Part 7

1858 Kata
Di kantin, Ana dan Clarissa saling berbisik pelan saat melihat Luna memasuki area kantin dengan keadaan yang tak bersemangat. Bahkan raut wajah kesal pun sangat terlihat jelas di wajah cantiknya. “Itu anak kenapa sih? Masih pagi kok udah nggak semangat,” ucap Ana kepada Clarissa yang kebetulan sedang duduk di sebelah kanannya dengan suara yang amat sangat pelan. Mengingat jarak Luna dengan mereka saat ini sudah semakin dekat. “Nggak tau. Lagi PMS kali. Dia kan kalau lagi datang bulan mood-nya naik turun,” ucap Clarissa yang asal menebak, mengingat ia pun sebenarnya tak tahu menahu kenapa salah satu sahabatnya itu terlihat tak bersemangat pagi ini. “Kalian berdua rajin banget pagi-pagi gini udah nongkrong di kantin,” komentar Luna saat sudah tiba di hadapan Ana dan Clarissa. Kemudian duduk di bangku kosong dan mulai merebahkan kepalanya ke atas meja. Sontak saja hal itu menjadi pusat perhatian Ana dan Clarissa hingga keduanya saling bertukar pandang selama beberapa detik. “Hehe, kebetulan pagi ini aku nggak sempet sarapan pagi di rumah. Jadinya sarapan di kantin deh,” ucap Clarissa memberi jawaban. “Kalau aku seperti yang kalian tau. Akhir-akhir ini emang lagi semangat-semangatnya berangkat kuliah pagi. Ya walaupun nggak ada jadwal masuk pagi. Biasa.. anak rajin, wkwk.” Kini Ana yang memberi jawaban seraya sesekali mengaduk-aduk pelan teh hangatnya. “Beneran karena rajin apa karena lagi modusin Rayhan?” “Clarisaaaa. Shuttt! Pelan-pelan aja ngomongnya. Jangan keras-keras. Nanti kalau ada yang denger gimana? Aku kan malu.” Ana langsung menaruh jari telunjuknya di depan kedua bibirnya untuk meminta Clarissa agar memelankan suaranya. Bisa bahaya kalau ada yang tahu bahwa dirinya menyimpan rasa terhadap Rayhan. “Wkwkwk. Santai aja. In syaa Allah nggak ada yang denger kok. Kantin kan sekarang lagi ramai.” “Tetep aja. Aku kan jadi parno. Oh ya, kalian udah mulai ngerjain makalah yang ditugasin Pak dosen minggu lalu belum? Dikumpulinnya akhir minggu ini kan?” “Aku baru dapet sedikit coba, Na, materinya. Masih kurang beberapa halaman lagi. Tapi sampai sekarang masih belum nemu buku yang cocok untuk dijadiin sumber materi tugas kita. Kamu mah pasti udah selesai ya, Na? Rekomendasiin aku satu judul buku dong. Biar ada tambahan referensi lain gitu.” Membicarakan terkait tugas yang deadline-nya tinggal menghitung hari sudah harus dikumpulkan, meingatkan Clarissa akan tugasnya yang belum juga rampung. Ia pun meminta Ana agar merekomendasikannya sebuah buku. Mengingat Ana, si anak rajin lagi pintar, pasti sudah selesai bahkan menguasai isi materinya. “Boleh, boleh. Kebetulan jumlah halaman aku melebihi batas yang Pak dosen perintahkan. Nanti sisanya aku kirim ke kamu deh. Aku kirim lewat email ya?” “Duh, anak rajin mah beda ya. Yang lain selesai aja belum kamu malah kelebihan isinya. Boleh banget, Na. Makasih lho. Akhirnya malem ini bisa tidur cepet plus tenang. Wkwk.” Belum mendengar respon jawaban dari Luna, Ana pun berinisiatif untuk bertanya langsung dan khusus kepada gadis yang sedang merebahkan kepala di atas meja itu. “Kamu ini. Kalau kamu gimana, Lun? Udah selesai tugasnya?” Hening.. tidak ada jawaban, bahkan setelah beberapa detik berlalu. Ana pun berniat untuk kembali mengulang pertanyaannya. Ana berpikir positif, mungkin saja Luna sedang fokus dengan gadget-nya, dan tak mendengar apa yang baru saja ia ucapkan. Mengingat sesekali ia masih mendengar bunyi pop up notifikasi pesan dari arah Luna. “Lun? Kamu udah tugasnya? Kalau belum materi punyaku yang lebih aku bagi dua buat kamu dan Clarissa.” Lucunya, saking solidnya persahabatan Luna, Ana, dan Clarissa. Selain mereka selalu ada di setiap sedih, senang, ketiganya. Saling berbagi makanan, hadiah, dan yang lainnya. Soal tugas pun mereka tak pelit untuk saling berbagi. Walaupun