"Kenapa wajahmu cemberut begitu?"
Vernon yang merasa terganggu melihat Irene yang sejak datang menemuinya dengan wajah yang tertekuk, pun tak tahan lagi.
"Tidak ada apa-apa, Kek," elaknya.
"Kalau memang tidak ada apa-apa, kemana hilangnya wajah cantikmu? Tidak biasanya kau murung begitu!" desak Vernon.
"Masih kalah cantik jika dibandingkan dengan Tiffany," balasnya, asal.
Seketika pria tua itu terdiam. Guratan halus di sekitar keningnya tampak nyata saat dia terlihat sedang berpikir keras.
"Jangan pernah membanding-bandingkan dirimu dengan perempuan itu! Kakek tidak suka," ujar Vernon yang mulai paham, mengapa Irene sampai berkata seperti itu tadi.
"Tapi kenyataannya memang benar kan, Kek? Irene tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan Tiffany."
"Apa kau sedang cemburu?"
"Tidak." Irene menggeleng.
Vernon terkekeh melihat tingkah cucu menantunya. Pria tua itu tahu kalau Irene sepertinya kesal pada Tiffany, dan dia tahu dengan jelas tanpa perlu Irene mengatakannya secara langsung.
"Zayn sama sekali tidak memiliki perasaan apapun padanya, jadi kau tidak perlu khawatir."
"Kenapa Kakek bilang begitu?"
"Kakek tahu kalau kau mencemaskan hubunganmu dengan Zayn, kan," tebak Vernon. "Kau merasa terancam dengan kehadiran Tiffany, benar begitu?"
"Ya. Bisa dibilang begitu, Kek," akunya jujur.
"Percayalah, Zayn hanya mencintaimu."
"Sulit dipercaya. Dia saja tidak pernah mengatakan apapun padaku," gumam Irene.
"Kakek paham betul watak anak itu. Dia tidak akan pernah mengkhianatimu, percayalah."
"Tapi kan Kakek tahu sendiri alasan kami menikah," ujar Irene.
"Begitu? Memang kau tidak dapat melihatnya?"
"Melihat apa?" Irene berpangku tangan seraya melemparkan pandangannya ke arah kolam renang.
"Melihat cara Zayn menatapmu, Kakek sudah tahu kalau sebenarnya dia telah jatuh cinta padamu."
"Apa?" sontak Irene terkejut.
"Kakek tidak pernah melihatnya menatap wanita sampai sedemikian rupa. Tatapan sendu yang begitu mendamba, dan itu hanya dapat Kakek lihat jika dia sedang menatapmu," beber Vernon.
"Tapi, Tiffany ... dia ...,"
"Satu hal yang perlu kamu ingat! Zayn tidak memiliki perasaan apapun selain hanya menganggapnya sebagai teman, tidak lebih!"
Irene mengangguk. Sebenarnya ada begitu banyak pertanyaan yang menari-nari dalam benaknya. Namun, rasanya dia tak berani menanyakannya pada Vernon.
"Zayn dan Tiffany tumbuh bersama sejak kecil," kata Vernon, memulai ceritanya. Dia yakin kalau Irene sangat ingin mengetahui lebih banyak tentang Tiffany.
"Ayah Zayn dan juga ayah Tiffany berteman dekat. Mereka dulu bertetangga sewaktu kami belum pindah kesini," lanjut Vernon.
"Lalu, di mana Tiffany pada saat aku dan Zayn menikah?"
"Paris. Dia itu seorang model terkenal dan pada saat kalian menikah, dia harus menghadiri acara fashion show yang diadakan rutinan setiap tahunnya di sana."
"Hm, ternyata dia seorang model terkenal. Pantas saja aku merasa tidak asing melihat wajahnya," lirih Irene.
"Tapi Kakek tidak menyukainya," cetus Vernon.
"Kenapa bisa begitu? Dia cantik, berpendidikan tinggi dan aku rasa dia juga baik."
"Kau berkata demikian karena belum mengenalnya dengan baik. Kakek bersyukur Zayn menikahimu, tidak bisa Kakek bayangkan akan seperti apa seandainya yang menjadi istrinya Zayn adalah gadis itu."
"Kenapa Kakek tidak menyukai Tiffany?"
"Perangainya buruk, bicaranya kasar. Dia malas, suka berdandan dan yang paling penting, dia tidak pernah memikirkan perasaan orang lain. Sering membuat masalah dan suka sekali memaki orang. Kakek tidak habis pikir, sifatnya itu sangat bertolak belakang dengan tampilan luarnya," urai Vernon.
Irene mengangguk kecil dengan mulut membulat, membentuk huruf o.
Vernon kembali menyesap cangkirnya hingga tandas tak tersisa, bersamaan dengan itu matahari telah naik sepenggalah. Berada di taman di saat cahaya mentari mulai panas menyengat kulit tidaklah baik. Vernon juga mulai lelah setelah menghabiskan waktu selama lebih dari dua jam dengan duduk diam di sana.
"Kakek sepertinya lelah, mari aku antar ke kamar," ajak Irene.
"Ya, sepertinya Kakek harus istirahat."
Irene membimbing tubuh Vernon dan memapahnya pelan menuju kamarnya. Tubuh tua itu terlihat lebih lemah akibat termakan usia, ditambah dengan kondisi kesehatannya yang makin hari kian menurun. Semua orang tahu bagaimana Vernon menjalani hidupnya dengan bergantung pada obat-obatan yang dia konsumsi.
"Ren."
Mendengar panggilan itu membuat Irene dan Vernon kompak menoleh ke arah sumber suara. Dapat mereka lihat, Tiffani sudah berdiri dengan anggunnya sambil melipat kedua tangannya di depan d**a.
"Ada apa?" tanya Irene.
"Temani aku jalan-jalan ya."
Irene tak dapat membedakan ucapan Tiffany padanya itu merupakan sebuah ajakan atau bukan, karena yang dapat Irene tangkap melalui nada bicara Tiffany itu lebih terdengar seperti sebuah perintah. Tidak ada keramahan sama sekali di sana.
"Maaf, sepertinya aku tidak bisa. Rencananya aku akan memasak makan siang juga membuat kue untuk teman minum teh Kakek, nanti," tolak Irene, halus.
"Oh, ayolah. Ada banyak maid yang Zayn pekerjakan di rumah ini, kenapa kamu mengambil pekerjaan mereka? Kalau kau tetap mengerjakan tugas seorang maid, lalu apa bedanya kamu dengan mereka?"
Setiap ucapan yang keluar dari mulut Tiffany memang terasa lembut, tapi terdengar begitu panas di telinga.
Untuk sesaat pandangan Irene dan Vernon saling beradu.
"Katakan padanya kalau kau akan pergi dengannya," bisik Vernon.
"Tapi, Kek ...," protes Irene.
"Katakan saja seperti itu padanya," ulang pria tua itu.
Irene mengangguk. Lalu kembali menatap ke arah Tiffany.
"Baiklah, aku akan ikut denganmu. Tunggulah sebentar! Aku akan mengantar Kakek ke kamarnya terlebih dulu."
Tiffany bersorak gembira dalam hatinya. Rasanya dia sudah tidak sabar untuk memberikan sambutan kepada istri dari teman karibnya itu. Tiffany merasa perlu menjalin kedekatan dengan Irene, jadilah dia harus memulainya dari hal kecil seperti menemaninya pergi berbelanja. Berharap kedepannya mereka bisa menjadi sahabat.
Gadis itu pun tersenyum lebar sambil berjalan menuju ruang tengah, tempat yang dia pilih untuk menunggu Irene bersiap.
***
"Apa ada yang salah dengan penampilanku?" tanya Irene yang kala itu berhasil menangkap basah Tiffany sedang mencuri pandang ke arahnya.
"Ah, tidak ada. Kenapa kau berpikiran seperti itu?" tampiknya. Padahal jelas-jelas dia kedapatan sering menatap Irene dengan sorot mata yang sulit diterjemahkan.
"Sepertinya sejak tadi kau terus menatapku," ucap Irene terus terang.
"Benarkah? Ah, mungkin karena kau terlalu cantik. Aku jadi senang melihat wajahmu," sahutnya sambil tersenyum.
"Itu tidak benar! Kaulah yang cantik," puji Irene.
Keduanya pun tertawa lepas. Pembawaan Tiffany yang mudah bergaul membuat Irene sangsi dengan ucapan Vernon.
Apa mungkin Vernon telah salah menilai? Kenapa Tiffany terlihat berbeda dari apa yang kakek tua itu katakan?
Ada berbagai pertanyaan yang bergelayutan di benak Irene, tapi sebisa mungkin dia berusaha untuk tetap waspada. Segala kemungkinan bisa saja terjadi, dan dia teringat akan nasehat Vernon untuk lebih berhati-hati dalam segala hal, termasuk tidak mudah percaya pada orang lain.
Tiffany terus menuntun tangan Irene memasuki sebuah butik ternama yang berada dalam satu gedung pusat perbelanjaan yang dia kunjungi.
"Kau mau membeli apa, Ren?" tanya gadis itu.
"Hm, karena tadinya aku hanya berniat untuk menemanimu saja, makanya tidak terpikirkan olehku untuk membeli sesuatu," jujur Irene.
"Lihat-lihat saja dulu, barangkali kau akan menyukai sebuah gaun."
"Tentu."
Irene mengikuti langkah Tiffany dari satu lorong berpindah pada lorong lainnya.
"Lihat ini! Ini adalah gaun limited edition hasil karya perancang busana kenamaan Dhani Gunawan," celetuk Tiffany.
Irene meraih gaun berwarna dark silver yang disodorkan oleh Tiffany padanya. Gaun tanpa lengan yang mengekspose bagian punggung itu tidak hanya terlihat indah, tapi juga sangat elegan. Ada taburan swarovski dibagian d**a yang menjadi nilai tambah tersendiri, menimbulkan kesan mewah.
Irene melotot saat melihat price tag yang terselip pada bagian dalam gaun tersebut. Namun, dia berusaha sebisa mungkin untuk terlihat biasa saja.
'Harganya bahkan mencapai harga sebuah mobil mewah. Apa tidak salah dia mengajakku kesini?' batin Irene.
"Bagaimana menurutmu, Ren?"
"Gaun yang sangat indah, hanya saja sayang bukan style-ku," Irene menyahut.
"Apa kau tahu siapa Zayn?"
"Apa yang kau maksud?" Irene meletakkan kembali gaun itu pada tempatnya.
"Hm, begini. Zayn itu pebisnis muda yang sedang naik daun, kau tahu seterkenal apa dia di dunia bisnis?"
Irene menggeleng pelan, dia masih berusaha mengikuti kemana langkah Tiffany membawanya.
"Dia itu pria yang sangat diimpikan oleh ribuan gadis, Ren. Ada banyak wanita yang tergila-gila padanya." Tiffany menghentikan langkahnya sejenak dan menatap Irene.
"Aku masih belum mengerti ke mana arah pembicaraanmu," aku Irene, jujur.
"Maksudku. Kau harus memperbaiki dirimu, entah itu dari segi penampilan ataupun yang lainnya. Jangan sampai kau membuat Zayn malu mengakuimu sebagai istrinya, malu mengenalkanmu pada dunia karena percayalah, ada banyak wanita yang menginginkan posisimu," terang Tiffany.
'Hm, sepertinya aku mulai paham sekarang,' Irene membatin.
"Oh, soal itu. Jangan khawatir! Aku memiliki cara untuk membuat Zayn selalu terikat denganku."
"Benarkah?" Tiffany menyeringai, tak mempercayai ucapan Irene.
"Aku tidak bohong!" tegas Irene, "Ya sudah ayo, aku mau lihat gaun seperti apa yang akan kau beli. Seleramu pasti bagus mengingat kau adalah seorang model terkenal yang bahkan sudah merambah hingga mancanegara."
Irene tersenyum saat melihat reaksi Tiffany yang begitu senang mendengarkan pujian darinya. Dia telah melakukan hal yang benar.
Satu jam kemudian.
Tiffany dengan bangga menunjukkan hasil perburuannya di butik tersebut kepada Irene, lalu menyuruh pegawai toko untuk membawanya ke kasir.
"Kau serius tidak mau membeli apa-apa? Ayolah, suamimu itu masuk pria terkaya ke sepuluh dunia lho. Dia tidak akan miskin hanya karena kau membelanjakan ratusan juta sehari atau bahkan satu M, itu terlalu sedikit bagi suamimu."
Tiffany dengan sengaja mengeraskan volume suaranya, membuat perhatian beberapa pengunjung dan juga pegawai menatap pada Irene.
'Apa dia sudah gila, bisa-bisanya dia berteriak seperti sales panci yang sedang promosi. Zayn itu suamiku, lalu kenapa dia yang pusing memikirkan bagaimana aku membelanjakan uangnya,' geram Irene dalam hati.
Detik berikutnya, dapat Irene dengar dengan jelas para pengunjung yang mulai berbisik-bisik. Irene berusaha tetap tenang dan memikirkan cara mengembalikan keadaan menjadi kondusif.
"Siapa bilang aku tidak akan membeli apapun? Aku memiliki daftar barang yang ingin kubeli, tapi aku menunggu kau selesai berbelanja dulu agar aku bisa meminta pendapatmu," jelas Irene.
"Boleh juga, tapi ... kau tidak akan membeli barang di tempat yang ...," Tiffany menggantung kalimatnya, dia menaikkan sebelah alisnya.
"Di sini!" cetus Irene, "Aku akan berbelanja di sini juga," sambungnya.
"Baguslah. Ayo, rasanya aku sudah tidak sabar untuk melihat baju seperti apa yang akan kau beli."
'Gaun paling murah saja di sini dibanderol seharga lima belas juta, kita lihat saja apa yang akan gadis kampungan ini beli.'
Kali ini gantian Tiffany yang mengekori Irene, ditambah dengan dua orang pelayan toko yang juga setia mengikuti mereka kemanapun mereka pergi.
"Kau akan membeli apa di stand khusus pria, Ren?"
"Ada, kau lihat saja nanti."
Senyuman terus terkembang di bibir Irene. Untunglah Vernon sempat memberinya nasehat tadi sewaktu dia mengantarkannya ke dalam kamar. Ingatannya kembali pada beberapa jam yang lalu di kamar Vernon.
"Zayn memberimu kartu kredit kan?" tanya pria renta itu.
"Iya, Kek."
"Di mana kartu itu?"
"Irene simpan, kenapa memangnya?" tanya Irene, tak mengerti.
"Kau bawalah kartu itu karena dengan membawanya akan dapat menolong harga dirimu," ungkap Vernon.
"Kenapa memangnya, Kek?"
"Jangan banyak bertanya, bawa saja! Zayn sudah memberikannya berikut dengan pin-nya kan?" tanya Vernon, memastikan.
"Sudah, Kek. Memakai tanggal lahirku," Irene menyahut.
"Ya sudah. Ingat kata-kata Kakek ya! Nanti, kemanapun merak centil itu membawamu pergi, jangan lupa kau juga harus membeli sesuatu. Kalau bisa yang harganya diatas barang-barang yang dia beli!" pesannya, lagi.
Irene tertawa kecil mendengar Kakeknya memanggil Tiffany dengan sebutan 'merak centil'.
"Kenapa tertawa, Kakek tidak sedang melawak!"
"Kakek memanggilnya begitu, jadi jangan melarangku tertawa."
'Setelah para pembantu memanggilnya dengan sebutan siluman rubah, Kakek juga memberikan nama kesayangan pada Tiffany.'
"Berhenti tertawa! Selalu ingat pesan Kakek ya. Beli apapun yang menurutmu bagus, Kakek yakin kau tidak akan mungkin membiarkan apapun atau siapapun merusak nama baik Zayn. Kau mengerti?"
"Iya Kek," sahut Irene mantap.
Irene akan dibuat tertawa jika mengingat kejadian itu lagi.
Berulang kali Tiffany memanggil Irene, hingga gadis itu merasa perlu menepuk bahu Irene lebih keras lagi agar lamunan gadis itu buyar.
"Ah, iya." Irene terkesiap.
"Apa yang membuatmu melamun?" tanya Tiffany.
"Ah, tidak ada. Ya sudah ayo, kau bilang mau membantuku memilihkan barang yang aku beli."
