Tujuh

1088 Kata
Jerry kaget ketika mendapati Satria dan Pelangi berdiri di depan pintu rumahnya. "Mau ngapain kalian ke sini?" tanyanya ketus. Bukannya menjawab, Satria malah balik bertanya pada sahabatnya itu. "Lo... tinggal di sini?" tanya Satria ragu. Dia masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya sekarang. Jerry tinggal di rumah yang sangat jauh dari kata mewah.  Jerry tertawa sumbang. "Emang kenapa kalau gue tinggal di sini? Lo mau ledekin kalau gue sekarang udah jatuh miskin?" "Bro, bukannya gitu. Gue- " "Jerry, siapa yang datang? Kok, dipintu aja? Tamunya nggak disuruh masuk?" Suara Lidya yang sedang duduk di depan TV bertanya pada Jerry. Pintu hanya dibuka sedikit saja oleh Jerry, jadi Lidya tidak bisa melihat dari dalam sana. "Mereka bentaran doang, Ma! Ini juga udah mau pulang," jawab Jerry sambil menatap dua kakak beradik di depannya itu. Jerry secara tidak langsung menyuruh mereka untuk segera pulang. Jerry menutup pintunya dari luar supaya sang mama tidak mendengar percakapan mereka. "Kak, aku pengen ketemu Tante Lidya. Boleh aku masuk ke dalam?" ujar Pelangi karena mendengar suara yang dikenalnya dari dalam rumah. Kening Jerry berkerut. "Lo kenal sama nyokap gue?"  Pelangi mengangguk cepat. "Waktu itu aku ketemu sama Mamanya Kak Jerry di pasar modern." Apa Pelangi gadis yang diceritakan oleh mamanya waktu itu? Jerry bertanya-tanya.  "Pelangi?!" Lidya berseru senang ketika melihat tamu yang dimaksud Jerry adalah Pelangi. Lidya memutuskan untuk menyusul Jerry ke depan karena anaknya itu tak kunjung masuk ke dalam rumah, malah menutup pintu dari luar. Lidya jadi penasaran siapa yang berkunjung ke rumahnya malam begini. Apakah seorang perempuan? Beberapa kali memang ada yang berkunjung untuk mencari Jerry, namun lelaki itu mengusirnya. Anak sulung Lidya tersebut tidak ingin perempuan manapun menganggu kehidupannya, kecuali mamanya dan Andin. Kali ini, Lidya hanya ingin memastikan kalau semisal memang tamu perempuan yang datang, tidak diusir kembali oleh Jerry. Lidya ingin Jerry seperti anak laki-laki pada umumnya di umur segini. Punya pacar dan tidak hanya menghabiskan waktunya untuk bekerja saja. Lidya menatap Jerry tajam. "Kenapa  tamunya nggak disuruh masuk? Kamu tahu nggak kalau perempuan yang ada di depan kamu ini adalah orang yang sudah nolongin Mama waktu di pasar?" Jerry hanya berdehem. Kemudian dia menatap Pelangi datar. "Thanks udah bantuin nyokap gue waktu itu." "Kamu udah kenal sama Pelangi?" tanya Lidya. Lalu dia tersadar kalau ada orang lain di sana selain Pelangi. "Satria? Kamu temannya Jerry waktu kuliah S-1 di Jakarta, 'kan?" Satria tersenyum. Walau baru 2 kali bertemu, namun mama dari sahabatnya itu masih mengenali wajahnya. Satria mengulurkan tangannya menyalami Lidya. "Iya. Apa kabar, Tan? Maafin kita... datang ke sini malam-malam." "Alhamdulillah kabar Tante baik," jawab Lidya membalas senyuman Satria. "Nggak papa, kok. Lagian belum begitu malam, masih jam 8." Lidya menatap Satria dan Pelangi bergantian. "Ka-mu dan Pelangi datang barengan ke sini?" tanyanya penasaran. Apa mereka berdua pacaran? Kalau iya... gagal deh, niatku ingin mendekatkan Pelangi dengan Jerry. "Iya, Tan. Pelangi ini adik aku." Lidya senang mendengar jawaban Satria. Syukurlah mereka cuma kakak beradik. Jadi niatnya bisa dilanjutkan. "Pelangi, masuk ke dalam aja, yuk! Tante bikinin minum dulu untuk kalian." Jerry mendengus mendengar perkataan Lidya. *** "Oh... jadi Jerry itu asisten dosen kamu di kampus?" tanya Lidya setelah Pelangi bercerita tentang awal mulanya bertemu lagi dengan Jerry. "Iya. Aku juga baru tahu kalau Kak Jerry itu anaknya Tante." Lidya manggut-manggut. "Gimana Jerry di kampus? Dia galak nggak?" "Galak banget, Tan! Masa waktu itu aku dihukum ngerjain soal yang aku nggak bisa," ungkap Pelangi dengan polosnya. Pelangi mengerucutkan bibirnya mengingat peristiwa waktu itu. Lidya sontak tertawa atas jawaban polos yang keluar dari mulut Pelangi. "Nanti Tante bilangin sama dia supaya nggak galak lagi, terutama sama kamu," ujar Lidya disela tawanya. "Nanti aku bantu bilangin juga deh, sama Kak Jerry. Dia nggak boleh kayak gitu sama Kak Pelangi," ucap Andin menimpali. Sejak pertama kali bertemu, Andin sudah langsung akrab dengan Pelangi. Mereka bertiga tengah duduk di ruang tamu kecil di dalam rumah, sedangkan Satria dan Jerry berada di teras. Mereka duduk di bangku sederhana yang terbuat dari bambu. "Lo kenapa pindah nggak bilang sama kita-kita?" tanya Satria memecah keheningan. "Nggak penting. Kalian juga punya urusan masing-masing, ngapain mikirin gue?" Satria heran, Jerry yang biasa dikenalnya ramah sekarang berubah menjadi sosok yang dingin. "Tapi kita sahabatan, Bro! Susah senang bersama. Kalau ada masalah, lo bisa cerita sama kita." "Nggak ada yang perlu diceritain," sahut Jerry malas. "Gue turut berduka cita atas meninggalnya bokap lo. Sorry, gue baru tahu." "Dari mana lo tahu?" "Pelangi... dia cerita semua tentang lo. Dan apa yang diceritain sama nyokap lo. Dia cuma menduga kalau lo adalah anak Tante yang pernah dia tolongin. Dan ternyata benar. Dia pernah ikutin lo ke sini." Jerry berdecak. Apa sih, maksud Pelangi mengikutinya? Hampir 2 tahun ini dia berusaha hidup dengan tenang. Tapi semenjak bertemu kembali dengan Pelangi, dia merasa ketenangannya terusik. "Pasti banyak hal berat yang udah lo lalui belakangan ini. Gue sebagai sahabat, merasa nggak berguna baru tahu keadaan lo sekarang." "It's okay. Gue baik-baik aja. Sorry, nggak kasih kabar waktu itu." "Lo kerja sambil lanjutin kuliah lagi?" Jerry mengangguk. "Disuruh om gue." Ingat cerita Pelangi tentang Jerry yang bekerja keras seperti kata Lidya, Satria jadi iba pada sahabatnya itu. Dia ingin membantu Jerry, katakanlah sebagai hutang budi karena Jerry sudah melakukan banyak hal padanya dulu—berkorban untuknya. "Jer," panggil Satria. "Hmmm?" "Jadi gini... gue niat mau ajak lo kerja sama. Usaha distro gue yang cabang Bandung, apa lo mau bantu ngurusin? Cuma kontrol sekali-sekali aja, sih." Jerry yang salah menangkap ucapan Satria malah tertawa hambar. Dia merasa tersinggung. "Lo mau ngasihani gue dengan ngasih gue kerjaan baru?" Satria menggaruk tengkuknya, tampaknya Jerry salah paham akan ucapannya. "Jer... bukan gitu maksud gue." "Gue masih bisa cari kerjaan sendiri, Sat. Nggak usah sok kasihan sama gue." Jerry bangkit dari duduknya. "Bawa adek lo pulang, udah malam!" Jerry masuk ke dalam rumah dengan wajah masam. Dia berhenti sejenak di dekat tiga orang yang tiba-tiba berhenti tertawa melihat Jerry masuk dengan wajah tidak bersahabat. "Pulang sana lo! Udah malam juga. Itu ditungguin sama kakak lo di depan," ucapnya ketus—mengarah pada Pelangi. "Jerry!" Lidya menegur Jerry, namun lelaki itu tidak menggubrisnya. "Maafin Jerry, ya! Entar kapan-kapan kamu main lagi aja ke sini." Pelangi tersenyum tipis. "Nggak papa, Tan. Kak Jerry benar, aku seharusnya pulang." Pelangi melirik jam di pergelangan tangannya. "Udah jam 9 lewat 15 menit. Aku pamit dulu, Tan, Ndin. Assalamu'alaikum... " "Waalaikumsalam." Lidya dan Andin mengantarkan Pelangi sampai ke depan. Lidya menghembuskan napasnya pelan melihat kepergian Satria dan Pelangi. Sepertinya dia harus ke kamar Jerry setelah ini untuk berbicara dengan anaknya itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN