ABU|Arumi&Bhumi [3]

945 Kata
Dua hari tanpa Bhumi benar-benar menjadi neraka buatku. Selama tiga hari itu juga aku tidak bisa memejamkan mataku. Membuat tubuhku menjadi lemas dan tak bertenaga. Apalagi aku harus mendampingi murid-muridku untuk melakukan penelitiannya. Udara dingin Bandung masuk melalui pori-pori kulitku. Menusuk hingga ketulang-tulang dan membuatku semakin mengeratkan jaket yang ku kenakan. Saat ini aku hanya berdiam diri duduk di balkon kamar dan menatap gumparan bintang di langit bandung yang terlihat terang malam ini. Mengabaikan suara bising di bawah sana yang berasal dari Aula tempat murid-murid dan para guru bersuka ria. Malam ini malam terakhir kami di Bandung. Seharusnya malam ini aku menjadi pengisi acara di bawah. Menyumbangkan satu lagu di atas panggung. Namun aku tidak melakukannya. Memilih duduk sendiri di sini dan melamunkan Bhumi juga tentang nasib pernikahan kami selanjutnya. Jika saat-saat Otak ku dalam keadaan tidak jernih seperti sekarang, ingin rasanya aku menyerah dari Bhumi. Membiarkan ia melanjutkan kehidupannya dan meraih wanita yang benar-benar di cintainya. Aku tahu, cukup bodoh saat itu aku menyetujui begitu saja tentang perjodohanku dengan Bhumi tanpa mencari tahu lebih lanjut tentang laki-laki itu. Siapa tahu Bhumi memiliki wanita yang ia cintai di luar sana bukan? Dan dengan seenak hatiku aku malah meminta mama dan papi segera menyiapkan pernikahanku dengan Bhumi. Dua hari tanpa melihat Bhumi memang begitu menyiksaku. Apalagi tanpa pelukannya jika hendak tidur. Aku benar-benar merindukannya malam ini. Merindukannya hingga tanpa sadar air mataku menetes begitu saja. "Kak Bhumi," lirihku pelan setelah panggilanku di telfon terjawab. "Arumi, ini Ghea." Aku memejamkan mataku menahan sesak saat yang ku dengar bukanlah suara Bhumi di seberang sana melainkan Ghea, sekretarisnya yang sepertinya memiliki kedudukan lebih tinggi dari ku bagi Bhumi. "Mas Bhumi ada di apartemen. Dia mabuk. Sepertinya dia punya masalah dua hari ini. Tapi kamu tenang aja, ada Mas Yoga di sini." "Tolong jaga dia, Ghe. Terima kasih sebelumnya." Aku segera memutuskan panggilan itu dan kembali air mataku menetes. Tidak. Aku tidak cemburu pada Ghea. Meski pada awalnya aku sangat cemburu padanya. Apalagi saat Ghea hamil kemudian mengidam jam 2 malam meminta Kak Bhumi datang ke apartemennya karena ia menginginkan nasi goreng buatan Kak Bhumi. Lalu saat Ghea melahirkan bahkan saat itu Kak Bhumi yang sedang berada di Jogja memutuskan kembali ke Jakarta saat itu juga. Apa kalau aku yang hamil Kak Bhumi akan seperti itu juga? Entahlah. Namun Ghea terus meyakinkan ku bahwa yang Bhumi lakukan itu semata-mata Karena janjinya pada Yoga --suami Ghea juga sahabat Bhumi, yang saat itu tidak bisa terus berada di dekat Ghea karena pekerjaan sebagai pilot. Lalu Ghea juga yang meyakinkanku saat mantan Kak Bhumi kembali dan mengajaknya makan malam. Ghea bilang aku tidak perlu khawatir karena Kak Bhumi telah memilihku dan menjadi milikku. +_+ Aku kembali kerumah dalam keadaan rumah yang gelap juga berdebu. Sudah pukul sembilan malam dan sejak tadi aku tidak melihat keberadaan Bhumi di dalam rumah ini. Apa Bhumi tidak pulang selama aku pergi? Entahlah. Lebih baik aku istirahat di kamar dan mencoba tidur dengan bantuan obat tidur yang ku beli di apotek tadi. Setidaknya aku membutuhkan itu agar tidak menjadi mayat hidup. +_+ Sebulan berlalu dan selama sebulan itu aku tidak pernah melihat keberadaan Bhumi di rumah ini. Entah apa yang terjadi padanya. Aku sudah lelah untuk Terus menangis setiap malam memikirkannya lalu jatuh tertidur karena kelelahan. Setidaknya aku bisa tertidur walau karena lelah.  Padahal, sekembalinya dari bandung, aku sudah memutuskan untuk memperbaiki rumah tangga kami dan berbicara pada Bhumi. Setidaknya aku juga mau memiliki rumah tangga normal seperti orang lain. Bahkan tiket liburan dari papi waktu itu aku kembalikan dengan alasan aku dan Bhumi memiliki rencana sendiri di akhir tahun ini. Tapi nyatanya, akhir tahun ku berakhir menyedihkan karna hanya ku lewati dengan menangis di dalam kamar. Memikirkan Bhumi yang sepertinya sedang bersenang-senang di luar sana dengan keluarganya. Atau mungkin dengan wanita barunya. Entahlah.      Pernah sekali aku mencoba menghubungi Bhumi lewat nomor ponsel yang baru aku beli --Ya, aku se-drama itu karena tak mau menghubunginya lewat nomor ponselku, lalu saat itu, bukan Bhumi yang menjawab ponselnya. Tapi suara wanita yang entah siapa. Bukan suara Ghea. Bukan juga suara Nina -adik perempuannya. Hal yang romantis membuatku yakin bahwa Bhumi memang sudah bosan denganku. Lalu dengan mantap saat ini aku berjalan melewati lorong-lorong kantor Bhumi dengan membawa surat yang akan membebaskan Bhumi dari ku. Aku telah memikirkan hal ini seorang diri dengan matang. Bhumi memang tidak menginginkan ku dan aku ingin merasakan kebahagiaan di dalam hidupku. Walau tanpa Bhumi di sampingku.  "Arumi," panggil Ghea yang kuperhatikan wajahnya cukup terkejut mendapatiku di kantor Bhumi. "Kamu mau ketemu Mas Bhumi?" Tanyanya yang aku jawab dengan anggukan. Aku tidak bisa tersenyum seperti biasanya pada Ghea karena memang aku tidak bisa tersenyum lagi selama sebulan ini. "Aku kira kamu masih di Singapura," Katanya kemudian bangkit dari kursinya dan mendekat kearahku. "Kamu langsung masuk aja." Ghea menuntunku dan membukakan pintu ruangan Bhumi. Aku terdiam saat melihat Bhumi sedang duduk di bangku kebanggaannya. Entahlah setelah ini aku akan menyesal atau tidak meminta berpisah dengannya. Bhumi terlihat semakin seksi dengan bulu-bulu di sekitar wajahnya. Walau aku dapat melihat kantong matanya yang membengkak. Sepertinya Bhumi terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Atau juga dengan wanita barunya. Aku melihat wajah Bhumi yang terkejut mendapatiku di ruangannya. Apalagi setelah Ghea keluar dan menutup pintunya. Menyisakan aku hanya berdua dengan Bhumi di dalam ruangan ini yang terasa begitu dingin di kulitku. "Apa kabar, kak?" sapa ku mendekat kearahnya dan memaksakan seulas senyum di bibirku. "Aku kesini bawa surat yang akan membebaskan kak Bhumi dari ku." Aku meletakkan surat itu diatas meja Bhumi dan melihat wajahnya yang mengeras saat ia membuka map yang berisi surat perceraian kami. Selamat tinggal Bhumi. Semoga kita sama-sama bahagia setelah ini. Walau aku tak yakin dengan diriku sendiri. +_+
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN