Naura dan Azzam keluar dari ruangan Naura. Mereka berdua jadi pusat perhatian karyawan yang lain. Para karyawan merasa heran kenapa Azzam bisa bersama Naura. Sementara selama ini tidak terlihat ada hubungan diantara mereka. Mereka melangkah menuju parkiran. Azzam membukakan pintu untuk Naura. Naura duduk di depan, Azzam duduk di sebelahnya di belakang setir.
Azzam menjalankan mobil sesuai tujuan. Hari ini memang mereka harus mengunjungi beberapa tujuan. Dan juga ada pertemuan bisnis dengan relasi Naura. Pertemuan bisnis diikuti dengan makan siang di sebuah restoran.
"Selamat siang, Bu Naura."
"Selamat siang, Bu Miska. Perkenalkan, ini asisten pribadi baru saya, Pak Azzam." Naura memperkenalkan Azzam pada Miska.
"Selamat siang, Bu Miska. Saya Azzam asisten pribadi Bu Naura." Azzam mengulurkan tangannya kepada Miska.
"Oh. Saya baru pertama kali melihat Pak Azzam." Miska menggenggam erat telapak tangan Azzam. Terlihat jelas, kalau Miska terpesona melihat penampilan Azzam. Hem hitam lengan panjang yang digulung sampai siku. Celana panjang hitam kain. Penampilan yang sederhana tapi sangat memikat hati.
"Pak Azzam karyawan baru di perusahaan kami. Dia dipilih oleh asisten pribadi saya terdahulu, untuk menggantikannya." Naura menjelaskan secara ringkas siapa Azzam, tanpa mengatakan kalau Azzam adalah suaminya.
"Silakan duduk." Miska mempersilahkan mereka untuk duduk. Lalu mereka melakukan pembicaraan tentang urusan bisnis. Azzam mencatat segala sesuatu yang dirasa penting. Agar poin pembicaraan tidak lupa. Setelah selesai membicarakan urusan bisnis. Mereka makan siang bersama. Miska mencari tahu tentang Azzam. Miska terlihat tidak menutupi perasaan tertariknya pada Azzam.
"Pak Azzam umurnya berapa?" Miska mulai mengulik tentang Azzam. Naura diam saja. Tidak ingin ikut campur urusan Miska dan Azzam. Karena di luar rumah, Azzam adalah karyawan, bukan suami.
"Empat puluh empat tahun, Bu." Azzam menjawab jujur saja, tanpa ingin berdusta.
"Oh. Saya pikir baru tiga puluh tahun. Berarti sudah menikah?" Pertanyaan Miska semakin mengulik tentang Azzam.
"Sudah. Istri saya meninggal lima tahun yang lalu karena gagal ginjal." Tentang kisah istrinya, Azzam juga tidak ingin berbohong.
"Oh maaf. Sudah punya anak?" Rasa penasaran Miska semakin menjadi, setelah tahu kalau Azzam sudah duda. Sebuah harapan muncul di dalam hatinya. Dirinya sudah menjanda sejak tahun lalu. Rumah tangganya berantakan, karena perselingkuhan suaminya dengan salah seorang karyawan.
"Saya punya anak kembar. Laki-laki dan perempuan. Tinggal di Banjarbaru." Azzam hanya mengatakan itu saja, tidak ingin mengatakan lebih daripada itu.
"Usia berapa anaknya?" Miska semakin penasaran dengan sosok Azzam.
"Anak saya sudah besar. Tidak masalah kalau saya tinggal." Azzam menjawab dengan sederhana saja, dibarengi dengan senyuman. Naura tidak terlalu memperhatikan mereka. Ia asik menikmati makan siang. Naura percaya, Azzam bukan lelaki yang suka main perempuan. Lagipula Azzam sudah menerima p********n dari dirinya. Jadi tidak mungkin mengkhianati perjanjian mereka.
"Boleh minta nomor kontak Pak Azzam?" Pertanyaan Miska mengagetkan Azzam. Azzam menatap Naura meminta pertimbangan. Apakah boleh memberikan nomor teleponnya kepada Miska, atau tidak boleh. Bagaimanapun dirinya adalah suami bayaran Miska, tidak bisa sembarangan memberi nomor telepon kepada wanita lain. Miska juga ikut menatap Naura. Seperti mengerti apa yang dipikirkan oleh Azzam.
"Oh. Kalau mau minta nomor telepon, minta izin pada Naura dulu ya. Bagaimana, Naura?" Miska langsung minta izin kepada Naura. Agar diberikan nomor telepon Azzam.
"Tentu saja boleh. Berikan saja, Pak Azzam." Naura tersenyum kepada Miska.
Azzam memberikan nomor handphonenya kepada Miska. Miska langsung menelpon nomor Azzam.
"Tolong di save nomor saya ya."
"Baik."
Selesai makan mereka berpisah. Azzam dan Naura masuk ke dalam mobil.
"Maaf, Naura. Bolehkah aku minta waktu sebentar untuk salat dzuhur. Mampir sebentar di sebuah mushola." Azzam meminta izin untuk salat dzuhur, karena tidak ingin salat terlambat.
"Ya." Naura menjawab singkat saja. Naura tak bicara apa-apa sejak mereka pergi dari restoran tadi. Azzam menghentikan mobil di sebuah mushola di pinggir jalan.
"Kamu tidak Salat?"
"Tidak."
"Saya tinggal sebentar." Azzam keluar dari dalam mobil. Lalu melangkah memasuki mushola. Azzam berwudhu dulu sebelum masuk ke dalam mushola. Waktu dzuhur memang sudah lewat, tapi di mushola itu masih ada beberapa orang yang melaksanakan salat. Ada juga yang rebahan beristirahat. Azzam salat sendirian. Selesai salat langsung kembali ke mobil.
"Kita melanjutkan jadwal hari ini?" Azzam bertanya pada Naura.
"Iya." Naura menjawab singkat saja. Azzam menatap wajah Naura. Wajah datar tanpa ekspresi. Azzam tidak tahu bagaimana ekspresi Naura saat gembira, dan saat bersedih. Naura tidak seperti putrinya, Zahra sangat ekspresif dalam mencurahkan isi hati. Untungnya Zahra memiliki suami yang sangat sabar. Jadi bisa menerima Zahra dengan segala tingkah lakunya.
Saat ini ada dua tempat lagi yang akan mereka datangi. Naura tidak ingin hanya sekedar mendapat laporan dari bawahannya. Tapi ingin melihat langsung tempat miliknya. Agar tahu jika ada kekurangan yang perlu diperbaiki. Sehingga tidak berlarut-larut dalam menyelesaikan suatu masalah.
Akhirnya tempat yang dijadwalkan mereka kunjungi sudah selesai.
"Apa kita kembali ke kantor, atau langsung pulang?" Azzam bertanya pada Naura, ke mana tujuan mereka selanjutnya.
"Pulang." Naura menjawab dengan sangat singkat. Azzam jadi merasa kalau Naura menghindari bicara panjang lebar dengannya.
"Baik."
Azzam membawa mobil meluncur menuju rumah. Sikap dingin Naura kepadanya sangat mengganggu hati. Azzam jadi bertanya-tanya, apakah memang sedingin ini sikap asli Naura. Terasa tidak sesuai dengan usianya yang masih sangat muda. Usia yang biasanya masa para gadis bergembira. Bukan memikirkan hal yang serius untuk kehidupannya. Yang Azzam tahu, biasanya gadis berusia Naura sibuk tebar pesona, mencari gebetan untuk teman hidupnya.
Azzam membunyikan klakson di depan pintu gerbang. Pak Timo menatap lewat jendela gerbang. Lalu segera membuka pintu gerbang. Di halaman ada dua buah mobil.
"Ada tamu." Azzam bergumam.
"Mobil saudara ayah. Apapun yang mereka katakan, Kamu tidak usah ikut bicara. Biar aku saja yang menghadapi mereka." Naura bicara tegas kepada Azzam.
"Baik."
Naura dan Azzam keluar dari mobil. Mereka masuk ke ruang tamu. Empat orang duduk di ruang tamu, langsung berdiri begitu melihat mereka.
"Oh ini suami kamu. Secara fisik tidak buruk. Tapi yang aku dengar dia hanya seorang supir di perusahaan. Apa kamu tidak bisa berpikir jernih. Menikahi seorang sopir yang tidak tahu apa-apa. Seharusnya kamu mencari suami yang lebih kaya darimu. Atau ini hanya sebuah pernikahan sandiwara. Kamu jujur saja Naura, lelaki ini pasti kamu bayar untuk menjadi suamimu. Bukan suami sungguhan, tapi hanya sebuah permainan. Karena itu aku tidak mau menjadi wali nikah mu. Tidak ingin terlibat dengan sebuah sandiwara yang tidak bermartabat." Lelaki tua langsung menghujani Naura dengan kata-kata hinaan. Azzam ingin sekali menanggapi ucapan pria itu. Tapi sayangnya ia sudah berjanji pada Naura untuk tidak akan ikut bicara.
*