“Veen, gue baru tahu kalau ternyata lo mutasi ke kantornya Fairel,” celetuk Kiara merebahkan diri menatap langit-langit ruang tamu.
Tepat selesai makan malam, Fairel mengundurkan diri. Lelaki itu ternyata hanya datang untuk melihat situasi dan lingkungan tempat tinggal Parveen. Walau bagaimanapun juga, gadis itu masih tidak mengingat dirinya membuat Fairel sedikit merasa bersyukur. Sehingga dirinya tidak perlu menjelaskan apa pun lagi, selain membiarkan Parveen nyaman berada di sisinya.
“Lo tahu Fairel dari mana, Ra?” tanya Parveen penasaran.
Kiara menggulingkan tubuhnya hingga menelungkup, lalu menyanggah menggunakan kedua tangan sembari menatap wajah mulus seperti bayi milik Parveen yang kini polos tanpa make up sama sekali.
“Sebenarnya, gue enggak terlalu kenal sama Fairel. Maklum, kita enggak satu mampus juga. Tapi, gue kenal sama sepupunya,” jawab Kiara tersenyum tipis sembari memainkan rambut indah sahabatnya yang tergerai indah.
“Sepupunya siapa?”
“Ade Suryana. Anak Perkantoran yang pernah gue mintain tolong pas bikin skripsi.”
“Oh, Kak Ade? Dia sepupuan sama Pak Fairel?”
“Iya, bahkan mereka berdua seumuran.”
“Bukannya Pak Fairel kepala tiga?”
“Iya, benar! Kak Ade sama Fairel memang seumuran.”
“Ngomong-ngomong Kak Ade ke mana, ya? Sepertinya enggak kelihatan lagi semenjak kita lulus.”
Parveen mengangguk membenarkan apa yang dikatakan oleh sahabatnya. Sedari mereka lulus dan bekerja di bawah perusahaan Daiyan. Tidak pernah sekalipun Ade terlihat. Padahal lelaki itu pernah bilang tidak akan pergi ke mana pun, selain tetap berada di Jakarta untuk bekerja.
Namun, nyatanya sampai hari ini mereka berdua tidak pernah bertemu pada kakak tingkat tersebut lagi. Mungkin bisa dikatakan ketika lulus dari universitas, maka sudah menentukan masa depan masing-masing.
Tiba-tiba Parveen teringat akan sesuatu membuat gadis itu mendongak menatap Kiara yang terlihat asyik memainkan rambutnya sembari tertawa kecil.
“Ra, malam ini lo nginap di apartemen gue? Mau cerita banyak,” pinta Parveen mengerucutkan bibirnya penuh harap.
“Enggak bisa, Veen. Gue masih ada kerjaan,” tolak Kiara menggeleng lesu.
“Pasti gara-gara gue, ya?” tebak Parveen merasa bersalah.
“Tenang aja. Ini enggak ada sangkut-pautnya sama lo. Karena gue juga enggak keberatan sama sekali. Bahkan Bu Valeeqa aja suka nanyain lo yang sebentar lagi jadi mantu Keluarga Danadyaksa.”
“Jangan ngaco!” elak Parveen melebarkan matanya tidak percaya, lalu menggeleng pelan.
Sementara itu, di sisi lain Fairel baru saja kembali dari apartemen Parveen pun langsung menjatuhkan tubuhnya di atas kasur. Namun, telinga lelaki itu mendengar sesuatu bergerak dari luar membuat Fairel bangkit kembali.
Kemudian, lelaki tampan yang masih mengenakan kemaja lengan panjang tergulung hingga ke siku melangkah dengan malas keluar kamar. Sampai perhatiannya mengarah pada seorang lelaki yang terlihat sibuk menata sesuatu di ruang tengah.
“Ade!” panggil Fairel mengernyitkan keningnya tidak percaya.
Mendengar nama seseorang yang memanggilnya dari kejauhan membuat lelaki itu membalikkan tubuh, lalu melebarkan matanya semangat.
“Fairel!!!” pekik Ade Suryana.
“Astaga, kapan lo kembali? Gue pikir masih ada di India,” tanya Fairel tersenyum lebar menghampiri sepupunya yang ternyata tengah menata makan malam.
“Baru sampai, dan ternyata gue lapar. Jadi, belum makan malam dulu,” jawab Ade tertawa pelan. “Lo udah makan malam?”
Fairel mengangguk singkat. “Tenang aja. Gue udah makan tadi.”
Ade menatap sepupunya yang ternyata sudah lebih dewasa. Membuat wajah menggemaskan itu berubah menjadi tegas dengan tampan yang begitu khas. Percampuran antara tampan dan cantik.
“Oh ya, selama gue enggak ada di sini, kayaknya gue ketinggalan banyak berita,” celetuk Ade diselingi suapan nasi untuk makan malam yang baru saja ia beli di luar.
“Berita apa?” tanya Fairel mendudukkan diri di sofa tepat di atas Ade yang duduk di bawah memakan makan malamnya.
“Kata Bang Iyan, lo kehilangan Lara pas lagi sibuk-sibuknya di kantor.”
“Iya, dia mendadak mengundurkan diri saat perusahaan baru aja melakukan kontrak kerja sama.”
“Wah, parah banget dia, ya? Itu alasannya karena apa?”
“Entahlah. Gue enggak terlalu ngurusin. Karena kalau dia mengundurkan diri, enggak akan ada perkataan yang bisa menahannya. Lagi pula masih banyak sekretaris lain yang bisa menggantikan wanita itu.”
“Lo enggak kecewa, Rel?”
“Enggak! Buat apa gue kecewa kalau ternyata ada yang lebih baik menggantikannya.”
“Oh, udah ada pengganti? Siapa?”
“Namanya Parveen,” jawab Fairel setengah bergumam membuat Ade mengernyitkan keningnya bingung.
“Oh, Parveen, ya? Mirip nama adik tingkat gue saat di kampus.”
Fairel mengernyitkan keningnya keningnya sesaat. Akan tetapi, lelaki itu sama sekali tidak berpikiran bahwa Parveen yang dimaksud adalah orang yang sama.
Akhirnya, dua saudara berbeda darah itu pun menghabiskan waktu sepanjang malam dengan bermain game, berbagai cerita, dan sampai menonton film yang sudah lama sekali ditunggu. Bahkan mereka berdua sampai melupakan kenyataan bahwa besok masih ada kegiatan yang harus dikerjakan.
Tanpa sadar pagi hari tiba begitu cepat membuat Fairel menyandari jendela rumahnya yang sudah semakin terang. Padahal jam dinding masih menunjukkan pukul 05.00 WIB.
“Rel, lo hari ini enggak ngantor?” tanya Ade menyandarkan tubuhnya lelah pada sofa di belakangnya.
“Jangan ngadi-ngadi lo! Hari ini gue ada tanda tangan kontrak sama LA Cyber,” jawab Fairel mendesis sinis.
“Oh, ya udah. Gue mau tidur dulu ngantuk banget,” pamit Ade melenggang pergi begitu saja meninggalkan Fairel yang masih menatap televisi besar di hadapannya.
Lelaki berkaus putih polos itu tampak bangkit, lalu mematikan semua lampu serta barang elektronik lainnya. Kemudian, mulai membereskan sisa sampah makanan semalam. Karena mereka berdua benar-benar menghabiskan waktu dengan saling bertukar rindu.
Setelah selesai membereskan ruang tengah, Fairel melangkah keluar rumah untuk berolahraga sebentar. Karena malam ini dirinya tidak tidur membuat kantuk mendadak menyerang begitu saja. Sehingga membutuhkan pengalihan perhatian.
Namun, saat lelaki itu hendak mengenakan sepatu di luar rumah tiba-tiba terdengar suara deru knalpot lembut dari luar. Membuat Fairel mengernyitkan keningnya bingung, lalu menghampiri gerbang rumahnya yang masih tertutup rapat.
Alangkah terkejutnya Fairel melihat seorang gadis cantik tengah berdiri tepat di depan gerbang sembari menatap ragu-ragu. Seiring dengan jantung lelaki yang hanya dibatasi oleh sekat gerbang itu pun berdetak semakin kuat.
Suara ketukan pelan menyandarkan perhatian Fairel yang awalnya tengah berkelana ke tempat lain. Membuat lelaki itu membuka kunci gerbang, lalu menatap datar pada gadis yang tampaknya sedikit terkejut.
“Pak Fairel ingin jogging?” tanya Parveen mengerjapkan matanya beberapa kali membuat Fairel memiringkan kepalanya bingung.
“Eng ... enggak, baru selesai jogging dan kebetulan masih di luar,” jawab Fairel tergagap kikuk.