Part 6

1952 Kata
Di sebuah taman yang luas, yang dipenuhi dengan berbagai macam tanaman hias yang cantik lagi menawan, seorang laki-laki nampak sedang berpikir keras. Ia sesekali bahkan terlihat mengacak-acak rambutnya frustasi. Duduk merenung kemudian dengan cepat bangkit berdiri dan berjalan mondar- mandir layaknya sebuah setrikaan panas yang sedang digunakan. Kenapa dia? Ada apa dengannya? Untung saja suasana taman pada saat itu masih sangat sepi. Hanya ada dirinya dan seorang gadis kutu buku yang sedang asyik belajar di salah satu bangku taman tak jauh dari tempat laki-laki itu berada saat ini. “Arghhhh!” teriak laki-laki itu kesal kemudian kembali duduk ke tempatnya semula. “Apa lo liat-liat?” tanyanya kesal saat dilihatnya seorang gadis kutu buku itu menatapnya heran dan tak suka di tempat duduknya. “Ah? Ng—nggak, Kak. Nggak apa-apa,” ucap gadis kutu buku itu dengan sedikit tergagap di awal-awal. Sebenarnya ia tak menyangka kalau laki-laki itu akan sadar kalau ia sesekali memerhatikannya. Bagaimana tidak? Laki-laki itu sangat mengganggu sekali. Kegiatan belajarnya jadi terganggu, dan fokusnya susah sekali untuk dikendalikan karena sesekali terusik oleh apa yang dilakukan laki-laki itu. “Kenapa? Ngerasa ke ganggu?” tanya laki-laki itu kembali. “Ng—nggak kok, Kak. Kakak nggak ganggu sama sekali. Saya ada kelas. Saya pamit ya, Kak,” ucap gadis kutu buku itu cepat kemudian bergegas pergi meninggalkan taman. “itu orang kenapa sih? Masih pagi kok udah emosian. Bikin aku bad mood aja!” dumelnya dalam hati seraya terus mempercepat gerak langkah kakinya agar segera keluar dari area taman. “Kakak, Kakak? Emangnya aku Kakaknya? Bikin orang kesel nambah kesel aja!” laki-laki itu juga ikut mendumel saat si gadis kutu buku itu mulai berjalan meninggalkan area taman. “Duh, aku harus apa ya? Minta maaf? Ih.. tapi ngapain juga aku harus minta maaf? Kan salah dia sendiri kenapa datangnya telat? Kalau datang lebih awal, atau setidaknya dia mau berjuang dulu, nyoba untuk masuk kelas? Kan dia akan tetap bisa ikutan kuis. Salah dia sendiri kenapa milih untuk bolos kan? Iya, jadi bukan salah aku sepenuhnya. Lagian jadi orang pecundang banget sih. Apa salah dan susahnya coba untuk mencoba dan berusaha? Kalau udah nyoba ujung-ujungnya nggak dibolehin masuk ya udah. Nggak papa nyerah. Ini usaha aja belum udah nyerah duluan, ya salah sendiri! Jadi, Leo! Sekarang stop untuk terus merasa bersalah sama dia!” Ya, seorang laki-laki itu adalah Leo. Ia jadi merasa bersalah terhadap Luna setelah mendengar cerita dan penjelasan langsung dari Ana kemarin siang. Terlebih dia tahu betul bagaimana dosen yang dimaksud Ana dalam hal nilai. Kurang sedikit saja bisa wasallam. Oleh karena itu sejak semalam sampai saat ini, penyesalan dan rasa bersalah masih menguasai hati dan pikirannya. Namun kini, egonya kembali hadir. Setelah ia pikir-pikir lagi, menurutnya ia tak sepenuhnya salah. Apalagi dia sebenarnya memang tak tahu menahu kalau ternyata kemarin Luna sudah terlambat dan dosen yang mengajarnya bukan dosen biasa. “Udahlah. Lagian peduli amat. Sekarang lebih baik aku nongkrong aja di aula kampus. Para bidadari-bidadari kampus udah saatnya datang. Bukan kah seorang pangeran harus menyambut kedatangan para calon-calon ratunya? Wkwk, cielah Leo! Lo kalo ngomong emang paling bisa ya? wkwk.” Leo tertawa renyah seraya mulai pergi meninggalkan taman, menuju area aula kampus seperti yang baru saja ia ucapkan. *** Luna menutup pintu mobilnya dengan tanpa perasaan hingga menimbulkan suara kencang. Kemudian ia mulai berjalan memasuki area kampus dengan gerak langkah super cepat. Sepertinya apa yang baru saja terjadi di rumah memberikan efek yang berarti pada diri Luna. Mood-nya saat ini benar-benar tidak sedang dalam keadaan baik. Mood-nya benar-benar hancur. “Eh, eh, eh. Kenapa sih, Bund? Kalau lagi jalan buru-buru amat. Lagi dikejar penagih utang ya? Wkwk.” Bertemu dengan Leo, si laki-laki yang amat sangat menyebalkan menurut Luna, di saat mood-nya tidak sedang dalam keadaan baik, benar-benar merupakan sebuah mimpi buruk. “Bund? Aku bukan Bunda kamu! Minggar nggak?!” ucap Luna kesal, namun tetap berusaha untuk mengendalikan emosinya agar tidak meledak. “Terus pengennya dipanggil apa dong? Tante? Kakak? Neng galak?” Leo berucap seraya berlaga seperti sedang berpikir keras, kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya beberapa kali saat dirasa sudah menemukan nama panggilan yang pas. “oohh, aku tau. Kamu pasti maunya dipanggil sayang ya sama aku? Nggak masalah kok. Aku nggak keberatan.” Mendengar itu, tentu saja bukan suatu hal yang menyenangkan bagi Luna. Menurutnya dipanggil sayang oleh Leo bukan merupakan sebuah keberuntungan, melainkan sebuah musibah. “Akunya yang keberatan!” ucap Luna cepat kemudian dengan segera menghela napas panjang, dan mengembuskannya perlahan sebelum mulai lanjut bicara. “Aku masih mau ngomong baik-baik ya, Leo.. Jadi sebelum aku semakin naik darah dan ngubah kamu jadi perkedel, lebih baik kamu minggir! Atau kamu mau pilih opsi yang kedua? Aku jadiin kamu perkedel?” Luna bahkan sudah menarik lengan sweaternya dan mulai bersiap-siap. Leo memelototkan kedua matanya. Ia bahkan sampai menelan air ludah saat dilihatnya Luna sudah bersiap-siap untuk menjadikannya perkedel, seperti apa yang baru saja gadis itu janjikan jika Leo tidak segera menyingkir dari hadapannya. “Sabar, sabar! Aku kan niatnya pengen nyapa kamu. Masa kamu tega sih buat jadiin aku kayak perkedel? Damai yaa.. pizzzz.” “Ya udah minggir kalau gitu!” “Mmm, oke.. tapi aku boleh ngasih pantun dulu kan? Kayak kemaren?” tawar Leo yang ternyata masih mempunyai nyali untuk terus berusaha. “Nggak ada tawar menawar! Minggir, atau lo gue gibeng?” “O—oke, oke, oke. Silakan, Tuan Putri.” Leo tahu betul. Menurut pengamatannya sejak awal masuk kuliah dulu, gadis tomboy itu, jika sudah berkata lo – gue, artinya gadis itu sudah sangat marah. Dan Leo tidak ingin mengambil banyak resiko. Ia masih sangat sayang akan wajah tampan yang selalu ia bangga-banggakan itu. Bukan apa, bisa-bisa apa yang baru saja gadis tomboy itu janjikan akan berujung menjadi kenyataan. Dia bisa habis dan betul-betul dibuat menjadi perkedel oleh gadis tomboy itu. Meninggalkan Leo yang sudah terlihat ciut di tempatnya berdiri, Luna kembali melangkahkan kaki cepat menuju ruang kelasnya. “Untung aja hari ini nggak ada kelas pagi. Kalau ada dan aku sampai telat lagi kayak kemarin gara-gara si ikan lele itu, habis lo, Leo!” dumel Luna dalam hati seraya terus berjalan cepat meninggalkan aula kampus. “Bener-bener itu cewek! Disenggol dikit aja ancemannya udah mau jadiin orang perkedel aja. Kalau di ajak bercanda aja susah, apalagi di ajak buat serius? Iya, nggak? Kayaknya ngegodain cewek tomboy resikonya lumayan juga. Aku harus pikir-pikir ulang nih kalau mau tetep lanjut,” ucap Leo pelan seraya menatap kepergiaan Luna dengan pandangan menerawang. Memikirkan kenapa ia bisa tertarik untuk selalu menggoda Luna di setiap pertemuan mereka, padahal sejak awal kuliah ia sudah tahu kalau Luna memang anaknya selain cantik, dia memiliki sifat tomboy dan juga jago bela diri. Merasa apa yang baru saja ia pikirkan bukanlah suatu hal penting yang harus ia pikirkan, Leo mengendikkan kedua bahunya masa bodoh kemudian kembali duduk di tempat nongkrongnya. Memainkan gadget-nya dengan sesekali mengamati orang-orang yang sedang berlalu lalang di depannya. “Eh, hai?” Leo menyapa dengan sangat ramah seorang perempuan yang hendak berjalan melewatinya. “Aku?” jawab perempuan itu seraya menunjukkan jari telenjuknya ke arahnya sendiri. Memastikan bahwa sapaan itu Leo tujukan untuknya. “Iya, kamu. Kamu Bella kan? Anak fakultas hukum?” Gadis itu mengernyitkan kening heran mengetahui Leo—laki-laki di hadapannya tahu betul mengenai dirinya. Namanya dan di fakultas apa ia menimba ilmu. Padahal ia saja tidak tahu siapa laki-laki itu, dan tidak pernah merasa pernah saling berkenalan sebelum pertemuan ini. “Dia siapa? Kok bisa tau siapa aku?” pikirnya heran dalam hati. “Santai. Nggak usah takut. Aku bukan orang jahat kok. Kenalin namaku Leo Argantara. Kamu bisa panggil aku dengan sebutan Leo,” ucap Leo memperkenalkan diri seraya mengulurkan tangan kanannya ke arah perempuan itu.Yang untungnya segera disambut meskipun terlihat seperti ragu-ragu. “Bella.” “Nama yang cantik. Secantik orangnya. By the way aku tau kamu dari temen aku. Makanya pas ketemu kamu langsung aku jadi pengen nyapa dan kenalan. Dia anak hukum juga kok. Alex namanya. Kamu kenal dia kan?” “Ooo, Alex. Kenal, kenal. Kebetulan kita satu kelas. Tapi kok bisa sih? Aku nggak ngerti,” tanya Bella yang kini mulai merasa aman setelah mendengar nama temannya disebut. “Kamu pasti masih heran ya kenapa aku bisa tau kamu dari Alex? Hehe. Jadi kemarin, aku makan siang di kantin bareng dia. Dulu kita satu SMA makanya bisa saling kenal walaupun jurusan kita beda. Terus aku liat kamu duduk di depan bangku aku dan dia. Kamu lagi makan bakso sama temen kamu. Ya laki-laki liat perempuan cantik di depannya, sekali-kali kadang tertarik buat curi-curi pandang. Biasalah, hehe. Tapi maaf nih sebelumnya aku nggak izin dulu kemarin. Main curi-curi pandang aja. Untung nggak ada Pak polisi kan? Bisa-bisa aku ditangkep kalau ketauan curi-curi pandang ke arah kamu, hehe. Yah, kok kamu nggak ketawa sih? Kurang lucu ya lawakan aku?” “Lucu sih. Tapi cuma sedikit, hehe,” ucap Bella jujur yang diakhiri dengan kekehan singkatnya. “Nggak papalah. Yang penting masih ada lucunya walaupun sedikit. Terus ya gitu. Pas Alex tau aku kadang curi-curi pandang ke arah kamu, dia langsung ngasih tau soal kamu ke aku. Termasuk status kamu yang ternyata masih jomblo, hehe.” “Si Alex sampai ngasih tau status aku segala?” Leo menganggukkan kepalanya dengan penuh semangat untuk menjawab pertanyaan ini. “Wah. Itu anak bener-bener ya. Mentang-mentang baru aja punya pacara baru, status jomblo orang sampai diumbar-umbar segala. Penghinaan ini namanya! Cari gara-gara nih sama aku.” “Wkwk. Kamu bakal perkarain dia ke jalur hukum? Anak hukum serem-serem juga ya ternyata. Dikit-dikit urusannya bisa sampai dibawa kepengadilan. ” Leo berucap seraya bergidik ngeri di tempatnya berdiri saat ini. “tadi berurusan sama cewek tomboy, nyawa dan keselamatan yang terancam. Sekarang sama anak hukum, mainannya lapor kepengadilan. Kenapa sih? Cewek yang mau gue deketin selalu beresiko semua? Nasib, nasib,” gerutunya dalam hati. Mendapati pertanyaan itu, Bella tertawa renyah di hadapan Leo. Yang tentu saja berhasil membuat laki-laki itu mengernyitkan kening heran melihatnya. “Ya nggak lah! Ya kali masalah kayak gitu doang langsung aku bawa ke pengadilan? Tadi cuma bercanda doang, hehe. Aku pede-pede aja sih sebenernya dibilang jomblo. Jadi jomblo bukan aib kan?” “Hahaha. Kirain beneran. Udah ngeri duluan aku kalau mau bercandain kamu. Ngomong-ngomong aku juga biasa aja tuh jadi jomblo. Betul, jomblo itu bukan aib. Jomblo itu pilihan!” “Aku setuju sih soal itu. Yang pacaran lama aja belum tentu jodoh kan? Jadi dari pada buang-buang waktu, buang-buang uang, dan kadang bikin capek hati, mending jomblo tapi bahagia. Soal jodoh kalau udah waktunya nanti juga ketemu sendiri. Iya, nggak?” “Sepemikiran! Oh ya, kamu mau denger pantun dari aku nggak? Sebagai salam perkenalan kita? Aku suka iseng bikin pantun gitu soalnya. Ya, siapa tau kamu suka.” “Suka sama pantunnya?” “Ya kalau suka juga sama orangnya juga nggak masalah. Boleh banget malah. Aku justru seneng banget, hehe.” Keduanya pun mulai saling melempar tawa di waktu yang bersamaan. “Itu sih maunya kamu! Ya udah apa pantunnya? Aku mau denger.” “Oke. Dengerin baik-baik ya! Awas jangan sampai baper, hehe.” Leo berdehem cukup keras sebelum memulai aksi berpantunnya untuk menghilangkan sedikit rasa groginya. “Ekhem, ekhem. Pergi ke Prancis, pulangnya ke Belanda. Hey, Nona manis. Mau nggak aku buat bahagia?” “Mmm, not bad lah pantunnya. Aku pamit ya? Jam kuliah pertamaku udah mau dimulai kayaknya. Bye.” Yang Leo tahu, Bella sedikit menyenangkan hatinya dengan mengucapkan kalimat “not bad” atas pantun yang ia katakan barusan. Meski nada bicaranya biasa-biasa saja dan sedikit datar. Tapi kenyataannya ternyata tak begitu. Setelah berjalan beberapa langkah ke depan, Bella justru melebarkan senyuman manisnya dengan kedua pipi yang bersemu merah. Wah.. what happened?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN