Sorot netra Mas Harsa terasa menghunjam ke relung sanubari, tajam. Apakah dia mendengar perkataan Haykal? Aku merasa dipersalahkan. Akan tetapi, bukankah dia tidak berhak untuk marah? Dia bukan siapa-siapa lagi. "Nur minta ditunjukkan kamar rawat Emyr. Tadi bertemu di parkiran," ucapnya datar. Aku mengangguk. "Mas pergi lagi." Ia pamit, tetapi terlihat enggan berlalu. Netranya masih menatap tajam. "Iya," balasku. Laki-laki itu menghela napas dalam , sebelum akhirnya berlalu juga. "Kemarin ke rumah sakitnya sama papanya Emyr?" Kini Haykal yang menatap tajam dan penuh selidik setelah mengantar Mas Harsa dengan tatapan yang tak kumengerti. "Iya." Aku mengangguk. Namun, tidak berani menantang tatapnya. "Kamu menghubungi dia?" "Huum." Aku mengangguk lagi. Terdengar embusan napas pa