Pagi itu, Zoe melangkah keluar dari rumah sakit dengan kelelahan masih melekat di wajahnya.
Rambutnya yang diikat sederhana terlihat sedikit kusut, tapi senyum kecil menghiasi wajahnya.
Meskipun semalam dia menangani pasien yang tak henti-hentinya datang, hari ini ada sesuatu yang menantinya, atau lebih tepatnya, seseorang.
Maximus sedang berdiri bersandar pada mobil SUV hitamnya di halaman parkir rumah sakit.
Dengan tubuh tinggi dan gagah, dia memancarkan karisma yang selalu menarik perhatian, bahkan ketika dia hanya menyesap cerutu yang baru dibelinya.
Asap tipis membentuk lingkaran sebelum menghilang di udara pagi yang sejuk.
Saat Zoe muncul di pintu rumah sakit, Maximus langsung menangkap kehadirannya.
Ia mematikan cerutunya, membuang sisa puntung ke asbak portabel, dan masuk ke dalam mobil, seolah memberi sinyal agar Zoe segera mendekat.
Zoe mempercepat langkahnya, melewati trotoar kecil dengan senyum mengembang, hatinya dipenuhi rasa hangat yang hanya bisa diberikan oleh Maximus.
Ketika Zoe membuka pintu mobil dan masuk, Maximus langsung mendekat, menangkup wajah Zoe dengan tangannya yang kokoh dan mencium bibirnya.
Ciuman itu lembut, penuh kehangatan dan kerinduan, seolah waktu semalam terasa terlalu lama bagi mereka yang saling merindukan.
Zoe membalasnya, dan sesaat dunia di sekitar mereka menghilang. Hanya ada mereka berdua, tenggelam dalam momen yang intim dan penuh kasih.
"Aku merindukanmu," bisik Maximus ketika bibir mereka akhirnya berpisah namun masih sedikit menempel.
Suaranya rendah dan berat, membuat Zoe tersenyum kecil sambil memandang mata tajam pekatnya yang penuh gairah.
"Aku juga," balas Zoe sambil menyentuh wajah Maximus.
Maximus menyalakan mesin mobil dan mulai mengemudi, meninggalkan halaman rumah sakit. "Kita punya satu hari penuh bersama, Baby. Aku sudah merencanakan segalanya. Hari ini milik kita," katanya sambil melirik Zoe sekilas.
Zoe tertawa pelan, lelahnya perlahan memudar. "Dari mana kau tahu bahwa aku tak bekerja nanti malam?"
Maximus mengedikkan bahunya. Dan Zoe hanya tertawa kecil lalu kembali mengecup bibir Maximus.
Dia merasakan sebuah gairah dan semangat hidup yang berbeda sejak mengenal Maximus dan bercinta dengannya.
Meskipun mereka tak terikat hubungan apa pun, namun ada sesuatu yang tak kasat mata dalam hubungan mereka yang begitu dalam dan istimewa.
*
*
*
Maximus membawa Zoe ke sebuah restoran kecil di tepi danau yang jarang dikunjungi orang.
Tempat itu tenang, dikelilingi pepohonan hijau yang menari pelan diterpa angin. Mereka duduk di teras kayu, menghadap air danau yang memantulkan cahaya matahari pagi.
"Max, apakah tak masalah kau keluar seperti ini?" tanya Zoe dengan suara pelan.
Maximus hanya mengangguk dan merangkul bahu Zoe. "Ada beberapa anak buahku yang menjaga tempat ini, jangan khawatir. Mereka mulai bergerak," bisik Maximus.
Zoe mengedarkan pandangannya namun tak melihat sesuatu yang mencurigakan di sekitarnya.
“Kau tak akan melihat mereka, Baby.” Maximus tersenyum lalu mengecup bibir Zoe kembali.
Tak lama, pelayan datang dan memberikan buku menu. Mereka memilih makanan dan minuman untuk mereka nikmati di pagi yang indah itu.
Maximus mengusap rambut Zoe dengan penuh kelembutan ketika wanita itu memilih menu untuk mereka berdua.
Zoe hanya tersenyum merasakan sikap bucin Maximus yang begitu ingin selalu menempel padanya.
*
*
Beberapa menit kemudian, mereka makan pagi bersama sambil menikmati makan paginya.
Setelah menyelesaikan makan pagi, Zoe dan Maximus tak langsung beranjak dari sana. Mereka masih ingin menikmati suasana indah pagi itu di tepi danau.
Maximus menikmati kopi hitamnya, sementara Zoe memesan teh hijau yang mengepul di cangkir putih bersih.
Mereka berbicara tentang banyak hal. Percakapan mereka mengalir alami, penuh tawa dan senyuman.
Maximus hanya mendengarkan ketika Zoe berbagi cerita lucu tentang anak kecil yang semalam memanggilnya “dokter peri” karena dia memakai masker dengan motif bunga.
"Dokter peri, ya?" Maximus menggodanya. "Kurasa itu julukan yang sempurna untukmu. Kau juga seperti peri penolong bagiku." Maximus mendekatkan wajahnya dan mencium lembut bibir Zoe yang sangat sering dilakukannya.
Zoe tertawa. "Mungkin aku harus mencantumkannya di kartu namaku."
Maximus membelai pipi Zoe dan menatap wajah cantik wanita itu dengan begitu jelas. “Aku akan berat jika berpisah darimu. Bagaimana denganmu?”
Zoe memegang tangan Maximus yang ada di pipinya lalu mengecupnya. “Aku juga,” bisiknya.
“Kita akan terus bertemu? Kau mau seperti itu?” lirih Maximus.
Zoe mengangguk dan mereka berciuman sebentar. “Kita jalani saja apa adanya,” bisik Zoe dengan mata yang menatap dalam ke mata Maximus.
“Baiklah, kita jalani saja dan aku tetap akan melindungimu,” jawab Maximus dan mereka kembali saling memagut di tempat yang penuh ketenangan itu.
*
*
Setelah sarapan, Maximus mengajak Zoe berjalan-jalan di sekitar danau. Mereka bergandengan tangan, berbicara hal-hal sepele dan ringan.
Maximus berhenti sejenak untuk memeluk Zoe dari belakang, menarik tubuh mungilnya ke dalam dekapannya yang hangat.
"Kau suka pekerjaanmu?" tanya Maximus di telinga Zoe.
"Aku suka pekerjaanku. Karena ini adalah cita-citaku sejak kecil. Aku ingin membantu banyak orang," jawab Zoe sambil memutar kepala untuk melihatnya.
"Aku tahu itu," kata Maximus dengan senyum tipis. "Tapi aku juga ingin kau punya lebih banyak waktu untuk dirimu sendiri. Jangan terlalu mem-forsir tenagamu dan mengabaikan kesehatanmu sendiri."
Zoe menoleh dan mencium pipi Maximus. "Hmm, aku tahu itu. Terima kasih atas perhatiannya.”
*
*
Setelah berjalan-jalan, Maximus membawa Zoe ke studio seni tato yang tersembunyi di pinggir kota.
Studio itu milik seorang teman lama Maximus, dan hari ini, tempat itu sudah disiapkan khusus untuknya dengan penjagaan ketat di luar.
“Max, untuk apa kita ke sini?” tanya Zoe.
“Aku ingin menggambar wajahmu di tubuhku,” jawab Maximus.
“Apa? Kau serius?” Zoe menatap heran pada Maximus.
“Ya, aku serius, Baby. Karena kau istimewa bagiku.” Maximus mulai duduk di tempat yang disediakan.
Zoe pun duduk di depan seniman tato sebagai modelnya. Zoe tak menyangka Maximus akan se-bucin itu padanya hingga membuat gambar tato wajahnya di tubuhnya.
“Bukan ikatan rambutmu, Baby,” perintah Maximus.
Zoe kemudian membuka ikatan rambutnya dan tersenyum pada Maximus.
“Perfect smile, beautiful,” gumam Maximus sambil menatap Zoe dengan penuh cinta yang sepenuhnya dia sadari dan dia tak bisa menepis rasa itu.
*
*
Mereka menghabiskan beberapa jam di sana, hingga wajah cantik Zoe terlukis di salah satu sisi d**a Maximus.
“Apakah tidak sakit?” tanya Zoe.
“Tidak,” jawab Maximus dan kemudian melihat gambar itu di cermin. “Sempurna. Aku akan bisa melihatmu kapan saja.”
Zoe menghampirinya lalu menatap gambar itu dan sedikit memegangnya. “Ini pasti sakit, Max,” bisik Zoe.
“Aku sudah terbiasa. Ayo kita pulang,” kata Maximus sambil mengecup bibir Zoe.
Zoe mengangguk dan tersenyum.
*
*
Matahari sudah condong ke barat ketika Maximus membawa Zoe ke pantai kecil yang terletak beberapa kilometer dari kota.
Zoe melepas sepatunya dan berjalan di atas pasir yang lembut, sementara Maximus mengikutinya dari samping.
Ombak kecil menyapu kaki mereka, dan angin laut membawa aroma asin yang menenangkan.
Maximus meraih tangan Zoe dan menariknya ke dalam pelukan. Mereka berdiri di sana, memandangi matahari yang tenggelam perlahan di cakrawala.
"Aku ingin setiap hari seperti ini," bisik Zoe.
“Aku akan mengusahakannya,” sahut Maximus sembari mengecup leher Zoe.
Maximus menyentuh rambut Zoe dan membelainya dengan lembut. "Kau adalah kebahagiaan terbesarku, Baby."
Zoe tidak menjawab, hanya memeluk Maximus lebih erat. Dalam pelukan itu, dia merasa tenang dan merasa dicintai meskipun kata-kata cinta tak pernah terucap di antara mereka.
Hari itu mungkin hanya satu hari biasa bagi dunia, tapi bagi Zoe dan Maximus, itu adalah hari yang sempurna—hari di mana cinta mereka terasa lebih nyata dari sebelumnya dan hubungan mereka semakin dalam.