Tak Pernah Bosan Bercinta

1014 Kata
Setibanya di rumah tua itu, Zoe dan Maximus segera melangkah menuju ruang bawah tanah. Rumah tersebut, yang awalnya adalah tempat persembunyian rahasia milik Maximus, kini mulai menyimpan banyak kenangan yang menggugah bersama Zoe. Tangga kayu tua yang mengarah ke bawah berderit pelan setiap kali kaki mereka menginjaknya, menciptakan suasana yang sedikit mencekam namun sudah tak berpengaruh pada keduanya. Zoe menahan napas sejenak saat pintu ke ruang bawah tanah itu dibuka, mengeluarkan bunyi engsel yang berderit. Namun, begitu cahaya redup dari lampu minyak di atas meja menyinari ruangan itu, Zoe segera menyadari ada yang berbeda. Biasanya, ruangan bawah tanah itu penuh dengan perabotan tua, debu tebal, dan udara pengap yang membuatnya terasa seperti ruang yang terlupakan. Kini, semuanya berubah. "Tempat ini ... lebih bersih," Zoe berkomentar, memandang sekeliling dengan heran. “Kau yang membersihkannya, Max?” Maximus menutup pintu di belakang mereka, menyeringai tipis. "Aku menyuruh beberapa anak buahku membersihkannya. Perabotan yang tidak terpakai sudah dibuang. Tidak ada lagi debu atau sarang laba-laba di sini." Zoe berjalan perlahan, menyentuh permukaan dinding yang dulu penuh noda lembap, kini terlihat lebih bersih. Ada beberapa benda yang mencolok di ruangan itu, misalnya sebuah kasur angin di sudut dan satu peti kayu tua di dekat dinding, serta meja panjang berwarna coklat tua. Lampu minyak yang menyala memberikan pencahayaan redup, menciptakan bayangan bergerak di dinding yang seakan menari-nari. "Not bad," gumam Zoe sambil melirik Maximus, yang kini berdiri di dekat meja, mengamatinya dengan intens. "Tidak buruk, hmm?" Maximus mendekat, suaranya rendah namun penuh makna. "Aku hanya ingin memastikan ruangan ini cukup nyaman ... untuk kita." Mata Zoe bertemu dengan matanya, dan dia tahu persis apa yang dimaksudkan Maximus. Ia nyaris tidak sempat merespons saat Maximus menariknya ke pelukan dengan gerakan cepat namun penuh kelembutan. Bibir mereka bertemu, panas dan penuh gairah, seperti api yang tak pernah padam. Tak membutuhkan waktu lama, Maximus membimbing Zoe menuju kasur angin di sudut ruangan. Di antara napas yang memburu, dia mulai membuka kancing kemeja Zoe satu per satu, jemarinya yang kuat namun cekatan bekerja tanpa ragu. Pakaian itu jatuh ke lantai, meninggalkan Zoe hanya dengan pakaian dalamnya yang hampir transparan. "Kau selalu tahu cara membuatku kehilangan kendali, Baby," bisik Maximus serak, matanya menyapu tubuh Zoe dengan penuh kekaguman. Zoe tidak menjawab dengan kata-kata. Sebagai gantinya, dia menarik Maximus lebih dekat, menciumi lehernya dengan penuh hasrat, membuat pria itu mengerang pelan. Maximus tidak menunggu lebih lama. Ia membuka pakaiannya sendiri dengan gerakan cepat, membiarkan otot-otot dadanya yang kokoh terlihat di bawah cahaya redup lampu minyak. Zoe menatapnya dengan tatapan yang sama sekali tidak menyembunyikan keinginan yang membara. “Kau ingin tahu tahapan percintaan dalam istilah ilmiahnya?” tanya Zoe random. Maximus tertawa kecil dan menggigit leher Zoe. “Hmm, jelaskanlah, Dokter,” bisiknya menggoda. Zoe tersenyum. “Yang kau lakukan saat ini ada fase rangsangan di mana ada peningkatan detak jantung, tekanan darah, dan aliran darah ke bagian tubuh kita yang paling sensitif.” Dan yang terjadi selanjutnya adalah ledakan gairah yang seakan tidak mengenal batas. Di atas kasur angin yang empuk, Zoe dan Maximus saling menjelajahi, tubuh mereka menyatu dalam gerakan yang penuh energi dan keintiman. Mereka bercinta dengan lebih liar kali ini, seolah dunia di luar ruangan itu tidak ada. “Dan saat ini kita berada dalam fase plateau, di mana intensitas gairah kita sama-sama meningkat secara bertahap,” lirih Zoe dengan masih bergerak seirama dengan gerakan Maximus. Maximus tersenyum dan kembali memagut bibir Zoe dengan intens. Pria itu memperlakukan Zoe seakan dia adalah satu-satunya hal yang penting di dunia ini. Jemari kuatnya menelusuri setiap lekuk tubuh Zoe, menghafalnya seperti dia menghafal jalan menuju tempat ini. Napas Zoe yang memburu dan suara lenguhan pelan memenuhi ruangan, bercampur dengan suara kain yang bergesekan dan kasur yang bergerak. "Aku tidak pernah bosan bercinta denganmu," gumam Maximus di antara ciuman, suaranya serak dan terkesan mendesah. Zoe membalasnya dengan gerakan liar di atas tubuh Maximus. Maximus mengusap pinggul Zoe sambil tersenyum kecil, matanya setengah terpejam. "Kau semakin liar, Baby. Aaaarrh …” Zoe hanya menjawab dengan tindakan, menekan gerakannya lebih dalam lagi dalam penyatuan mereka. “Dan di saat ini kita akan memasuki fase orgas*m*e, di mana ketegangan se*ksual dengan kontraksi otot di sekitar bagian sensitif kita,” ucap Zoe dengan nafas terengah-engah. “Bersiaplah untuk fase puncak ini, Baby,” ucap Maximus dengan suara serak yang menggoda. Napas mereka saling bersahutan dan memburu di saat menuju puncak permainan mereka. Mereka sama-sama mendes*ah keras di ruangan hening dan temaram itu. * * Ketika akhirnya mereka terbaring diam, napas mereka masih terengah-engah, hanya suara api kecil dari lampu minyak yang terdengar di ruangan itu. Zoe memandang langit-langit dengan tatapan kosong, masih mencoba menenangkan denyut jantungnya yang tidak beraturan. “Dan ini adalah fase resolusi di mana tubuh kita kembali ke kondisi normal dengan perasaan relaksasi,” ucap Zoe dengan senyuman puasnya. Maximus tertawa kecil dan masih mengatur nafasnya. Dia berbaring di sampingnya, satu lengannya melingkari pinggang Zoe, menariknya lebih dekat. Wajahnya menyentuh rambut Zoe, mencium aroma manis yang membuatnya merasa damai. “Terima kasih atas penjelasannya, Dokter.” Maximus berbisik sembari mengecupi kepala Zoe. Zoe membalikkan tubuhnya dan menghadap ke arah Maximus agar bisa melihatnya lebih jelas. “Jika kau pergi, kau harus pamit padaku dan jangan menghilang begitu saja,” ucap Zoe. Maximus membelai wajah cantik Zoe yang kini berwarna merah karena percintaan mereka. “Aku ingin kau menungguku jika suatu hari aku pergi.” “Bukankah kau tak ingin ada yang menunggumu?” Tatapan keduanya saling menaut dan begitu dalam. “Tapi kali ini berbeda. Aku ingin kau tetap menungguku. Aku akan melindungimu apa pun yang terjadi. Kau takut jika harus bersamaku?” tanya Maximus dengan tatapan mata yang tampak berharap. Zoe mengambil tangan Maximus lalu menciuminya dengan lembut dan penuh cinta. “Aku bukan wanita penakut, Honey. Kau tahu itu. Jika aku penakut, aku tak akan menolongmu sejak awal dan menemanimu di sini.” Maximus tersenyum. “Kapan kau ada waktu senggang?” Zoe menggerakkan bahunya. “Kau mau mengajakku berlibur? Aku akan cari waktu.” “Tidak, aku akan mengajarimu menembak,” jawab Maximus. Zoe melebarkan matanya, ketika mendengar hal yang tak biasa itu.

Cerita bagus bermula dari sini

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN