernikahannya.
"Ya sudah. Berangkatlah! Aku tidak punya hak untuk melarangmu pergi ke kantor."
Raut wajah Zayn berubah masam ketika Irene melepaskan pelukannya. Padahal kalau boleh jujur, dia juga ingin merasakan bagaimana rasanya dilarang pergi. Melihat bagaimana gadis itu memohon padanya untuk tetap tinggal. Namun, sepertinya keinginannya terlampau mustahil untuk dilakukan oleh seorang Irene, gadis yang memiliki pengertian tingkat bidadari.
"Kenapa?" menyadari perubahan sikap Zayn membuat Irene memberanikan untuk bertanya.
"Masih mau libur. Menghabiskan waktu berdua denganmu di kamar, bermanja-manja tanpa ada yang mengganggu."
Irene tergelak mendengarkan penuturan Zayn. Untuk pertama kalinya pria itu begitu terbuka mengungkapkan perasaannya pada Irene.
"Kenapa tertawa? Kau senang ya saat berjauhan denganku?" cibirnya.
"Jangan terlalu cepat menyimpulkan sesuatu jika kau sendiri tidak tahu kebenarannya."
"Memangnya kau mau aku menyimpulkan apa," ucap Zayn sedikit ketus.
Irene mulai memahami situasi Zayn yang sedang merajuk saat ini.
"Aku akan melarangmu pergi seandainya saja aku sedang tidak didatangi bulan saat ini, agar aku bisa mengabulkan permintaanmu."
Irene merasa malu setengah mati, karenanya begitu selesai mengucapkan kata-kata itu dia bergegas turun dari mobil.
Sementara Zayn masih mematung ditempatnya, akal sehatnya bekerja keras mencerna ucapan Irene.
Apa mungkin gadis itu paham apa yang dikatakan Zayn dan menyuruhnya untuk menunggu, itu yang ada dipikiran Zayn.
Beberapa saat lamanya Zayn bertahan dalam posisi seperti itu. Ia memegangi jantungnya yang berdetak lebih kencang dari biasanya.
'Sepertinya aku harus segera pergi ke dokter jantung. Akhir-akhir ini detak jantungku menjadi tak karuan,' batinnya.
Zayn baru akan menutup pintu mobil karena Irene pergi tanpa menutupnya tadi. Namun, lagi-lagi dia harus kembali mendapatkan serangan jantung karena gadis itu mendadak masuk lagi ke dalam sana.
"Aku melupakan satu hal," kata Irene.
Lalu, dengan cepat Irene meraih tangan Zayn yang bertengger di atas kemudi dan menciumnya. Tidak hanya itu, gadis itu juga memberikan bonus berupa kecupan singkat di bibir Zayn.
"Hati-hati di jalan! Jika kau bertemu dengan gadis cantik di luaran sana, ingatlah untuk selalu mengingatku. Istrimu ini akan setia menantikan kepulanganmu."
Irene menutup pintu mobil kemudian berlari-lari kecil layaknya remaja yang sedang dilanda kasmaran. Meninggalkan Zayn yang belum bisa menguasai diri atas kejutan yang dia berikan.
Reflek, Zayn memegangi bibirnya tepat dibagian yang baru saja dijamah dengan lembut oleh istrinya. Bunga-bunga bermekaran dalam hatinya dan perasaan bahagia itu menembus hingga ke dasar sanubari.
"Kalau begini terus, bisa mati muda terkena serangan jantung aku," keluh Zayn sambil menggelengkan kepalanya.
Pria itu pun kembali melajukan kereta besinya menyusuri jalanan Ibukota yang mulai padat.
Di sisi lain.
Irene memasuki rumah dengan berbagai pertanyaan, pasalnya dia melihat mobil Tiffany telah terparkir di sana. Bertamu ke rumah orang, sepagi ini? Pikirnya.
"Hai Ren," sapa gadis bercat rambut kemerahan itu ramah.
"Oh, hai. Sudah lama?" tanyanya.
"Baru saja sampai."
"Hm, baiklah. Mau minum apa biar aku ambilkan?"
"Jus jeruk saja, boleh?" Tiffany duduk dengan melipat kakinya dengan anggun.
"Tentu saja, tunggu sebentar."
Irene berpapasan dengan Hera saat hendak berjalan menuju dapur.
"Sudah pulang, Nak?"
"Sudah Mom. Oh ya, di luar ada Tiffany. Mommy tolong temani dia dulu, Irene mau membuatkan minuman untuknya."
"Ya sudah kalau begitu."
Keduanya pun berpisah.
Hera memeluk Tiffany, keduanya saling mencium pipi masing-masing sebelum mereka kembali duduk dan berbincang.
"Ada apa denganmu? Kemana hilangnya wajah cantik itu?" tanya Hera membuka suara.
"Tiffany kesal, Tante."
"Memang apa yang membuatmu kesal?"
"Zayn menikah tanpa memberitahukannya terlebih dulu padaku," sahutnya.
"Dia sudah menceritakan alasannya padamu kan?" telisik Hera.
"Tetap saja! Zayn itu tampan dan juga kaya. Dia memiliki segala-galanya, dia bahkan bisa menikah dengan gadis manapun yang selevel dengannya dan bukan dengan gadis kampung seperti Irene, Tante," ocehnya panjang lebar.
"Memang menurutmu siapa gadis yang paling tepat untuk mendampingi Zayn?"
Kail telah dilempar, hanya tinggal menunggu mangsa untuk masuk jebakan saja.
"Yang cantik, berpendidikan tinggi, pintar dan pastinya berada di level yang sama dengan Zayn," jelas Tiffany dengan berapi-api.
"Contohnya?"
"Ya seperti aku lah, Tante," cetus gadis itu.
Tepat sasaran. Hera begitu pandai menggiring pertanyaan untuk mendapatkan jawaban dari kesimpulannya. Ternyata memang benar jika teman masa kecil putranya itu memiliki ruang tersendiri untuk Zayn. Terjawab sudah semuanya.
"Memang Tante mau apa, punya menantu kampungan seperti itu? Lulusan apa dia, Tante? Apa keistimewaan seorang Irene sehingga Paman Maxim berani menjodohkannya dengan Zayn?"
Sebenarnya masih banyak pertanyaan yang ingin Tiffany utarakan lagi pada Hera, tapi sepertinya situasi tidak mendukung. Belum sempat Hera membuka mulutnya, Irene telah datang dengan membawa nampan berisi dua buah gelas berisi jus jeruk dan juga dua piring kecil salad buah segar.
Irene mengetahui makanan favorit Tiffany dari pembantu rumah sewaktu di dapur tadi.
"Silakan," ucap Irene ramah setelah berhasil memindahkan isi nampannya di atas meja.
"Ikutlah bergabung di sini, Ren."
"Mungkin lain kali, aku akan melihat kakek dulu. Silakan dinikmati ya jangan sungkan-sungkan. Aku tinggal dulu." Irene mendekap nampan yang ia bawa.
"Kau bisa menemuinya di taman belakang, ayah ada di sana," beritahu Hera.
"Baik, Mom. Irene ke belakang dulu," pamitnya.
Hera mengangguk. Dengan ekor matanya dia sempat melihat Tiffany yang menatap Irene dengan tatapan penuh kebencian. Wanita yang masih cantik di usianya yang tak lagi muda itu pun tersenyum. Sebuah senyuman yang hanya Tuhan dan dia saja yang tahu artinya.
Sesampainya di dapur, Irene menaruh nampan itu kembali ke tempat semula. Samar-samar dapat ia dengar beberapa pembantu yang sedang bergosip, sesekali menyebutkan namanya dan juga Tiffany bergantian.
"Apa yang sedang kalian bicarakan?" tanyanya, bermaksud menghentikan acara gosip mereka sebenarnya.
"Tidak ada, Nona," bantah seorang gadis yang Irene perkiraan seusia dengannya.
"Jangan bohong! Aku mendengarnya dengan jelas kalau kalian mengait-ngaitkan namaku dan juga Tiffany tadi."
"Itu ... Nona, saya minta maaf." gadis itu menggenggam tangan Irene.
"Ada apa ini, kenapa ribut-ribut?"
Wanita berusia empat puluh tahunan datang dari pintu belakang.
"Bi Sasa, aku dengar tadi mereka bergosip tentang aku dan Tiffany," beber Irene pada kepala pelayan di rumah itu.
"Apa? Tidak mungkin, Nona."
"Jadi maksud Bibi pendengaranku terganggu?"
Tatapan mata dua wanita beda generasi itu saling beradu.
"Buk ... bukan itu maksud saya, Nona," sergah Bi Sasa.
"Lantas?" Irene menuntut jawaban.
"Saya sudah memberikan peringatan pada setiap orang yang bekerja di sini, Nona. Mereka dilarang keras untuk membicarakan majikan atau tamunya, apapun itu."
"Kalian bisa jelaskan padaku!" Irene mendesak dua gadis yang ada di depannya.
"Jawab! Nona sedang bertanya pada kalian, kenapa diam saja!" bentak Bi Sasa pada dua orang bawahannya.
"Ma ... maksud saya bukan seperti itu, Nona. Sungguh, kami tidak bergosip tentang kalian. Kami hanya sedang membandingkan kalian saja."
"Membandingkan?" kalimat itu sukses membuat Irene semakin penasaran. "Soal apa?" lanjutnya.
Kedua gadis itu saling menyikut lengan masing-masing. Ragu, satu hal yang pasti dan juga mereka takut kehilangan pekerjaan.
"Apa kalian mau aku terus berdiri di sini?" Irene menatap dua gadis itu bergantian.
"Lusi! Indah! Cepat jelaskan pada Nona atau aku akan meminta orang untuk mengemasi barang-barang kalian!" hardik Sasa kesal.
"Ampun, Nona. Baiklah, akan saya ceritakan. Tapi janji, Nona jangan marah ya," pinta gadis bernama Lusi itu.
"Ya, aku janji tidak akan marah. Sekarang cepat ceritakan!" desak Irene tak sabar.
"Jadi, kami berdua sedang membicarakan Tuan muda yang beruntung karena menikah dengan gadis rendah hati seperti Nona. Tidak seperti Nona Tiffany, Nona selain ramah juga sangat baik. Tidak pernah membentak-bentak kami ataupun memarahi kami seperti siluman rubah itu," jelas Lusi.
"Siluman rubah?" kedua alis Irene saling bertaut. Dia menatap Bi Sasa, lalu beralih pada Lusi.
"Nona Tiffany itu galak sekali, sedikit-sedikit marah, sebentar-sebentar memaki. Itulah sebabnya kami memberinya julukan seperti itu, Nona."
Irene tak tahan lagi. Tawanya pun memenuhi ruangan itu, membuat ketiga wanita di depannya saling menatap satu sama lain.
"Maaf, Nona," cicit Bi Sasa.
"Tidak masalah. Jangan hukum mereka, Bi," pintanya pada Bi Sasa, "Jangan ulangi lagi maka aku anggap kejadian ini tidak pernah terjadi," imbuhnya.
"Berterima kasihlah pada Nona!" Bi Sasa menyentak Lusi dan juga Indah.
"Terima kasih, Nona," ucap keduanya bersamaan.
"Ya sudah, aku mau menemui kakek di belakang."
Ketiga wanita itu mendesah lega begitu melihat kepergian Irene.
"Lihat akibat kecerobohan kalian! Mau aku menyumpal mulut kalian berdua!" ancam Bi Sasa.
"Kami tidak akan mengulanginya lagi, Bi. Janji."
Segala sesuatu yang terjadi di sana memang akan menjadi tanggung jawab Sasa selaku kepala pelayan, itu sebabnya dia cenderung bersikap keras pada bawahannya. Mengantisipasi kejadian buruk yang bisa saja menimpa mereka jika mereka sampai menimbulkan masalah.
Bersambung ....