untuk urusan yang satu itu, Ana lah yang lebih sering berbagi dari pada kedua sahabatnya yang lain. Mengingat Ana gadis yang paling rajin dan pintar di antara ketiganya. Prinsip mereka, sharing is caring, katanya. “Iya. Ikan lelenya ditumbuk aja sampai jadi debu. Terus debunya diterbangin di deket jurang,” ucap Luna serius, yang terdengar jelas dari nada bicaranya, namun berhasil membuat Ana dan Clarissa dibuat bingung mendengarnya. “Hah? Aku yang salah denger apa dia yang emang beneran ngomongnya lagi ngaco sih? Dia barusan ngomong apa sih, Sa? Kok nyambungnya ke ikan lele sih?” Ana berucap seraya menatap heran ke arah Luna. “Katanya ikan lelenya ditumbuk aja sampai jadi debu. Terus debunya diterbangin di deket jurang. Wkwkwk, kok ngaco banget sih dia ngomongnya. Dia masih sadar nggak sih? Jangan-jangan dari tadi kita ngobrol panjang lebar dianya udah tidur dari awal lagi. Padahal kan kita ngobrol panjang lebar juga awalnya karena ngejawab pertanyaan dia,” gerutu Clarissa seraya menatap kesal ke arah Luna yang memang dalam posisi sedang membelakangi mereka dengan kepala yang direbahkan di atas meja. “Iya. Coba aku liat dulu.” Ana pun bangkit dari duduknya untuk mengecek bagaimana kondisi Luna saat ini. Dan ternyata, “beneran lagi tidur coba ini anak. Pules banget lagi keliatannya. Nyebelin banget sih. Kita kerjain dia aja kali ya?” Ternyata betul kalau Luna sedang tidur dalam posisi rebahannya. Bahkan terlihat sangat pulas kalau menurut Ana. “Kerjain gimana? Nggak apa-apa emangnya kalau dia lagi tidur kita kerjain? Bukan apa, aku takut jadi samsaknya nih kalau dia sampai marah.” Clarissa berucap sambil bergidik ngeri membayangkannya. Membayangkan bagaimana jadinya kalau ia dijadikan samsak oleh Luna sebagai konsekuensinya. “Lebay ah kamu! Palingan juga cuma kesel biasa doang.” “Ya udah. Ayo aja kalau gitu. Tapi ngerjainnya gimana?” “Kita pikirin dulu mateng-mateng. Dia kan kalau tidurnya lumayan kebo ya. Jadi aman.” Dan keduanya pun mulai berpikir keras setelah itu. Drttt.. drttt.. Bunyi suara panggilan masuk yang terdengar dari ponsel Ana, membuat Ana menunda sebentar kegiatan berpikirnya. Memikirkan ide cemerlang apa untuk mengerjai Luna. “Assalamu’alaikum.” (“Wa’alaikumussalam. Ini betul dengan Ana kan? Temen deketnya Luna?”) “Iya, Tante. Saya Ana, sahabatnya Luna. Ini Tante Ratu? Mamanya Luna ya?” (“Iya, betul. Ini Tante dapet nomor kamu dari buku catatannya Luna. Tante ada perlu nih sama kamu dan Clarissa. Tante nelpon kamu gini ganggu nggak ya? Oh ya, Tante kelupaan. Si Luna jangan sampai tau ya kalau Tante nelepon kamu.”) “Nggak ganggu kok, Tan. Kebetulan kita lagi sarapan di kantin. Dan soal Luna, kebetulan dia lagi pules, Tan. Nggak tau tuh kenapa. Dateng-dateng langsung tidur. Ada perlu apa ya, Tan?” (“Syukur deh kalau dia lagi tidur. Tante malah udah parno duluan sejak tadi kalau Tante nelepon kamu pasti ketauan dia karena kalian bertiga selalu barengan. Jadi gini, Na. Luna kan istilahnya jomblo dari lahir ya? Dia belum pernah keliatan dekat atau bahkan pacaran sama laki-laki. Kamu tau sendiri. Dia selain tomboy emang rada menutup diri gitu sama yang namanya laki-laki. Selalu jaga jarak aman gitu deh. Tante kan sebagai Ibu pasti khawatir kalau tau anaknya kayak gitu. Takut aja. Takut dia sendiri yang nggak punya bahkan nggak mikirin soal pasangan di saat yang lainnya udah punya gandengan. Nah, Tante mau minta tolong sama kalian buat nyariin laki-laki yang cocok buat dia. Jadi makcomblang gitu deh ceritanya. Tante percaya banget sama kamu dan Clarissa. Kalian pasti tau tipe laki-laki yang cocok buat dia seperti apa. Yang baik, tulus, setia. Pokoknya Tante percayakan soal ini ke kalian berdua. Gimana? Mau ya bantuin Tante? Soalnya Tante udah nggak tau lagi harus gimana. Langsung jodohin dia ke laki-laki pilihan Tante rasanya nggak mungkin. Yang ada dia bisa nekat untuk kabur dari rumah.”) “Hmm, gimana ya, Tan. Aku dan Clarissa nggak bisa janjiin Tante apa-apa. Tapi in syaa Allah kita akan berusaha untuk bantu Tante.” (“Iya, Na, nggak papa. Tau kalian punya niat dan mau berusaha buat bantu Tante aja Tante udah seneng. Tapi Tante pesen, dibuat senatural mungkin ya? Pertemuan mereka, dan yang lainnya. Dan jangan sampai dia tau kalau kita adalah dalangnya.”) “Oke, Tante. Siap.” (“Makasih, ya, Na. Sampaikan salam dan rasa terima kasih Tante juga buat Clarissa. Tante doakan semoga rencana kita ini berhasil dan lancar.”) “Aamiin, Tante.” (“Iya, aamiin. Ya sudah. Kalau gitu Tante tutup ya teleponnya? Maaf banget nih kalau ganggu, hehe. Dan sekali lagi terima kasih banyak. Assalamu’alaikum.”) “Nggak, papa, Tante. Iya sama-sama . Wa’alaikumussalam.” Ana kembali menaruh ponselnya ke atas meja yang diakhiri dengan menghela napas panjang. Dan itu tak luput dari pengamatan Clarissa yang memang sejak tadi terus memerhatikan Ana. “Ada apa sih? Kok kayak yang gimana gitu kamu sekarang. Ada masalah?” tanya Clarissa yang begitu penasaran dengan apa yang baru saja terjadi. “Kita dapet tugas berat dari Tante Ratu, Sa.” “Tante Ratu, Mamanya Luna?” “Iyaa. Sutt.. jangan sampai Luna tau soal ini. Ini rahasia banget soalnya,” ucap Ana seraya sesekali melirikkan matanya ke arah Luna. Takut jika gadis itu sudah bangun dan ternyata mendengar ucapannya. “Aman. Dia masih tidur pules kok. Tugas berat apa? Kok aku jadi deg degan gitu dengernya.” “Sini mendekat dulu. Aku bisikin. Ini sifatnya rahasia banget soalnya. Jangan sampai ada orang lain yang tau, termasuk Luna.” Mendengar itu, Clarissa pun menurut. Ia mengikuti apa yang diperintahkan Ana. “Jadi tadi itu Tante Ratu minta tolong sama kita buat bantu cariin Luna pasangan. Tante Ratu khawatir banget sama dia karena nggak pernah keliatan deket, bahas, atau apa lah itu soal laki-laki. Jadi ya minta tolong sama kita buat cariin yang sekiranya cocok untuk jadi pasangannya Luna, terus kita deketin mereka secara alami. Intinya Tante Ratu nggak mau kalau Luna sampai tau kalau kita yang udah ngerencanain ini buat dia.” “Mmm, kalau soal Luna aku juga agak khawatir sih. Apalagi dia kan kayak yang tomboy gitu ya. Belum pernah juga aku denger dia curhat soal laki-laki. Soal cinta maksudnya. Sekalinya curhat palingan kalau ada laki-laki yang ganggu atau cari gara-gara sama dia. Terus rencana awal kita gimana kalau gitu? Kita harus apa dulu? Sekarang sih aku belum kepikiran siapa yang sekiranya cocok sama dia.” Ana menganggukkan kepalanya setuju setelah mendengar pendapat Luna. Pasalnya ia pun merasakan dan memikirkan hal yang sama. “Iya juga sih. Kayaknya dia nggak pernah galau kalau soal urusan laki-laki. Mmm, soal siapa yang cocok sebenernya aku juga belum kepikiran sih. Tapi kayaknya aku punya ide untuk nyari tau soal itu.” “Serius? Apa, apa? Jangan buat aku penasaran dong.” Clarissa berucap heboh di tempat duduknya, seraya menatap Ana dengan ekspresi wajah sangat penasaran. “Jangan kenceng-kenceng ngomongnya! Nanti si Luna kebangun,” ucap Ana memperingati Clarissa, yang langsung membuat gadis itu mengatupkan kedua bibirnya rapat. “Sorry, aku terlalu kesenengan tadi. Jadi apa itu idenya?” tanya Clarissa kembali yang kini sudah berhasil mengontrol volume suaranya. “Kita kan mau ngerjain dia. Sekalian aja buat jalanin misi ini.” Ana berucap seraya tersenyum penuh misteri. Sontak saja melihat itu membuat Clarissa semakin penasaran. “Caranya?” “Sebentar aku keluarin kertas sama spidol dulu. Kamu ada solatip? Pinjem dong.” Dan Ana pun mulai beraksi selama beberapa detik. Hingga akhirnya ia berkata, “Yey sudah. Semoga dengan ini kita punya beberapa daftar nama,”ucap Ana senang diiringi dengan rasa penuh harap.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN