Parveen berkali-kali berdecak kagum melihat mal yang baru saja berdiri di bawah perusahaan Danadyaksa Corp. Sebuah perusahaan besar bergerak di bidang batu bara dan minyak membuat pemimpinnya yang kini berusia setengah baya itu menginginkan hari tua menyenangkan.
Namun, angan-angannya pupus ketika mengetahui anak bungsu di Keluarga Danadyaksa itu tidak kunjung memiliki tambatan hati. Membuat Khazania merasa sedikit kecewa sekaligus tidak rela.
Kini Fairel dan Parveen yang baru saja datang menatap tanpa ekspresi pada karangan bunga untuk sambutan pada toko furniture besar milik kerja sama antara Fairel dan Erina. Keduanya memang telah banyak melakukan kerja sama, salah satunya pada hotel yang kini berpindah kepemilikan menjadi Khansa.
Entah apa yang sedang terjadi, Fairel hanya mengetahui bahwa hotel tersebut sudah dibeli secara keseluruhan oleh Erina dan memberikannya pada wanita tersebut. Ingin mengetahui hal lebih lanjut membuat Fairel merasa bukan urusannya. Alhasil ia tidak mengatakan apa pun lagi, sampai hari ini datang. Mereka kembali bekerja sama dengan sehat.
“Selamat datang, Pak Fairel!” sapa Erina tersenyum singkat sembari melakukan jabat tangan pada lelaki tampan yang ada di hadapannya, lalu kembali menatap ke arah toko dengan pita besar masih terpampang jelas.
“Apakah acara hari ini akan berjalan lancar, Nona Erina?” tanya Fairel tersenyum singkat sembari memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana, lalu menatap penuh harapan.
“Akan harap akan seperti itu, Pak Fairel. Karena terakhir kali kita bekerja sama kurang memuaskan,” jawab Erina mengembuskan napasnya berat, lalu melirik ke arah seorang lelaki paruh baya yang datang membawa sebuah gunting terhiasi pita merah cukup besar.
“Nona, sebentar lagi kita akan melakukan pemotongan pita,” ucap Pak Kelvin memberikan gunting tersebut.
“Oh, iya benar! Mari Pak Fairel, dan ....” Erina menggantungkan kalimatnya ketika melihat seorang gadis cantik yang tersenyum canggung.
“Dia sekretaris baruku bernama Parveen,” sahut Fairel mengangguk singkat.
“Sepertinya dia tidak terlalu jauh dengan usiaku. Apa aku boleh memanggilmu dengan sebutan kakak?” tanya Erina penuh meminta persetujuan,
“Boleh, Aku tidak akan merasa keberatan dengan apa pun yang kamu sebutkan, Nona Erina. Lagi pula aku memang masih muda dan baru saja lulus dari magister manajemen di Pinus,” jawab Parveen tersenyum ramah.
“Wah, benarkah? Aku rasa kita benar-benar ditakdirkan bersama,” seru Erina begitu bersemangat membuat Fairel yang mengernyit tidak percaya, lalu merangkul gadis itu untuk mengalihkan perhatiannya.
“Sudahlah jangan banyak bicara lagi. Aku masih memiliki pekerjaan di lain tempat, jadi kamu tidak bisa banyak bicara omong kosong,” sindir Fairel mengajak gadis itu melenggang masuk ke dalam membuat Parveen yang melihat kedekatan mereka berdua pun tersenyum geli.
Setelah acara peresmian sekaligus pembukaan toko tersebut yang berlansung tidak lama, akhirnya Fairel dan Parveen memutuskan untuk kembali melanjutkan perjalanan menuju LA Cyber. Memang sedikit meleset daripada perkiraan lelaki itu, tetapi hal tersebut mendukung dirinya lebih lama di perusahaan yang akan menjadi server bagi beberapa kantor cabang miliknya.
Sebuah gedung bergaya digital dengan hologram memenuhi tembok kaca itu pun membuat Parveen berdecak kagum. Ia tidak pernah melihat gedung ini sebelumnya, tetapi cukup baik untuk dikatakan sebagai perusahaan yang bergerak di bidang internet. Karena semua bergaya modern dan mewah.
“Di dalam sana nanti akan ada pemiliknya yang bernama Pak Faray. Dia berusia terpaut lebih jauh daripada dirimu, sehingga kamu akan merasa bosan di dalam. Jadi, aku akan menyusuruh Kiara untuk datang ke sini,” ucap Fairel sembari melenggang masuk ke dalam pintu berbentuk panjang yang bergerak memutar secara otomatis.
Namun, perhatian Parveen bukanlah pada benda tersebut, melainkan perkataan bosnya yang cukup mengejutkan. Karena selama dirinya bekerja, tidak pernah sekalipun ia mendengar perkataan baik mengenai Fairel, selain kekejaman lelaki itu yang bertindak sesuka hati.
“Pak Fairel yakin memberikan kebebasan untukku?” tanya Parveen tidak percaya.
Fairel mengangguk singkat. “Tapi, kamu harus ingat, ketika makan siang tiba kita harus segera pergi ke perusahaan Bang Daiyan untuk membicarakan kontrak kerja sama.”
“Tidak masalah!” pungkas Parveen bersemangat.
Kemudian, gadis itu pun tersenyum kegirangan tepat di belakang Fairel yang tampak beberapa kali menanggapi sapaan dari karyawan lain. Entah mereka mengenal lelaki itu atau pun tidak, tetapi hal tersebut mampu membuat Parveen merasa penasaran.
“Pak Fairel, mengapa di sini banyak sekali yang mengenalmu?”
“Kenapa?” tanya lelaki itu balik.
“Tidak apa-apa. Saya hanya merasa sedikit penasaran di sini banyak yang mengenalmu.”
“Mereka adalah karyawan lama. Dulu saya pernah magang di sini ketika masih kuliah. Sehingga wajar saja jika beberapa dari mereka kenal.”
“Memangnya ketika kuliah, apa yang Pak Fairel ambil?”
“Administrasi Bisnis, tetapi ketika masuk semester akhir saya langsung ambil program magister dengan jurusan yang berbeda.”
“Wah! Tapi, kata Pak Daiyan, bos baru saya pernah berkuliah di luar negeri. Apa benar?”
“Iya, benar. Saya dari Beijing, tetapi kembali lagi ketika selesai lulus sarjana dan melanjutkan magister dan doktoral di sini.”
“Kalau boleh tahu, apa yang Pak Fairel ambil ketika menjenjang pendidikan lebih tinggi?”
“Ketika sarjana saya ambil Administrasi Bisnis, lalu beralih pada magister yang lebih tertarik pada IT, dan ditutup dengan ilmu hukum. Bahkan saat melakukan proses tesis saya mendapatkan penghargaan yang terbaik.”
“Hebat sekali! Pantas saja jika Pak Fairel memiliki banyak rumor yang mengatakan bahwa tidak mudah bersilat lidah pada seorang lelaki berpendidikan tinggi. Bahkan melebihi orang tuanya sendiri.”
“Iya, benar. Saya sering mendapatkan perkataan seperti itu, tetapi bukan hanya saya saja, melainkan Daiyan pun sama. Apalagi lelaki itu mengenyam pendidikan yang tinggi bukan main. Bahkan sempat sekolah masak di Perancis. Sayangnya, hal tersebut tidak dukung membuat dia langsung beralih ke pendidikan sarjana sampai S3.”
“Benar-benar keluarga yang berbakat,” puji Parveen tersenyum lebar.
Tanpa sadar keduanya telah sampai di sebuah ruangan yang dijanjikan tadi membuat Fairel mendorong pintu tersebut menampilkan sederetan lelaki berjas mahal saling berbincang satu sama lain.
Tentu saja perhatian mereka sejenak teralihkan menatap seorang penerus Keluarga Danadyaksa yang sulit sekali dijatuhkan. Bahkan lelaki itu tidak main-main ketika mengambil gugatan untuk seseorang. Mengingat dirinya pendidikan terakhir mengambil ilmu hukum yang dapat menjatuhkan siapa pun dengan mudah.
“Selamat datang, Pak Fairel!” sambut seorang lelaki tampan dengan kacamata bertengger di pangkal hidungnya.
Parveen menatap sejenak pada seorang lelaki yang sempat dibicarakan oleh bosnya. Ternyata memang benar, Faray Zikri Lazuardy terlihat seperti vampir. Selain usianya yang semakin menua, tetapi tidak dengan wajahnya. Mereka seakan manusia yang menolak tua membuat Parveen merasa sanksi melihat istrinya pasti lebih cantik dan awet muda.