"Aku sempat bertanya tadi, barang apa yang akan kau beli di stand pakaian khusus pria? Dan kau belum menjawabnya," ulang Tiffany.
"Oh ya? Ya sudah jangan marah lagi! Aku beritahu sekarang ya kalau aku akan membeli dasi untuk suamiku."
Irene sengaja menekankan kata 'suami' karena ingin melihat reaksi Tiffany, dan sesuai dugaannya. Wajah gadis itu memerah, bukan karena tersipu malu melainkan karena kesal Irene yang secara tidak langsung menunjukkan hak kepemilikannya pada Zayn, padanya.
"Aku mau yang ini!" titah Irene.
Setelah memilih beberapa jenis dasi, akhirnya pilihannya jatuh pada sehelai kain bermotif rancangan designer dasi terkenal dunia, Stefano Ricci.
Secepat kilat Tiffany menyambar dasi tersebut. Matanya membulat saat melihat banderol dasi yang setara dengan harga satu unit mobil baru. Ia meraba kain sutra yang dipadukan dengan swarovski sebagai ornamen aplikasi dasinya. Tak heran hingga dasi tersebut memiliki harga fantastis.
"Kau yakin akan membelinya?"
"Tentu saja. Zayn pasti terlihat sangat tampan jika memakai dasi ini," jawab Irene mantap.
"Tolong dibungkus ya, Mbak!" pesannya pada pelayan toko.
"Baik Nona."
"Hm, omong-omong, di mana aku bisa melihat pakaian dalam?"
Irene berusaha menyembunyikan tawanya saat melihat ekspresi wajah Tiffany yang berubah menjadi sangat marah.
"Mari ikut kami, Nona," ajak pelayan toko satunya lagi.
Hanya perlu berjalan kaki sebentar karena letak gerai pakaian dalam yang memang berada tak jauh dari tempat tadi.
"Dalaman seperti apa yang biasa kau beli, Tiffany?" Irene menatap lekat wajah gadis yang ia perkirakan akan menjadi rivalnya, tak lama lagi.
"Ah, soal itu aku tidak terlalu mengerti, Ren. Kau bisa meminta pendapat pelayan toko saja kalau kau mau."
Terlihat sekali Tiffany mulai enggan berbicara dengan Irene.
"Mbak, tolong bantu pilihkan pakaian dalam yang bagus ya! Mbak tahu kan maksud saya?"
"Tentu saja. Tunggu sebentar."
Irene masih tersenyum saat matanya tak lepas mengawasi raut wajah Tiffany yang berubah-ubah. Tak lama, pelayan tadi kembali dengan membawa beberapa helai pakaian dalam seksi yang sengaja dia pilihkan untuk Irene.
Tiffany kembali membelalakkan matanya saat melihat kain berenda dengan warna gelap itu disodorkan pada Irene.
"Untuk apa kau membeli pakaian dalam seksi seperti ini?" tanyanya sebagai bentuk protes.
"Untuk apa katamu? Tentu saja untuk menyenangkan hati Zayn, suamiku."
Tiffany mendengus kesal karena sejak tadi Irene terus menyebut kata suami, didepannya.
Ingin sekali rasanya Tiffany memberikan sebuah pukulan pada gadis di depannya yang sekarang berhenti di depan sebuah manekin.
Belum reda kemarahannya melihat Irene membeli pakaian dalam seksi, lagi-lagi dia dibuat kebakaran jenggot saat Irene menyuruh pelayan membungkus sebuah lingerie hitam.
"Kau membelinya juga?"
Pertanyaan bodoh yang sebenarnya Tiffany sudah mengetahui jawabannya.
"Zayn paling suka kalau aku memakai itu pada saat aku menyambutnya pulang dari kantor," bisik Irene tepat ditelinga Tiffany.
Pukulan telak.
Tiffany menghentakkan kakinya ke lantai. Hari ini dia benar-benar sial. Tadinya dia mengajak Irene kemari untuk menyadarkan gadis itu bahwa dia tidak pantas bersanding dengan Zayn. Merasa dirinya lebih pantas menyandang gelar sebagai Nyonya Zayn Alexander Xavier, tapi lihatlah sekarang. Keadaannya malah berbalik menjadi senjata makan tuan.
Bersambung ....