"Makan, Mas," ujar Santi bertepatan dengan aku keluar kamar. "Ya." Aku mengangguk sambil melipat separuh lengan kemeja. Tampak kusut. Sejak kepergian Safira, tidak ada yang mengurus pakaian apalagi menyetrika. Biar sajalah. Tidak ada gunanya tampil memesona. Separuh jiwa telah pergi, semangat lumpuh karena ketidakhadirannya. "Mas mau kemana?" tanyanya. Tampak sekali rasa ingin tahu terpancar dari matanya. "Mau jenguk Emyr," jawabku singkat. "Ehem .... Emyr apa Mbak Fira?" Dia tersenyum menggoda. Aku mengerling tajam. Emyr atau Safira? Rindu untuk keduanya telah membaur. Tidak bisa dijawab pertanyaan lebih rindu kepada siapa? Safira. Tentu saja aku sangat merindukannya. Sangat. Bahkan setiap tarikan napas, benak selalu mengukir bayangnya. Namun, aku sadar diri untuk tidak berharap