Part 10

2210 Kata
Setiap ada laki-laki yang datang menghampiri Luna untuk menyampaikan kata-kata manis mereka, untuk menarik hati Luna sebagaimana yang tertera di kertas, agar bisa menjadi pacar Luna. Ana dan Clarissa selalu memerhatikan mereka dari jauh. Mengamati siapa laki-laki tersebut, mencoba mengenali siapa dia, sekaligus menilai bagaimana penampilan dan perlakuannya terhadap Luna. Dari mulai laki-laki yang pertama kali datang menghampiri Luna, hingga yang terakhir kali datang. “Luna, tomboy-tomboy gitu ternyata banyak yang suka ya? Udah mana yang nyamperin pada oke-oke lagi. Pada punya kelebihan masing-masing. Ada yang good looking, ada yang romantis, dan yang ini, meski penampilannya agak culun tapi keliatannya dia smart,” celetuk Ana di sela-sela waktu pengamatan mereka. “Ana.. nggak boleh gitu tau. Kan rasa suka itu nggak mandang. Tulus. Harusnya yaa. Karena masih banyak juga sih yang mandang fisik, harta, dan lain-lain. Tapi bagusnya ya itu. Tulus. Nggak peduli warna kulit dia apa, gemuk atau kurus, kaya atau miskin. Jadi ya, semoga laki-laki yang ngakunya ini suka sama Luna, mereka betul-betul tulus atas perasaannya,” ucap Clarissa memberikan pendapatnya. “Iya juga sih. Ya semoga aja ya, mereka-mereka ini orang-orang yang tulus suka sama Luna. Yang bukannya datang hanya untuk main-main doang. Tapi betul juga sih apa kata kamu barusan. Apalagi zaman sekarang. Sebagian lebih milih pasangan yang banyak hartanya. Jelek nggak apa-apa katanya. Yang penting uangnya banyak. Padahal menurut aku, menjadikan harta sebagai patokan utama dalam memilih pasangan nggak menjamin hidup kita selalu bahagia. Ya walaupun memang benar sih, kalau ada uang semuanya bisa jadi mudah.” “Ya begitulah. Baiknya sih kalau kata ustadz-ustadzah yang sering aku datengin kalau mereka ngadain kajian. Kalau kita suka sama orang, sayang sama orang, dan cinta sama orang. Suka, sayang, dan cintailah ia karena Allah. Bukan hanya karena parasnya yang menawan dan rupawan saja. Karena kalau hanya itu yang menjadi patokan, ketika orang yang kita suka, sayang, dan cinta, sudah tak lagi berparas menawan dan rupawan, perasaan suka, sayang, dan cinta kita ke pasangan akan berubah dong. Akan hilang. Begitu pun harta. Kalau harta yang pasangan kita miliki tiba-tiba Allah ambil, rasa suka, sayang, dan cinta kita ke pasangan juga akan hilang dong. Begitu pun jabatan, dan yang lainnya. Karena nggak ada yang kekal. Nggak ada yang abadi. Yang ganteng dan cantik, ada masanya nanti ia akan tua dan berkeriput. Yang punya harta banyak, bukan jaminan hartanya akan selalu stabil hingga bertahun-tahun ke depan.” “Aku setuju banget sih, Sa, sama kamu. Kalau menurut aku, berdasarkan dari hasil pengamatanku selama ini yaa. Tapi kalau menurut kamu pendapatku ini salah nggak papa. Koreksi aja. Kita ambil contoh harta. Nggak sedikit orang yang hidupnya sederhana, lebih tenang dari pada orang yang hidupnya berkelimang harta. Ya walaupun tergantung orangnya sih. Cuma ya banyak juga sih yang kayak gitu.” “Yaps. Semuanya bukan jaminan. Nyatanya kebahagiaan dan ketenangan, dua hal yang idam-idamkan semua orang itu kalau menurut aku tergantung dari bagaimana penerimaan kita. Tentang paras dan rupa misalnya. Kalau kita bersyukur dengan apa yang sudah Allah berikan kepada kita. Baik cantik atau pun biasa-biasa aja, Mancung atau pun pesek. Gemuk atau pun kurus. p****g, kuning langsat, sawo matang, atau pun hitam manis. Kita syukuri dengan penuh kelapangan hati, maka in syaa Allah kita akan bahagia. Harta. Kalau kita bersyukur dengan apa yang sudah Allah berikan kepada kita. Besar atau pun kecil, yang penting halal. In syaa Allah, kita pun akan tenang dan bahagia. Karena apa? Allah berfirman dalam al qur’an, (jika kalian bersyukur maka akan Aku tambah nikmat-Ku. Dan jika kalian kufur atau ingkar atas nikmat-Ku, maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.) Jadi intinya, justru dengan kita bersyukur, maka Allah akan menambah nikmatnya kepada kita. Hidup akan lebih tenang, bahagia, dan penuh berkah.” “Maa syaa Allah. Semoga kita termasuk hamba-hamba Allah yang selalu bersyukur yaa. Dan soal pasangan hidup, jodoh kita nanti.. kita serahkan semunya kepada Allah, yang Maha Mengetahui siapa yang terbaik untuk tiap-tiap hamba-Nya. Kalau kata kamu dulu, tugas kita adalah terus memperbaiki diri. Karena sejatinya jodoh adalah cerminan diri.” “Hehe. Kamu masih inget aja ternyata. Oh ya, ngomong-ngomong soal pasangan, kok sekarang ada Leo sih? Dia muncul dari mana? Dan ngapain ganggu-ganggu mereka?” ucap heran Clarissa, seraya terus memandangi mereka dari tempat persembunyiannya dengan Ana. Saking asyiknya ia mengobrol dengan Ana, keduanya jadi tak terlalu memerhatikan bagaimana situasi di depan sana.” “Oh iya. Jadi kelupaan kalau aslinya kita di sini untuk mantau Luna. Tapi kok mereka kayak yang nggak lagi ngobrol biasa sih? Si Leo mukanya kayak yang kesel gitu, terus si laki-laki yang berpenampilan culun itu juga kayaknya sekarang berubah tingkahnya. Kayak yang lagi nantangin Leo nggak sih? Atau aku yang salah kira ya? Ini mereka pada kenapa sih?” Ana pun sama. Ia juga terlihat kebingungan saat ini. “Iya, ya? Dan sekarang, itu kenapa si laki-laki yang berpenampilan culun itu pergi dengan raut wajah yang sepertinya sedang sedih? Mereka habis berantem atau gimana sih?” “Oh my god, Clarissa! Itu si Leo narik kertasnya dari punggung Luna. Dan sekarang Luna udah baca isi kertas itu. Kita kayaknya game over sekarang deh. Luna bakal marah nih kayaknya. Padahal kita belum dapet banyak. Baru dapet tiga kandidat. Gimana dong?” “Ya mau gimana lagi. Misi pertama selesai berarti.” “Iya, ya? Tapi aku nggak yakin sih sama tiga kandidat yang tadi. Kamu ada cara lain nggak, Sa? Buat bantu Tante Ratu selain yang ini?” Setuju dengan pendapat Ana barusan, Clarissa pun mulai berpikir untuk mencari cara lain. Dan akhirnya, “Aha! Aku ada ide nih. Tapi nggak tau juga ya bakal berhasil atau nggak.” “Apa, apa?” tanya Ana penasaran dan dengan penuh keantusiasan. “Gimana kalau kita minta tolong ke ustadz? Atau ustadzah? Terus nanti prosesnya ta’aruf gitu?” “Gimana ya. Kalau menurut aku, itu ide yang bagus sih. Tapi masalahnya bukan Luna yang pengen cari pasangan. Tapi Tante Ratu yang pengen Luna segera punya pasangan. Prosesnya nanti bakal susah. Beda cerita kalau dari Luna sendirinya juga udah pengen punya pasangan. Itu mah tinggal gas aja.” Pada akhirnya Clarissa pun menganggukkan kepalanya juga. Setuju dengan apa yang baru saja Ana utarakan. Karena kasus Luna ini memang beda. “Iya juga sih.” Drttt.. drrttt.. Bunyi getar notifikasi yang berasal dari ponsel Ana, membuat Ana dengan segera membuka ponselnya. Dan ternyata ada panggilan masuk dari seseorang yang sekarang sedang ia hindari. “Si Luna nelpon lagi. Gimana nih, Sa?” tanya Ana bingung seraya memperlihatkan ponselnya ke arah Clarissa. “Ya udah angkat aja.” “Beneran nih angkat aja? Kalau dia marah gimana?” tanya Ana yang mulai panik. “Kan kamu sendiri yang bilang. Luna kalau pun marah sama kita, nggak akan lama. Ya udah mau gimana lagi? Angkat aja. Kita nggak mungkin terus-terusan menghindar juga.” “Ya udah deh aku angkat.” Dan Ana pun mulai bersiap-siap. Setelah ia mencoba untuk menenangkan diri dengan menarik napas panjang, kemudian mengembuskannya perlahan, Ana mengangkat panggilan Luna. “Assalamu’alakum. Iya, Lun, ada apa?” (Wa’alaikumussalam. Kalian lagi pada di mana? Bentar lagi dosen masuk lho. Pada mau bolos?) Mendengar ucapan Luna, yang ternyata berucap di luar ekspektasinya. Ana langsung kembali melihat nama si penelpon. Memastikan siapa sebenarnya orang yang menelponnya ini. “Lho? Ini bener kok Luna sahabat aku. Bukan Luna yang lain. Tapi kok dia kayak yang biasa aja ya? Atau dia masih belum tau kalau yang ngerjain dia barusan itu aku sama Clarissa? Tapi masa sih masih belum tau,” ucapnya bingung dalam hati. (“Na? Kok diem aja sih. Kalian pada mau masuk kuliah kan? Atau urusan penting kalian masih belum selesai?”) “Eehh, maaf, maaf. Iya, Lun. Kita masuk kuliah kok. Ini lagi otw sama Clarissa. Palingan bentar lagi juga nyampe.” (“Oh, oke-oke. Ya udah, see you yaa!”) “See you!” Selesai memutuskan sambungan teleponnya dengan Luna, Ana langsung menatap Clarissa dengan tatapan tak menyangkannya. “Sa.. kamu tau nggak? Luna tadi nggak ada marah-marahnya lho pas teleponan sama aku. Kira-kira kenapa ya? Aneh banget deh!” “Kamu nggak dimarahin bukannya seneng. Bersyukur. Kok justru kayak yang berharap dimarahin sama dia. Kamu yang aneh!” “Bukan gitu. Tapi coba deh kamu pikir. Pertama, dia merasa ada yang aneh dengan hari ini. Dengan hadirnya mereka yang secara tiba-tiba nyamperin terus ngegombalin dia. Kedua, dia akhirnya tau apa penyebabnya. Setelah diberi tau oleh Leo kalau ada kertas yang bertuliskan kata-kata aneh, yang dengan sengaja ditempelkan di belakang punggungnya. Ketiga, keanehan yang terjadi tadi kalau dia berhasil runut, berasal sejak ia keluar dari kantin. Yang itu artinya setelah bareng sama kita. Ditambah lagi kita yang seperti orang yang mencurigakan. Tiba-tiba nyuruh dia jalan duluan dengan alasan kita ada urusan penting. Ditawarin buat ditemenin, ditungguin, nggak mau. Padahal biasanya kita suka saling tunggu-tungguan. Masa sih dia nggak sadar kalau yang ngerjain dia itu kita? Masa sih dia nggak curiga? Kan aneh banget!” ucap Ana yang berusaha menjelaskan secara detail. “Iya juga sih. Tapi kan Luna emang kadang suka aneh. Pertama, bisa jadi dia nggak peka. Jadinya ya nggak curiga sama kita. Kedua, mungkin dia lagi ngerencanain sesuatu.” “Ngerencanain sesuatu? Misalnya?” “Mungkin dia mau balik ngerjain kita. Ah nggak tau lah! Lagian nggak boleh suudzhon jadi orang! Mungkin aja jawabannya yang pertama tadi. Dia emang nggak sadar kalau itu kelakuan kita. Dia nggak curiga sama kita. Udah ah. Yuk langsung ke kelas. Kalau telat bisa-bisa kita nggak dibolehin masuk lho.” Dan keduanya pun tanpa ingin menunda-nunda lagi langsung melangkahkan kaki mereka menuju ruang kelas yang dituju. Dengan gerak cepat, dan dengan langkah lebar. Mengingat jam kuliah yang akan mereka hadiri sudah akan di mulai sekitar tiga menitan lagi. “Hhhhh, hhhhh. Akhhirnyah kitha samphai jugha. Aduh.. capek banget aku! Hhhhhh,” keluh Ana seraya mulai bersandar di dekat pintu masuk. Berusaha untuk mengontrol deru napasnya yang masih kejar-kejaran. “Iya nih. Astaghfirullah. Capek banget ternyata!” ucap Clarissa yang setuju dengan apa yang baru saja Ana katakan. “Ya udah yuk masuk. Siapa tau dosen udah di dalem,” lanjutnya dan keduanya pun mulai melangkah masuk setelah Ana mengetuk pintu sebanyak tiga kali, kemudian mendorongnya dengan pelan. Dan... “Lho? Kok kosong sih? Anak-anak pada ke mana?” ucap heran Clarissa seraya mulai mengedarkan pandangan matanya ke segala arah. “Sa.. liat deh tulisan yang ada di papan tulis! Kok si Luna nggak ngabarin kita sejak tadi sih?” Tertulis di sana, (KEGIATAN BELAJAR MENGAJAR DI KELAS INI, DIPINDAH KE LANTAI ATAS. RUANGAN NO 10) “Yah, Luna.. kok tega sih nggak ngabarin kita sejak awal. Masa kita harus lari-larian lagi ke lantas atas sih? Mana ruangan nomor sepuluh tempatnya di ujung lagi. Bisa gempor ini kaki.” Clarissa menatap papan tulis itu dengan tatapan nelangsanya. “Iya, yah. Mungkin dadakan kali. Makanya nggak sempet ngabarin kita. Ya udah yuk? Kita lari cepet kayak tadi. Ini udah telat beberapa menit soalnya. Makin lama kita di sini, makin telat kita nyampe sana. Bisa-bisa udah nggak dibolehin masuk lagi. Kan nyesek banget udah berjuang sampai lari-lari ujung-ujungnya nggak dibolehin masuk.” “Semoga masih bisa masuk! Ayo semangat! Satu, dua, tiga.” Dan tepat di hitungan ketiga, keduanya pun mulai berlari secepat yang mereka bisa agar bisa segera sampai di ruangan yang dituju. Beberapa menit berlalu, dan.. “Akhirnya sampai juga. Yuk langsung masuk. Nggak papa deh masih ngos-ngosan. Siapa tau Pak dosen yang awalnya bakal marah jadi kasihan setelah liat perjuangan kita,” ucap Ana memberi ide sesampainya mereka berdua di rungan yang dituju. “Ayok dah!” Namun sesampainya mereka di dalam ruangan, ada yang lebih membuat keduanya sakit hati dibandingkan ucapan marahnya sang dosen. Yaitu ruang kelas yang juga sama kosongnya seperti apa yang terjadi tadi. “Astaghfirullah.. ini gimana sih maksudnya? Kok di sini nggak ada orang juga? Jangan-jangan kita salah masuk rungan lagi, Na.” “Masa sih? perasaan bener deh. Kan letaknya paling ujung. Iya kok bener. Itu ada tulisannya. Ruangan nomor 10.” “Terus anak-anak pada ke mana kalau gitu?” “Bentar. Aku coba cek grup deh. Siapa tau ada info.” Dan yang Ana lakukan, setelah ia selesai membaca informasi terbaru di grup, gadis cantik itu langsung menjatuhkan dirinya di lantai. Dan terduduk dengan lunglai. “Kamu kenapa, Na?” tanya Clarissa heran setelah melihat bagaimana tingkah aneh Ana tadi. “Aslinya libur! Nggak ada itu yang namanya pindah ruangan! Sebel banget deh. Ini pasti kerjaan Luna nih. Tapi kita juga salah besar di sini. Kalau aja pas tadi di bawah, kita cek grup dulu buat mastiin kebenarannya. Rencana Luna juga nggak akan berhasil. Ahhhh! Kesel banget asli. Ini badan rasanya capek banget dari tadi lari-lari super kilat. Taunya kita lagi dikerjain lagi. Apa ini yang namanya karma yang dibalas instant ya, Sa?” “Ya ampun. Luna berdosa banget! Tapi kita juga salah besar ya? Ya udah lah, Na. Mau gimana lagi. Ambil hikmahnya aja. Kita jadinya olahraga kan? Ini keringet kayaknya udah banjir, wkwk. Dan apa yang terjadi sama kita ini, ya karena kita terlalu ceroboh. Betul kata kamu. Kalau aja kita cek grup dulu, ya nggak akan secapek ini. Tapi ya udah lah. Mau langsung pulang atau gimana nih sekarang?” “Ya kali, Sa! Kamu yang bener aja! Aku nggak sanggup!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN