Setelah seharian penuh berkunjung ke berbagai tempat, akhirnya Parveen pun bisa merebahkan diri di kasur empuk yang terasa benar-benar nyaman. Gadis itu memejamkan matanya sembari menikmati rasa nyaman sekaligus kantuk yang mulai menyerang tanpa permisi.
Namun, saat gadis itu hendak berlari ke alam mimpi tiba-tiba telinganya mendengar suara pintu apartemen diketuk beberapa kali. Tentu saja hal tersebut membuat Parveen mengerang pelan, lalu dengan malas ia bangkit sembari menyeret kakinya keluar dari kamar.
Tanpa mengintip dari lubang yang telah disediakan, Parveen membuka pintu apartemen dengan mata setengah terpejam. Akan tetapi, ia merasa tubuhnya mendadak dingin membuat gadis itu perlahan membuka matanya, lalu melebarkan mata tidak percaya melihat wajah Fairel yang terpampang jelas tengah menatap dirinya dengan alis terangkat.
Spontan Parveen langsung menutup pintu apartemenya kembali, lalu buru-buru merapikan penampilannya yang sudah tidak lagi terbentuk. Ia pikir seseorang yang mengetuk apartemennya adalah Kiara. Sebab, sahabatnya itu memberi kabar ingin datang setelah beberapa hari berpisah.
Akan tetapi, tidak disangka ternyata yang datang malah bosnya sendiri. Membuat Parveen malu bukan main. Karena dirinya benar-benar buruk rupa tadi. Untung saja masih berpakaian rapi dengan setelan kantor, dan buka mengenakan piyama dengan sandal bulu serta bandana handuk yang biasa menjadi teman sehari-harinya ketika berada di apartemen.
Setelah dirasa cukup tenang, Parveen kembali membuka pintu dan mempersilakan untuk bosnya masuk ke dalam. Tampak dengan jelas ekspresi tidak mengerti Fairel ketika melihat Parveen yang mendadak salah tingkah.
“Silakan duduk, Pak. Saya ambilkan minum dulu,” titah Parveen menyuruh bosnya untuk duduk di sofa panjang tepat menghadap televisi yang tidak terlalu besar, tetapi cukup memuaskan ketika menatapnya.
“Buatkan saya cappuccino panas,” pinta Fairel mendudukkan diri sembari menatap sekeliling apartemen sekretarisnya yang tampak sangat rapi untuk ukuran perempuan pekerja keras dan jarang membersihkan rumah.
Tanpa pikir panjang, Parveen melesat ke dapur membuatkan pesanan bosnya yang tidak terlalu sulit. Karena dirinya pun menyukai kopi modern tersebut. Sehingga wajar saja jika tidak butuh waktu lama secangkir kopi beraroma mewah tersebut menguar ke segala penjuru apartemen yang ditinggali oleh seorang gadis cantik.
“Maaf, Pak. Saya belum membersihkan diri,” sesal Parveen meringis pelan sembari meletakkan segelas kopi pesanan tepat di hadapan bosnya. “Kalau boleh tahu, ada apa ya Pak Fairel datang kemari?”
“Kenapa? Saya tidak boleh mengunjungi apartemen sekretaris saya sendiri?” sindir Fairel terdengar kesal membuat Parveen menggeleng cepat.
“Bukan seperti itu, Pak. Tapi, kalau Pak Fairel bilang ingin mampir mungkin saya akan membuatkan makan malam. Karena kebetulan sekali stok makanan saya habis malam ini,” balas Parveen memejamkan matanya menahan malu. Hancur sudah harga dirinya sebagai seorang gadis yang wajib memiliki stok makanan.
“Tidak apa-apa. Saya datang ke sini hanya untuk mengunjungi apartemen sekretaris saya sendiri. Bukankah hal yang wajar?” Fairel menatap gadis yang ada di hadapannya tampak menggemaskan. Nyatanya ekspresi tidak enak Parveen membuat wajahnya semakin sedap dipandang mata.
Parveen mengangguk kaku, lalu menoleh kembali ke arah pintu apartemennya yang diketuk kedua kalinya. Membuat gadis itu sudah bisa menebak bahwa kali ini yang datang adalah sahabatnya sendiri.
Dan benar saja, ketika Parveen membukakan pintu dengan cepat Kiara menerobos masuk ke dalam membawa banyak sekali makanan di tangannya. Namun, langkah gadis itu langsung terhenti ketika melihat seorang lelaki tak asing di ingatannya.
Kemudian, Kiara pun berbalik dengan delikan mata tajam sekaligus tidak percaya membuat Parveen meringis pelan. Lalu, membawa sahabatnya masuk ke dalam dapur dan meninggalkan Fairel yang terlihat asyik mencoba kopi modern buatannya di apartemen.
Sesampainya di dapur, Kiara langsung melepaskan rangkulan sahabatnya dengan ekspresi menuntut penjelasan. Kalau tidak, gadis itu akan dengan sangat nekat mempertanyakan keberadaan Fairel sampai dapat.
“Gue juga enggak tahu dia datang ke sini, Ara,” keluh Parveen mendudukkan diri di kursi mini bar yang membelakangi Fairel. Sebab, jarak antara dapur dan ruang tamu hanya diberi sekat tembok transparan setengah dari kaca.
“Sebenarnya, gue juga enggak keberatan dia datang ke sini, Veen. Walau bagaimanapun juga, Fairel itu bos lo, dan udah sewajarnya dia datang buat mampir sejenak. Atau mengetahui semua aktivitas lo ketika di apartemen,” balas Kiara tersenyum tipis sembari meletakkan barang bawaannya tepat di hadapan Parveen.
“Oh ya, gue juga bawa barang bulanan pesanan lo. Untung aja gue langsung bergerak cepat buat nutupinnya dari Fairel,” sambung Kiara menunjuk plastik putih yang bersanding dengan beberapa stok makanan kering.
Parveen tersenyum lebar, lalu memisahkan barang tersebut dan meletakkannya di bawah mini bar. Karena mustahil rasanya ia ke kamar. Tentu saja ketika dirinya ke kamar akan bertemu langsung dengan Fairel yang sejak tadi dihindari.
“Ya udah, kalau gitu gue ke depan lagi, Ra. Kelamaan ninggalin Fairel malah jadi enggak sopan,” putus Parveen mengembuskan napasnya berat, lalu bangkit dari kursi tinggi tersebut.
“Oke. Nanti gue nyusul kalau udah selesai menata makanan,” balas Kiara setengah berteriak karena ternyata sahabatnya telah melenggang pergi.
Sementara itu, Fairel tampak merasa sedikit bosan berada di apartemen yang entah kenapa malah membuat dirinya mampir. Padahal sudah sejak tadi benaknya memperingatkan untuk tidak melakukan hubungan yang sama kedua kalinya.
Di saat lelaki itu berperang batin tiba-tiba ia mendengar suara langkah kaki mendekat membuat Fairel menoleh dan mendapati seorang gadis tersenyum canggung mendekati dirinya. Kemudian, duduk pada sofa berbentuk kotak tanpa sandaran.
“Yang baru saja lewat itu siapa?” tanya Fairel basa-basi, meskipun ia sudah tahu bahwa Kiara adalah sekretaris kedua sang kakak yang selama ini telah menyibukkan diri bersama Valeeqa.
“Oh, itu Kiara. Sahabat saya ketika kuliah dulu, dan beruntungnya memiliki pekerjaan yang sama,” jawab Parveen tersenyum tipis.
“Parveen, kalau kita berada di luar jangan berbahasa formal lagi. Santai saja,” imbuh Fairel mengangguk meyakinkan.
“Bukankah itu tidak sopan?” tanya Parveen meringis pelan.
“Tenang saja, kita hanya terpaut usia lima tahun. Tidak ada yang lebih tua daripada itu, kecuali Daiyan,” jawab Fairel tersenyum santai. Baru kali ini dirinya bisa bersikap lembut pada gadis, jika sebelumnya begitu cuek. Dan bersikap baik ketika ada maunya saja.
Tanpa menanggapi apa pun lagi, Parveen mengalihkan perhatiannya ketika mendengar suara langkah kaki mendekat dengan siluet tubuh seorang gadis terpampang jelas membawa sesuatu di kedua tangannya.
“Makan malam datang!!!” seru Kiara begitu heboh, lalu menoleh ke arah seorang lelaki yang terlihat menyandarkan tubuh santai. “Bang, lo makan malam di sini, ‘kan?”
Fairel mengangguk pelan. “Tawaran yang menggiurkan jelas gue terima.”
Sontak hal tersebut membuat Kiara memasang ekspresi malas yang mengundang gelak tawa geli dari Parveen. Gadis itu baru sadar bahwa sahabatnya ternyata cukup dekat dengan Fairel.