Part 9

2058 Kata
Ternyata tak hanya berhenti di situ. Keanehan terus berlanjut bahkan di saat ia sudah mulai memasuki gedung fakultasnya. Tiba-tiba ada seorang laki-laki berpenampilan rapi, namun tampak culun. Dengan kemeja kuning kotak-kotak yang dimasukkan ke dalam celana bahan berwarna hitamnya. Dan jangan lupakan sabuk hitam yang melingkar di pinggangnya, kaca mata besar yang ia kenakan, juga rambut yang dibelah dua. Melihat laki-laki berpenampilan culun itu tiba-tiba berjalan cepat melewatinya, kemudian berdiri di hadapannya dan menghadang jalannya, Luna mengernyitkan kening heran. “Ini dia lagi ngapain sih? Lagi mau cari gara-gara sama aku atau lagi ngapain?” “Iya? Ada apa?” Ana bertanya seraya menatap laki-laki berpenampilan culun itu dengan tatapan herannya. Bukannya menjawab pertanyaan yang Luna lontarkan, laki-laki berpenampilan culun itu justru menggeleng-gelengkan kepalanya beberapa kali seraya menundukkan kepalanya ke bawah. “Kalau nggak ada apa-apa, tolong minggir yaa. Aku mau lewat. Sebentar lagi jam kuliahku dimulai,” ucap Luna yang kali ini entah kenapa nada bicaranya terdengar berbeda dari pada biasanya yang lebih terdengar dingin dan datar apabila berhadapan dengan laki-laki. Mungkin karena pembawaan laki-laki berpenampilan culun di depannya yang seperti sedang ketakutan yang membuatnya kini menjadi kasihan. Lagi, laki-laki yang berada di hadapan Luna menjawabnya hanya dengan gelengan kepala. Membuat kesabaran Luna lama kelamaan mulai terkikis karena merasa bingung juga ia harus berbuat apa. “Ya udah kalau gitu aku aja yang minggir,” ucap Luna pada akhirnya, kemudian berniat untuk langsung pergi melewati laki-laki berpenampilan culun itu dengan memilih celah samping kanan atau kirinya laki-laki itu. Mengingat sebenarnya lorong itu cukup lebar dan cukup untuk dilewati lebih dari dua orang. “Tu—tunggu, tu—tunggu sebentar. A—aku, a—aku ma—mau bicara sama kamu.” Akhirnya laki-laki berpenampilan culun itu pun mengeluarkan suaranya. Menghentikkan gerak langkah Luna yang sudah bersiap untuk melewatinya. Luna menghela napas kasar mengetahui laki-laki itu kembali menahannya untuk pergi. “Mau ngomong apa?” tanyanya to the point. “Lu—Luna, ka—kamu i—tu ibarat u—upah yang selalu aku tu—tunggu-tunggu kehadirannya. ka—kamu i—tu ibarat caha—cahaya matahari yang se—selalu berhasil membuat aku silau ji—jika terlalu lama menatapnya. ka—kamu i—tu adalah do—doa yang selalu aku se—semogakan setiap harinya. Mmmm, mau—maukah ka—kamu ja—jadi—?” Kemudian hening selama beberapa detik, dengan laki-laki itu yang semakin menundukkan kepalanya, entah karena malu atau apa, yang tentu saja membuat Luna semakin tak mengerti dan merasa bingung. Dan tentu saja merasa tak nyaman. (Luna, kamu itu ibarat upah yang selalu aku tunggu-tunggu kehadirannya. Kamu itu ibarat cahaya matahari yang selalu berhasil membuat aku silau jika terlalu lama menatapnya. Kamu itu adalah doa yang selalu aku semogakan setiap harinya. Mmmm, maukah kamu jadi—?) “Jadi? Jadi apa?” “Ja—jadi—“ Laki-laki itu kembali diam dan menundukkan kepalanya. Membuat Luna semakin gemas dan geregetan saat menanggapinya. Tentunya bukan gemas dan geregetan karena suka yang Luna maksud. Namun dalam arti lain seperti kesal dan yang sejenisnya. “Jadi orang yang ngasih kamu upah? Kamu minta pekerjaan dari aku? Kalau iya maaf ya. Aku nggak bisa. Aku nggak butuh asisten dan yang lainnya. Aku masih bisa ngelakuin semuanya sendiri,” ucap Luna yang asal menebak, berdasarkan apa yang diucapkan laki-laki berpenampilan culun itu di awal, kemudian diakhiri dengan ia yang meminta maaf karena tak bisa memenuhi permintaannya. Kalau memang tebakan Luna tadi adalah benar, laki-laki berpenampilan culun itu menghadang jalannya dengan tujuan untuk meminta pekerjaan darinya. “Bu—bukan itu ma—maksudnya,” jawab laki-laki itu seraya menggeleng-gelengkan kepalanya pelan. Dan jangan lupakan, dengan masih menundukkan wajahnya ke bawah. “Terus apa kalau bukan itu? Kamu minta solusi supaya nggak silau kalau liat sinar matahari lama-lama? Kalau iya coba deh. Kaca matanya ditambah lensa photocromic. Tinggal datang ke optik aja. Setelahnya nanti kamu kalau di luar ruangan, terlebih ada cahaya, lensanya akan menggelap. Jadi kayaknya nggak akan silau deh. Itu sih yang aku tau.” Luna kembali menebak, kemudian langsung memberikan solusinya. Laki-laki berpenampilan culun itu kembali menggeleng-gelengkan kepalanya. Membuat Luna sudah tak tahu lagi ia harus seperti apa. “Bu—bukan itu ju—juga ma—maksud aku.” “Terus apa dong? To the point aja ya? Aku lagi buru-buru banget soalnya. Bentar lagi jam kuliah aku dimulai.” Sebenarnya Luna bisa saja bersikap masa bodo kemudian langsung pergi dari hadapan laki-laki itu. Tapi entah kenapa, setelah melihat, mendengar, dan memerhatikan laki-laki itu sejak awal, ada rasa kasihan yang menahannya untuk tetap menanggapi laki-laki itu. Meski dengan begitu, konsekuensinya ia harus kuat dalam mengendalikan level kesabarannya,serta mood-nya agar tetap berada dalam tahap aman. Kan bisa bahaya kalau Luna tiba-tiba bertindak gegabah, seperti menjadikan laki-laki berpenampilan culun itu sebagai samsaknya, atau yang paling buruk membuatnya menjadi perkedel. “Ka—kamu, ma—mau nggak ja—jadi pa—pacar aku?” Laki-laki berpenampilan culun itu akhirnya bisa bernapas lega setelah berhasil menyampaikan maksud dan tujuannya menghadang jalan Luna beberapa saat lalu. Luna yang memang tak peka sejak awal dengan kata-kata manis laki-laki itu, kini memasang tampang bengong setelah berhasil mencerna inti ucapan laki-laki itu. “Kamu mau nggak jadi pacar aku? Serius dia nembak aku?” ucap Luna dalam hati yang langsung mencubit salah satu pipinya setelah itu. Untuk memastikan sesuatu. “Awww!” teriaknya saat merasakan sakit di pipi yang baru saja ia cubit. “Ke—kenapa?” tanya laki-laki culun itu sarat akan kekhawatiran. “Oh my god! Ternyata ini bukan mimpi? Ini nyata? Tapi kenapa dari tadi aku ketemu sama orang-orang yang aneh ya? Selain aku nggak kenal mereka siapa, apa yang mereka ucapkan juga kedengarannya sangat aneh. Ada yang menunggu jawaban aku secepatnya, nyapa aku dengan sebutan calon pacarnya, dan ini.. laki-laki ini ceritanya lagi nembak aku? Pada kenapa sih? Heran banget deh! Aku diginiin bukannya seneng malah jadi ngerasa horor!” ucap Luna kembali dalam hati. “Ekhem! Dia nggak papa. Kamu pergi aja sana. Tadi udah denger kan? Kalau dia sebentar lagi ada kelas?” Entah muncul dari mana, di saat fokus Luna sudah kembali full, sosok Leo sudah berada di sampingnya. Dan kini terdengar seperti sedang mengusir laki-laki berpenampilan culun itu dari hadapan mereka. “Kamu siapa? Aku nggak ada urusan sama kamu. Aku akan tetap di sini, sampai setidaknya Lu—Luna mau memberi kepastian akan jawabannya,” ucap laki-laki berpenampilan culun itu yang merasa sangat keberatan diusir begitu saja oleh Leo, laki-laki yang sama sekali tidak ia kenal, dan seakan ikut campur dengan obrolannya dengan Luna. Luna yang awalnya sudah kembali fokus, kembali terbengong-bengong setelah mendengar laki-laki yang sejak tadi menghadang jalannya, kini bisa berbicara lancar dan tampak berani. Berbeda dengan tingkah lakunya beberapa saat lalu, yang tampak pemalu bahkan berbicara pun tergagap-gagap. Leo, ditanya seperti itu, ia langsung menerbitkan senyuman kecilnya. “Perkenalkan. Aku Leo. Leo Argantara. Salah satu cogan terfavorit di kampus ini.” ucapnya penuh bangga. “Cogan? Senyawa kimia baru ya? Kok aku baru tau sih. Kan kalau CO itu karbon monoksida, kalau cogan itu apa?” tanya laki-laki berpenampilan culun itu penasaran, yang langsung disambut derai tawa oleh Luna. Berbeda dengan Leo yang kini sedang menggaruk rambutnya yang padahal aslinya tidak merasa gatal. “Aku lupa kalau tipe laki-laki kayak dia doyannya nongkrong di perpustakaan. Hobinya baca buku. Cogan aja dia ngiranya senyawa kimia. Salah ngomong aku!” celoteh Leo dalam hati. “Cogan itu bahasa gaul. Singkatan dari cowok ganteng! Udah ya, sekarang kamu pergi dari sini. Aku ada urusan penting sama Luna.” Leo pada akhirnya menjelaskan arti dari kata itu, yang diakhiri dengan tindak pengusiran. “Oh nggak bisa. Kamu siapanya Luna sampai berani sekali ngusir aku dari sini? Aku kan sudah bilang tadi, aku akan pergi setidaknya setelah mendengar kepastian dari Luna. Tentang jawabannya.” Laki-laki berpenampilan culun itu bersikukuh untuk tetap tak ingin pergi dari hadapan Luna. “Laki-laki ini berani juga ya ternyata? Tapi benar juga apa yang barusan dia bilang. Aku ini siapanya Luna sampai berani sekali ngusir dia?” tanya Leo dalam hati, yang lebih ditujukkan untuk dirinya sendiri. “Aku ini.. Aku ini pacarnya Luna! Iya, aku ini pacarnya. Sekarang kamu bisa pergi kan dari sini? Dari pada buang-buang waktu di sini, aku saranin lebih baik baca buku deh di perpustakaan. Aku jamin waktu kamu akan lebih produktif kalau kamu habisin di sana,” jawab Leo, yang tentu saja berhasil membuat kedua orang yang berada di dekatnya terlonjak kaget. Pacarnya dia bilang? “Pacar apanya? Orang dia sekarang lagi cari pacar!” Laki-laki berpenampilan culun itu masih tak mau kalau. Ditambah lagi ia tak terima saat mendengar Leo, mengaku sebagai pacarnya Luna. “Kamu nggak percayaan banget sih! Udah sana minggat! Sebelum kamu dijadiin perkedel sama dia karena udah berani menyia-nyiakan waktu berharganya.” “Ta—tapi be—beneran, di—dia itu pa—pacar ka—kamu, Lun?” Masih tak ingin menyerah, si laki-laki berpenampilan culun itu pun menanyakannya secara langsung kepada Luna, bermaksud untuk mencari tahu bagaimana kebenarannya. Mengetahui bagaimana keras kepalanya seseorang yang berada di hadapannya, Leo pun dengan segera membisikkan sesuatu di telinga Luna. “Udah iyain aja! Kalau nggak, atau bahkan kamu bilang tidak, percaya deh sama aku! Dia nggak bakalan pergi dari sini. Dia akan terus ngehadang kamu. Katanya kamu udah harus masuk kelas sebentar lagi?” Tak punya pilihan lain, meski jauh di lubuk hatinya ia enggan untuk berkata iya. Tapi mau bagaimana lagi? Apa yang diucapkan Leo barusan ada benarnya juga. Bisa-bisa ia akan ketinggalan kelas lagi jika masih berurusan dengan laki-laki berpenampilan culun itu, di tempat ini. “Iya,” ucap Luna dengan berusaha terlihat dan terdengar meyakinkan. Dengan tujuan agar laki-laki berpenampilan culun itu percaya, dan mau pergi dari tempat itu. “Yah, ya—ya udah deh. Ka—kalau gitu aku pe—permisi. A—aku do—doakan, se—semoga hu—hubungan ka—kamu deng—dengan laki-laki sok keg—kegantengan ini ng—nggak lang—langgeng. Bye,” ucap laki-laki berpenampilan culun itu dengan nada kecewa dan sarat akan kesedihan. Dan dengan wajah yang tertunduk dalam, ia pun pamit dan segera pergi dari hadapan Luna dan Leo. “Itu orang kok doain tuh yang jelek-jelek!” komentar Leo setelah melihat laki-laki berpenampilan culun itu pergi meninggalkannya dengan Luna. “Makasih!” ucap Luna pada Leo setelah mereka kini hanya tinggal berdua. “Ngomong makasihnya datar banget, Lun. Yang ikhlas napa!” Luna membuang napas kasar setelah mendengar permintaan itu. “Justru ikhlasnya aku ngomongnya kayak gitu ke kamu. Kalau ngomongnya harusnya selain itu, itu baru yang namanya nggak ikhlas. Karena terpaksa! Oh ya, kok kamu bisa ada di sini sih? Ini kan fakultas ekonomi.” “Ya suka-suka aku mau ada di mana. Di fakultas ekonomi kek. Kedokteran kek. Nggak ada larangannya kan?” ucap Leo yang berhasil membuat Luna terdiam. Karena memang tidak ada larangan untuk mahasiswa lain, berada di fakultas selain fakultas pilihannya. Mengetahui keterdiaman Luna, Leo pun kembali melanjutkan pertanyaannya. “oh ya, kamu kurang kerjaan banget sih. Cari pacar pake cara aneh begitu. Kalau memang lagi pengen pacaran, khususnya sama orang yang romantis, pinter gombal, tinggal bilang aja kek sama aku. Aku bersedia kok. Maju nomor satu malah! Kamu kan tau betul, kalau soal menggombal, akulah juaranya!” “Aku nggak lagi cari pacar kok. Aku juga nggak laki ngelakuin hal aneh seperti apa yang kamu tuduhkan. Jangan sembarangan kalau nuduh orang!” Leo terlihat bingung setelah mendengar jawaban Luna. Nggak lagi cari pacar apanya? “Hmm, terus ini maksudnya apa? Kertas ini..” Leo menarik secara paksa kertas yang menempel di punggung Luna. Kemudian memperlihatkannya ke hadapan Luna. Dan tentu saja, apa yang baru saja dilihatnya, berhasil membuat Luna syok luar biasa. Bagaimana tidak? Tertulis di sana, (NAMAKU LUNA. AKU SEDANG MENCARI PACAR. WILL YOU? JIKA IYA, KELUARKAN KATA-KATA MANISMU! GOMBALAN ANDALANMU!) “Iuh! Kerjaan siapa ini? Geli banget aku bacanya! Ohhh, aku tau! Ini pasti kerjaannya Ana dan Clarissa! Di mana mereka berdua?” Awalnya tak terbersit sekali pun nama kedua sahabatnya itu. Namun setelah Luna, mengingat bagaimana mencurigakannya tingkah Ana dan Clarissa sedari tadi, seratus persen ia yakin kalau dalang dari kejadian aneh yang menimpanya sekarang-sekarang ini, adalah kedua sahabat terdekatnya itu. Ana dan Clarissa.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN