Part 35

1857 Kata
Luna sampai di rumahnya tepat pukul tujuh malam. Seharian penuh ia habiskan waktunya bersama kedua sahabatnya di luar rumah. Merasa lelah, setelah memarkirkan mobilnya di garasi Luna langsung membuka pintu rumahnya dengan tak sabaran. Gadis tomboy yang kini penampilannya sudah tak terdefinisikan lagi saking berantakannya, menautkan kedua alisnya heran saat dirasa suasana rumah begitu sepi. Semakin melangkahkan kakinya ke dalam, namun tetap saja ia tak menemukan satu orang pun di sana. Menyebutkan nama sang Mama dan sang Adik dengan sedikit berteriak, namun tak ada seorang pun yang menyahutinya. Ke mana mereka? Melongokan wajahnya ke ruang keluarga, tempat biasanya sang Mama bersantai ria seraya menonton sinetron favoritnya di televisi, ia juga tak menemukan keberadaannya. Melangkahkan kaki ke halaman belakang rumah hingga ruang makan, ia pun tak menemukan keberadaan sang Mama mau pun sang Adik. Mengetahui keanehan itu, Luna pun bertanya - tanya dalam benaknya. Sang Mama dan sang Adik, sedang di mana mereka saat ini? “Si Angga sama Mama pada ke mana sih? Tumben - tumbenan pergi ke luar rumah jam segini tapi belum ngasih kabar. Apa mungkin udah pada di kamar ya? Tapi ah masa iya? Baru juga jam tujuh malam,” ucap Luna heran yang kini tengah menyenderkan tubuhnya ke punggung sofa yang berada di ruang tengah. Seraya mengembuskan napas panjangnya berulang kali, Luna mengotak - atik ponsel pintarnya. Mengecek aplikasi pesan masuknya baik sms mau pun w******p, juga riwayat panggilan masuk baik yang terjawab mau pun yang tidak terjawab. Namun tetap saja ia tak menemukan yang ia cari. “Nggak ada pesan masuk dari keduanya juga kok. Panggilan telepon juga nggak ada. Mereka berdua ini pada ke mana sih? Bikin aku khawatir aja. Padahal aku udah ngebela - belain buat nggak ikut makan bareng Ana dan Clarissa supaya bisa makan bareng di rumah. Eh taunya mereka pada nggak ada di rumah,” ucap kesal Luna yang diakhiri dengan hembusan napas kasarnya. Merasa tenggorokannya kering, Luna yang sudah merasa nyaman dengan posisinya saat ini, yaitu menyenderkan tubuhnya ke punggung sofa, dengan sangat berat hati menggerakkan tubuhnya untuk bangkit lalu melangkah menuju dapur untuk mengambil minum. “Ahhh. Segarnya!” ucapnya senang setelah berhasil meneguk sebotol air mineral berukuran sedang hingga tandas tak bersisa. “Eh, ada Non Luna. Baru pulang, Non?” sapa seseorang dari arah belakang Luna. “Astaghfirullah. Bibi.. Bibi ngagetin Luna aja.” Luna yang pada saat itu memutuskan untuk langsung berbalik dan meninggalkan area dapur, merasa terkejut saat didengarnya suara sapaan dari arah belakang tubuhnya. Pasalnya sedari tadi ia merasa seorang diri di dalam ruangan itu. Membuatnya kembali membalikkan badan dengan salah satu tangan mengusap dadanya karena kaget. “Hehe, maaf Non. Bibi nggak sengaja. Tadi pas Bibi lagi nyuci baju terus denger suara Non, Bibi langsung buru - buru ke sini buat menyambut Non. Eh taunya Bibi malah bikin Non Luna kaget hehe,” ucap seorang wanita paruh baya, yang merupakan asisten rumah tangga di rumah ini dengan nada suara dan tatapan tak enak hati. “Iya Bi, nggak papa. Sekarang kagetnya udah ilang juga kok hehe. Oh ya, ngomong - ngomong Mama dan Angga ke mana ya? Kok dari Luna nyampe rumah sampe sekarang belum liat keberadaan mereka.” Luna akhirnya bisa bernapas lega saat ART-nya muncul menemuinya. Karena dengan begitu ia bisa tahu ke mana perginya dua orang kesayangannya yang entah kenapa mendadak hilang kabar itu. “Oh, Ibu Ratu dan Den Angga ya, Non. Tadi sih Ibu bilang ke saya kalau mereka mau pergi menghadiri acara keluarga di rumah Ibu Ina. Non Luna diminta menyusul kata beliau. Kalau bisa sih sebelum jam tujuh supaya bisa ikut acara makan malamnya. Ehhh sekarang udah jam segini aja ya ternyata? Wahh, Non! Kalau begitu ayo Non siap - siap sekarang. Terus langsung menyusul ke sana aja kalau begitu,” ucap Bi Inah, nama asisten rumah tangga itu yang awalnya terdengar tenang. Namun berubah panik saat pandangan matanya menatap ke arah jam dinding. Sudah hampir menuju jam delapan malam, yang itu artinya Luna akan sampai di sana dengan sangat terlambat. “Males ah, Bi. Udah telat banget kalau sekarang. Malu ah,” ucap Luna menolak, yang secara refleks ikut mengalihkan pandangan matanya ke arah jam dinding. “Nggak papa, Non. Non Luna berangkat aja ke sana sekarang. Kata Ibu acaranya sampe malem kok. Jadi telat satu jam an lebih mah nggak papa Non, santai aja hehe. Bibi nggak bermaksud untuk maksa, tapi kalau Non nggak ke sana nanti dikiranya Bibi lupa lagi nyampein pesannya ke Non. Nanti Bibi yang kena omel Ibu,” bujuk Bi Inah agar Luna mau datang sesuai dengan yang diperintahkan majikannya, Ibu Ratu. Luna menghela napas panjang setelah mendengar bujukan itu. Sebenarnya ia tak masalah kalau harus datang terlambat, mengingat ia yang sering bertindak masa bodoh akan sesuatu. Tak merasa malu dan yang lain sebagainya. Tapi yang membuatnya enggan adalah keinginannya saat ini. Ia lebih menginginkan untuk langsung membersihkan diri kemudian tidur dibandingkan harus repot - repot menyiapkan diri, yang tentunya harus lebih memerhatikan penampilannya demi menjaga image sang Mama di hadapan keluarganya. Belum lagi ia harus kembali mengendarai mobilnya dan berkendara sekitar tiga puluh menitan untuk bisa sampai di sana, dan katanya acara itu dilaksanakan hingga malam hari. Keinginannya untuk tidur rasanya pilihan yang tepat, bukan? “Mama bilang nggak Bi acara kelurganya apa? Kok sampe malem segala sih.” “Mmm, tadi sih Ibu sempet ngobrolin soal ini waktu maksa Den Angga buat ikut. Katanya mereka di sana mau membahas soal persiapan nikahannya anak Ibu Ina. Jadi wajar aja sih kayaknya kalau lama. Non jadinya berangkat ke sana kan?” ucap Bi Inah yang diakhiri dengan memerlihatkan wajah memohonnya saat melontarkan kalimat tanya di akhir ucapannya. Luna memelototkan kedua matanya terkejut. “Apalagi kalau bahasannya soal nikah? Jelas aku makin nggak mau dateng lah. Yang ada kalau aku tetep maksain buat dateng, aku bakal diberondong pertanyaan kapan nikah, kapan nyusul, selama di sana. Udah mana aku termasuk yang paling gede usianya lagi dibanding para sepupu yang lain. Bisa abis kalau aku betul - betul dateng ke sana. Mereka kan rata - rata suka jail. Kalau manas - manasin Mama buat ngelakuin yang enggak - enggak kayak perjodohan, gimana? Fix deh mendingan aku jangan ke sana,” ucap Luna dalam hati, memikirkan segala kemungkinan yang dapat terjadi apabila ia datang ke sana. Seperti apa yang diucapkannya tadi, ia memang termasuk golongan yang seharusnya sudah siap menikah dibandingkan dengan yang lainnya. Mengingat kebanyakan sepupunya masih berusia belasan tahun bahkan ada juga yang masih bersekolah di sekolah dasar. Hanya ada tiga orang termasuk dirinya yang sudah dapat dikatagorikan berusia siap untuk menikah. “Duh, Bi. Kayaknya Luna nggak bisa datang ke sana deh. Luna udah capek banget sekarang. Seharian ini banyak kegiatan di luar rumah. Untuk urusan Mama, nanti itu biar Luna aja yang nyelesaian. Pokoknya Luna janji Bibi nggak akan kena imbasnya. Mama juga orangnya nggak seserem itu kok, Bi. Bi Inah suka berlebihan deh. Ya udah Luna ke kamar ya? Lengket pengen cepet - cepet mandi terus lanjut tidur deh. Dah, Bi.. selamat malam!” ucap Luna yang langsung melenggang pergi meninggalkan Bi Inah seorang diri. Jujur saja Luna tak ingin berlama - lama di sana. Takut jika Bi Inah tak berhenti membujuknya hingga ia mau menurut. Bukan apa, Luna hapal betul bagaimana kelakuan sang Mama. Ia yakin sang Mama pasti meminta Bi Inah agar bagaimana caranya ia bisa datang ke acara itu. “Eh, Non! Yaaahhh, Non Luna kok langsung pergi aja sih? Hmm, iya deh selamat malam,” ucap Bi Inah dengan tatapan melongonya melihat pergerakan Luna yang semakin menjauh bahkan kini sudah hilang dari jangkauan matanya karena dibatasi dinding pemisah ruangan. . . Seperti biasa, setelah membersihkan dirinya dengan mandi, menunaikan kewajibannya sebagai umat muslim yaitu menunaikan ibadah shalat fardhu, Luna memeriksa kembali ponselnya sebelum ditinggal tidur. Setelah menemukan posisi yang dirasa pas dan yang menurutnya nyaman, yaitu menyender ke kepala ranjang dengan satu buah bantal yang ia posisikan di belakang punggungnya. Luna memulai rutinitas rutinnya itu sebelum tidur malam. Kebetulan tak banyak pesan yang masuk. Hanya tiga pesan dari tiga pengirim yang berbeda. Luna pun dengan segera membuka salah satunya. Dan pilihannya jatuh ke pesan masuk yang berada di deretan paling atas. Tertera di sana, My Queen sebagai nama pengirim, yang tak lain merupakan sama Mama. [Sayang.. dari tadi Mama tunggu kok kamu nggak dateng - dateng? Pagi tadi Mama lupa ngabarin kamu. Jadi sebagai gantinya Mama titip pesan lewat Bi Inah karena Mama tadi perginya buru - buru. Kamu memang belum sampai rumah atau nggak mau dateng? Padahal niatnya Mama mau ngenalin kamu sama seseorang lho :( ] Luna tertawa dengan sangat riang setelah membaca isi pesan yang sang Mama kirimkan tersebut. Ternyata betul tebakannya tadi. Luna akan dikenalkan oleh sang Mama kepada seseorang jika ia datang ke sana. “Syukurlah aku nggak jadi ke sana. Nggak kebayang gimana jadinya kalau aku tadi tetep maksain buat dateng. Bisa - bisa selain jadi target tingkah jahil mereka, aku dijodohin mendadak lagi sama Mama di sana.” Luna beralih ke pesan kedua, yang ternyata Angga lah si pengirimnya. Penasaran akan isi pesannya, Luna pun dengan segera membuka dan membacanya. [ Kak! Kamu beneran nggak mau dateng nih? Jangan gitu dong.. Ayo sini buruan dateng.. Sekarang jadinya aku lho yang jadi bulan - bulanan mereka. Ditanya ini itu lah. Disuruh ini itu lah. Terus juga, masa baru kelas tiga SMA aku udah disuruh buruan cari calon? Padahal kan kalau laki - laki mah bebas mau kapan aja. Nyuruh cari calon kayak nyuruh beli permen di warung. Dipikirnya gampang apa? Pokoknya kamu buruan datang ke sini! Biar kamu yang jadi trending topic-nya.] Kali ini responnya melebihi respon yang Luna tampilkan saat membaca isi pesan dari sang Mama tadi. Luna tak henti tertawa terbahak bahak, dari awal bahkan hingga selesai pun Luna masih setia dengan aksi tertawanya. Sepertinya ia sangat bahagia sekali mengetahui sang Adik yang kini menjadi badalnya dalam acara itu. “Rasain kamu, Dek! Anggep aja itu balasan karena kamu suka ngejahilin Kakak. Wkwk.” Dan yang terakhir, tiba saatnya Luna untuk membuka dan membaca satu pesan yang tersisa. Sekali melihat saja Luna tahu siapa pengirimnya meski yang terlihat masih berupa angka, alias Luna belum menyimpan nomornya dan memberinya nama. Siapa lagi kalau bukan si pengirim misterius itu?! Sudah beberapa kali Luna menerima dan membaca isi pesannya, tanpa sadar Luna jadi sedikit hafal ciri - ciri nomor si pengirim pesan itu. [ Hai, Cantik. Saat ini aku tak akan berpanjang - panjang kata. Aku hanya ingin bilang, jangan lupa untuk selalu bersyukur setiap harinya. Mensyukuri atas banyaknya nikmat yang telah Allah beri, yang tentunya tak akan mampu kita hitung satu per satu saking banyaknya. Mmm, dan kamu termasuk salah satu nikmat yang selalu aku syukuri setiap harinya. Aku bersyukur akan kehadiranmu dalam hidupku. Aku bersyukur telah mengenalmu. Dan aku harap kamu pun begitu. Tak salah kan? Hehe. Semoga mimpi indah, Cantikku.. ] Berbeda dengan isi dua pesan tadi yang berhasil membuat Luna tertawa. Isi pesan kali ini membuat Luna menampikan respon yang berbeda. Ia menghela napas panjang berkali - kali seraya menatap lama isi pesan itu. “Nggak salah sih. Tapi sebenernya kamu ini siapa? Sebegitu pentingnya kah aku sampai kamu mensyukuri kehadiranku?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN