8. Terasa Menyenangkan

1021 Kata
“Apa agenda saya hari ini, Sekretaris Parveen?” tanya Fairel menyandarkan tubuhnya sembari menatap komputer mahal berwarna putih dengan logo anggur. Sejenak seorang gadis cantik berpakaian kantor mahal itu berselancar sesuatu di ipad membuat wajahnya begitu serius dengan seiring pen digital tersebut bergerak ke sembarang arah, lalu terhenti saat menyadari tujuannya telah sampai. “Jam 8 nanti akan ada rapat pembukaan toko furniture dari perusahaan Pingle Group, lalu setelah makan siang kunjungan ke LA Cyber untuk menempatkan beberapa perusahaan cabang pada server mereka. Terakhir, Pak Fairel akan mengunjungi Pak Daiyan untuk melakukan persetujuan pembukaan perumahan baru,” papar Parveen panjang lebar. Setelah itu, gadis yang baru saja selesai sarapan menatap bosnya dengan kedua mata lurus ke depan sekaligus meminta persetujuan. Agar segera mempersiapkan semua yang dibutuhkan. Karena hampir seharian penuh mereka berada di luar. “Baiklah. Tambahkan acara kemarin yang sempat tertunda untuk dilakukan sekarang,” balas Fairel mengangguk singkat. Parveen meringis pelan. “Maaf, Pak. Perusahaan yang kemarin dikecewakan sudah memutuskan kerja sama dengan kita.” Mendengar hal tersebut membuat Fairel mengangguk beberapa kali, lalu menatap sekretarisnya dengan santai. Nyatanya gadis itu sama sekali tidak mengatakan apa pun, selain membicarakan hal yang berkaitan dengan pekerjaan. “Baguslah. Kalau begitu, kita tidak akan sulit-sulit lagi untuk melakukan banyak hal. Lagi pula bekerja sama dengan mereka tidak terlalu menguntungkan. Aku ingin sesuatu yang besar, dan pasti. Jadi, memang tidak salah jika mereka memutuskan kerja sama,” balas Fairel tersenyum lebar. Seakan yang baru saja dikatakan lelaki itu sama sekali tidak cukup mengejutkan. Parveen lebih memilih diam. Ia tahu karakter bosnya yang menginginkan sesuatu lebih besar daripada terus berjuang, tetapi dengan hasil mengecewakan. Ada baiknya memang harus merelakan sesuatu untuk mencapai kesuksesan. Karena semua butuh perngorbanan, termasuk dalam pekerjaan yang tidak menguntungkan seperti itu. Membuat Fairel merasa jauh lebih tenang daripada harus mengurusi hal yang tidak terlalu penting. “Sekarang sudah hampir waktunya! Cepat ambil semua barangmu, kita akan menuju Mal Grahasia untuk pembukaan toko furniture. Usahakan kamu tidak membawa banyak barang, karena di sana akan lumayan lama, sebelum akhirnya datang ke LA Cyber,” celetuk Fairel bangkit dari kursinya, lalu melenggang pergi begitu saja menuju ruangan kecil untuk mengambil jas mahalnya yang sudah rapi. Sedangkan Parveen hanya mengangguk singkat, dan melenggang keluar untuk mempersiapkan semua kebutuhan sang bos, termasuk sekotak permen gula. Entah kenapa lelaki itu memiliki kebiasaan dengan mengunyah permen ketika sedang berada di ruang. Tak lama kemudian, mereka berdua pun turun ke lobi bersama-sama. Mengabaikan banyak tatapan kagum sekaligus iri ketika melihat seorang Parveen bisa berjalan pada satu langkah kaki yang sama bersama Fairel. Namun, di sela langkah mereka berdua tiba-tiba Shanika datang bersama beberapa orang yang bisa dikatakan sebagai tim membuat wanita itu melirik ke arah Parveen. Lalu, mengangkat alisnya pertanda menyapa sekaligus bertanya. Hal tersebut dibalas oleh Parveen dengan gelengan kepala pelan, lalu melambaikan tangannya. Akan tetapi, kegiatan itu malah membuat dirinya tertinggal langkah cukup jauh membuat gadis cantik bersepatu high heels tidak terlalu tinggi pun melangkah cepat. Sesampainya di sebuah mobil mewah yang kini terbuka lebar menandakan seseorang masuk ke dalam. Akan tetapi langkah keduanya langsung terhenti dengan Fairel menghadap pada Parveen yang mengernyitkan keningnya bingung sekaligus penasaran. “Apa kamu tahu alamat keberadaan mal peluncuran?” tanya Fairel menatap tepat menembus jantung Parveen yang mendadak berdetak lebih cepat daripada biasanya. “Tidak, Pak. Tapi, jangan khawatir saja akan mencarinya di internet,” jawab gadis itu dengan cepat membuka ponselnya yang sejak tadi berada di tangan. Namun, sebelum hal tersebut terjadi, Fairel sudah merebut ponsel tersebut. Lelaki itu menggeleng pelan dengan mematikan layar ponsel khas seorang gadis berwarna biru yang terlihat menggemaskan. “Biarkan Pak Petrus saja yang menyetir hari ini. Kamu akan berada di belakang bersama saya,” kata Fairel santai, lalu membungkuk masuk ke dalam benda yang sejak tadi sudah menderu halus. Melihat hal tersebut membuat Parveen mengembuskan napasnya berat. Akhirnya, mau tak mau gadis itu pun masuk ke dalam mobil yang mengarah pada jok penumpang kosong tepat di samping seorang lelaki tampan lengkap dengan sabuk pengaman di tubuhnya. Sejenak keadaan canggung tampak menyelimuti Fairel dan Parveen. Tidak biasanya mereka berdua saling diam tak bersuara seperti ini. Membuat keheningan terasa mencekik leher Parveen yang terbiasa bersuara. “Mengapa kamu diam saja?” celetuk Fairel menoleh bingung ke arah sekretarisnya yang sesekali bergerak kaku. Parveen menggeleng pelan, lalu kembali menatap ke arah luar jendela mobil mengusir kecanggungan yang tengah terjadi diantara mereka berdua. “Saya hanya sedikit terkejut di sini jauh lebih ramai daripada kantor pusat.” “Apa maksudmu?” “Begini, Pak. Ketika saya masih berada di kantor lama, jalanan tidak akan sepadat ini. Bahkan bisa dikatakan kebanyakan dari mereka menggunakan kendaraan umum.” “Jelas berbeda, Parveen. Di sini kebanyakan bos daripada karyawan perusahaan. Sehingga wajar saja dibandingkan wilayah kantor pusat yang bisa dikatakan lebih sepi dan jarang sekali terlihat kendaraan pribadi memadati jalanan.” “Lantas, mengapa Pak Fairel memilih wilayah padat? Bukankah jauh lebih efisien berada tidak jauh dari desa?” “Sebenarnya, alasanku hanya satu, yaitu ingin semua karyawan bertanggung jawab atas pekerjaannya. Tentu saja dengan adanya kepadatan setiap pagi membuat tidak sedikit karyawan yang mengerti jadwal akan berangkat lebih cepat. Dan hal tersebut membuat minimnya kecelakaan lalu lintas. Akibat dari kelalaian berkendara.” “Tapi, aku malah merasa situasi seperti ini yang terkadang membuat stress pengendara. Karena mereka tidak bisa berangkat lebih cepat, dan harus setia menunggu giliran. Karena lampu lalu lintas akan terus bekerja mengatur jalan.” “Memang setiap orang memiliki pandangan tersendiri. Kita tidak bisa memaksakan banyak kehendak hanya karena satu alasan. Lebih baik tetap berpegang teguh pada pendirian dan terus bekerja keras. Karena kehidupan akan jauh lebih ringan ketika dinikmati daripada dijadikan beban.” Penuturan dari Fairel benar-benar membuka pikiran Parveen yang selama ini ternyata hanya menatap pada sisi satu saja, sedangkan lainnya diabaikan begitu saja. Padahal yang dikatakan bosnya tadi memang benar. Semua manusia tidak bisa menjadikan kehidupan mereka sebagai beban, dan melihat orang lain jauh lebih senang. Pada kenyataannya, justru yang terlihat senang itulah banyak sekali masalah dan cobaan menerpa. Namun, mereka menyikapinya dengan baik-baik saja. Sehingga tidak mudah terlihat oleh orang lain. Meskipun terkadang mereka memiliki titik lemah yang membutuhkan sandaran.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN