PART. 10 VERSUS

1415 Kata
Naura menatap tajam Darwin, adik ayahnya. "Syarat yang kalian berikan hanya menikah. Tidak ada embel apa-apa. Kenapa kalian harus repot memikirkan suamiku siapa." Suara Naura sangat tegas menanggapi ucapan pamannya. Naura tidak ingin memenuhi syarat dari pamannya lagi. Baginya syarat menikah sudah cukup. "Tapi kami tidak terima, jika itu hanya pernikahan sandiwara. Apalagi pernikahan ini, hanya untuk sebagai syarat kamu bisa mengambil perusahaan ayahmu sepenuhnya." Darwis, saudara ayah Naura yang lain ikut bicara. Tatapan Darwis tajam membalas tatapan Naura. Azzam terjemahannya berdiri di samping Naura. Walaupun ingin hidup bicara tapi menahan keinginannya. Karena Naura melarangnya ikut bicara. Azzam tahu kalau ia ikut bicara bisa saja menambah masalah, karena ia tidak tahu duduk persoalan sesungguhnya. Ia tahu masalah ini di permukaan saja, tentang perebutan perusahaan. "Jangan terlalu repot memikirkan pernikahanku. Yang jelas aku dan Bang Azzam sudah menikah. Apa lagi yang kalian mau? Masalah dia hanya karyawan, supir, ataupun hanya pemulung. Itu adalah urusanku, karena tidak akan meminta uang dari kalian. Aku jamin Bang Azzam tidak akan menyusahkan kalian." Rasa kesal Naura, karena pekerjaan Azzam dipertanyakan. Naura tidak terlalu mempertimbangkan masalah itu.. Karena begini yang terpenting adalah Azzam mengikuti kemauannya. Tidak bertingkah macam-macam. Mau menjaganya, mau mengikutinya kemanapun ia pergi. Itu sudah cukup. "Tidak bisa! Begini saja. Kami perlu bukti kalau pernikahan ini bukan sandiwara." Darwin menuntut bukti dari pernikahan Naura. Naura terkejut dengan syarat baru dari saudara ayahnya. Syarat baru yang tidak terduga. Syarat baru yang sangat berat. Karena cintanya bukan buat Azzam, tapi buat Fadel yang ada di Amerika. "Bukti bagaimana maksudnya? Kami sudah menikah, apalagi yang harus kami buktikan." Rasa kesal Naura rasakan. Ia merasa sudah melakukan apa yang diperintahkan, tapi kenapa dituntut hal yang lain lagi. Hal yang tidak ingin dilakukannya. Karena menyangkut masa depannya. Azzam terlalu tua untuknya. Tidak cocok menjadi ayah bagi anaknya. "Jika kalian menikah bukan sandiwara. Maka buktinya adalah anak. Serah terima perusahaan akan dilakukan, kalau kamu sudah melahirkan." Darwis berkata tajam sambil menatap wajah Naura dengan tatapan sinis. "Kenapa berubah lagi yang diinginkan. Aku sudah melakukan tuntutan kalian, untuk menikah sebagai syarat agar bisa mengambil perusahaan. Tapi kenapa sekarang ditambah harus memiliki anak." Perlawanan Naura karena merasa dipermainkan dengan peraturan yang berubah. Naura merasa sangat dirugikan. Sudah melakukan apa yang mereka inginkan, tapi kemudian ditambah dengan peraturan baru lagi. Naura merasa ini tidak adil. "Itu untuk membuktikan bahwa pernikahan kalian bukan sandiwara. Bukan permainan. Kami tidak mau kamu dengan suami bayaran." Jari Darwis menunjuk ke arah Naura. Naura kesal sekali dengan keras kepala mereka. "Kalian sungguh keterlaluan. Ingin merebut apa yang diperjuangkan oleh ayah dan ibuku. Apa yang mereka tinggalkan adalah milikku. Tidak ada yang boleh menggugatnya." Telunjuk Naura menunjuk kepada orang-orang di depannya. Jaringan gemetar, saudara ayahnya membangkitkan emosinya. Naura benar-benar kecewa terhadap permintaan mereka. Tapi ia tidak bisa menentang. "Warisan ayahmu, itu ada hak kami juga. Kami ingin perusahaan dijual. Lalu kita bagi hasil penjualannya. Tapi kami masih memberi keringanan kepada kamu. Dengan memenuhi syarat dari kami, kamu bisa mengambil perusahaan sepenuhnya." Suara Darwin juga penuh emosi. Darwin ingin perusahaan dijual dan hasil penjualan di bagi. Itu lebih bermanfaat bagi keluarga mereka, bukan hanya berguna untuk Naura saja. Naura bisa meninggalkan Indonesia, menyusul kekasihnya ke Amerika. Atau menunggu kekasihnya pulang dengan bekerja di perusahaan lain. Naura seorang sarjana, dengan nilai yang bagus. Akan mudah saja baginya mendapatkan pekerjaan dan posisi yang menjanjikan. "Aku sudah memenuhi syarat kalian. Aku sudah menikah sekarang. Lalu apa lagi yang ingin kalian minta?" Protes terus melancarkan oleh Naura, karena tidak ingin memiliki anak dengan Azzam, yang hanya sekedar suami bayaran. Tidak ada rasa apa-apa di hatinya pada Azzam. Naura juga tidak ingin menambah masalah hidupnya. Karena jika ia memiliki anak dengan Azzam itu pasti mengganggu hubungan cintanya dengan Fadel. "Suamimu ini memang tampan, gagah, tapi terlihat jauh lebih tua dengan kamu. Kami tidak yakin kalau pernikahan kamu ini, adalah pernikahan yang sesungguhnya. Kami curiga hanya pernikahan sandiwara. Karena itu kami minta bukti anak dari hasil pernikahan ini." Darwin menunjuk ke arah Azzam. Azzam hanya bisa menantang tatapan Darwin, tapi tidak bisa bicara apa-apa. Karena sudah berjanji pada Naura akan diam saja. "Kalian gila ya. Memiliki anak bukan sesuatu yang bisa diatur oleh kami. Itu adalah haknya Tuhan. Bagaimana kami bisa mengusahakan." Bagi permintaan untuk memiliki anak itu suatu yang sangat menyulitkan. Tidak segampang sekadar menikah saja. "Kami tidak mau tahu. Kami beri tempo enam bulan bagi kalian untuk memberikan anak dalam pernikahan ini. Kalau dalam tempo enam bulan kalian belum juga memiliki anak dalam rahimmu, maka perusahaan akan kami jual." Ancaman Darwis berikan dengan suara tajam. Ancaman yang benar-benar membangkitkan emosi Naura. "Tidak bisa! Itu perusahaan ayah dan ibuku. Kalian tidak bisa menjual seenaknya." Teriakan Naura bergema di penjuru ruang tamu. Sore ini karena merasa lelah, emosi Naura cepat tersulut. Tidak bisa menghadapi tekanan ini dengan sabar. Karena tubuhnya yang sangat lelah. "Ayahmu adalah saudara kami. Kami berhak atas perusahaan itu! Ingat kami sudah memberi kamu keringanan lagi." Darwin menunjuk dengan jarinya ke arah Naura. "Kalian sungguh orang yang serakah!" Naura balas menuding mereka semua. "Kamu hanya ingin mengambil apa yang menjadi milik kami. Kalau kami serakah, kamu sudah kami buang ke jalanan. Dan semua warisan kakak kami akan menjadi milik kami." Darwin membalas makian Naura dengan menuding dengan jarinya juga. "Kalian tidak bisa berbuat seperti itu! Aku adalah anak kandung ayah dan ibuku. Aku adalah pewaris semua harta mereka. Sedang kalian hanya saudara yang selama ini tidak tahu apa-apa. Begitu kedua orang tuaku meninggal, kalian ingin mengambil harta mereka. Dasar serakah!" Emosi Naura berada di puncak kepalanya. Tanpa sadar Azzam mengusap punggung Naura dengan lembut tanpa berani mengeluarkan kata-kata. "Aku tidak peduli dengan apa yang kamu lakukan. Yang jelas kami memiliki hak atas harta orang tuamu. Terserah apa yang mau kamu katakan. Kami sudah memberi kamu keringanan untuk bisa mendapatkan perusahaan. Jadi jangan menganggap kami orang yang kejam." Mereka semua berbalas tatakan tajam, Azzam tak bisa menahan diri untuk tidak menatap tajam juga. Azzam ingin sekali menanggapi ucapan Darwin dan Darwis, tapi ia masih menghargai permintaan Naura agar jangan ikut campur. "Kalian memang kejam! Sekarang pergi dari rumahku!" Naura menunjuk ke arah pintu depan. Mengusir saudara ayahnya pergi dari rumahnya. Karena merasa saudara ayahnya datang bukan membawa ketenangan. Bukan memberikan iya semangat untuk terus mengembangkan perusahaan. Tapi berusaha mematahkan semangatnya. Karena ingin mengambil perusahaan. Naura bener-bener kecewa. "Kami punya hak juga atas rumah ini. Bukan hanya kamu pemiliknya!" Darwin berpindah membicarakan tentang rumah. Menambah hak sebagai sebagai pewaris dari ayah Naura. "Aku tidak peduli apa yang kamu katakan. Yang jelas rumah ini adalah milikku. Atas namaku. Jangan merasa berhak atas peninggalan kedua orang tuaku. Mereka bekerja keras dengan kedua tangan mereka. Tidak minta bantuan kalian! Sebaiknya sekarang kalian pergi." Naura mengulangi menunjuk ke arah pintu depan. "Kami akan pergi. Tapi perjanjian baru berjalan. Kami beri tempo enam bulan untuk memiliki anak. Jika ada dalam enam bulan kalian belum bisa memiliki anak. Perusahaan akan kami jual! Selamat sore!" Darwin bicara dengan cepat, selalu melangkah meninggalkan hadapan Naura, bersama Darwis dan istri mereka. Empat orang itu melangkah pergi. Naura duduk bersandar di sofa. Lalu menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Azzam duduk di sebelah Naura. Ingin sekali meringankan beban yang Naura tanggung. Sayangan Naura tidak mengizinkan ia untuk bicara. "Sabar, Nauta. Kamu harus percaya. Yang jahat tidak akan pernah menang. Allah pasti akan memberimu jalan terang. Terus berdoa dan meminta yang terbaik kepada Allah." Hanya itu yang bisa Azzam katakan untuk memberikan suntikan semangat kepada Naura. Azzam tidak tega melihat gadis muda itu menangis. Dari pagi sampai sore ini, Azzam melihat sosok Naura yang sangat segar. Tapi ketegarannya runtuh, dengan perdebatan bersama saudara ayahnya. Naura tidak bisa menahan kemarahan dan air matanya. Azzam memahami hal itu sebagai sesuatu yang wajar. Hidup dalam kedamaian sekian puluh tahun, ini ditekan oleh keluarga ayahnya sendiri. Tentu itu tidak mudah. "Aku mau istirahat ke kamar. Kamu silakan istirahat juga." Naura bangkit dari duduknya, ia melangkah menaiki anak tangga. Kamarnya ada di lantai atas. Sedang kamar Azzam ada di lantai bawah. Sebenarnya jumlah harap, Naura mengajak bicara untuk mencurahkan keresahan di d**a. Tapi Naura tampaknya ingin menanggung itu sendiri. Azzam tahu tak semudah itu mengajak Naura berdiskusi tentang masalah ini. Naura pasti belum sepenuhnya percaya kepadanya. Walau sudah menjadikannya suami bayaran. Azzam melangkah masuk ke dalam kamarnya, setelah melihat Naura menghilang di puncak tangga. Hari sudah sore, sudah waktunya ia mandi. Ia akan salat ashar dulu, sebelum berbaring mengistirahatkan tubuhnya, sembari menunggu waktunya salat magrib. Walau perasaan Azzam merasa resah. Tapi harus sabar dalam menghadapi masalah Naura. Sabar menunggu Naura mau bicara, dan berdiskusi dengannya. "
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN